webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

Bayangan Salaka (10) : Mantra Kunci

Luka di kaki Bhumi menghitam.

Wajahnya pasi.

Saat Candina berniat menyusuri keberadaan Silva, huru hara Javadiva mempertemukannya dengan keduanya. Tak mungkin membawa Bhumi ke rumah sakit, walau membiarkannya di Javadiva juga bukan pilihan baik.

"Serbuk perak tak cukup bagi Bhumi," cemas suara Candina.

"Kita harus ke rumah sakit," Rasi kebingungan. "Bagaimana caranya?"

"Anak buah Dubiksa, Barsadu si penipu licik, yang menyerang kami tadi. Pakaian mereka hitam, punggung mereka merah," Candina mencoba mengatasi luka Bhumi dengan percikan rendaman keris perak Salaka.

Bhumi meringis, rasa nyeri tak tertahankan.

Mereka harus ke luar sementara tak mungkin mengeluarkan Salaka dari sana.

"Salaka," Candina dilanda ketakutan yang belum pernah dihadapinya. "Kau sudah menggunakan keris perakmu. Keberadaanmu akan segera diketahui, Barsadu pasti segera ke mari. Kita tak bisa meminta Cadar Perak di hari terang seperti ini."

"Kita harus bertahan," Salaka memutuskan, "apapun yang terjadi. Ramalan bahwa akhir wangsa akan terjadi, mungkin harus kita hadapi. Tapi hingga akhir, kita akan bertahan dengan keyakinan yang teguh."

Candina tersenyum sedih.

"Heh, aku nggak ngerti dengan apa yang kalian katakan," Rasi menyela. "Bhumi terluka, dia butuh pertolongan. Dan kulihat…kalian juga butuh bantuan. Kenapa kita nggak minta orang di luar sana?"

"Tidak ada yang bisa menolong kami!" sentak Salaka.

Candina menatap pemuda di depannya dengan muram.

"Pasti ada!" Rasi bersikukuh.

"Kau pikir berhadapan dengan siapa?" Salaka menatapnya tajam.

Rasi menatap Salaka tak mengerti.

"Ular dan orang-orang di sana bukan sosok yang bisa kalian bayangkan kedahsyatannya," Salaka menjelaskan singkat.

Rasi mengernyitkan alis.

"Salaka, aku melihat keahlian Candina dan juga keahlianmu," Rasi berkata. "Aku…aku nggak tahu siapa kalian walau Sonna dan Silva udah cerita sedikit. Tapi pasti ada yang bisa membantu kita."

"Siapa?" Salaka menukas tajam.

Rasi tak dapat menjawab, satu kejadian melintas tetiba, "…ya…mungkin orang seperti…mbak Najma? Dia bisa mengobati luka Silva."

Salaka mengalihkan pandangan.

"Hei, dengar," Rasi berusaha meyakinkan. "Mungkin kami, termasuk mbak Najma, gak punya keahlian hebat seperti kalian. Tapi pasti ada sedikit pengetahuan kami yang bermanfaat. Lihat tadi Candina? Bhumi bisa merobohkan..Bar…Du…?"

"Barsadu, pengikut Dubiksa," Candina melengkapi.

"Ya, whatever," Rasi mengabaikan. "Bhumi bisa memukul telak dengan laptopnya, aku bisa melumpuhkan dengan pisau pengikir. Walau akhirnya Candina dan kamu, Salaka, yang benar-benar menghancurkan mereka. Tapi kami bisa berbuat sesuatu!"

Terdengar suara-suara asing, bergelombang, sahut menyahut di atas atap. Percakapan yang tak dimengerti, walau jelas terasa ucapan-ucapan tak bersahabat tengah dilontarkan dengan intonasi ancaman dan kemurkaan.

"Candina! Lindungi sekitar kita dengan serbuk perak," perintah Salaka.

Candina mengangguk, mengambil sesuatu di balik baju, menaburkannya ke sekeliling.

"Serbuk ini akan menghapuskan semua jejak selama beberapa waktu ke depan," Candina menjelaskan kepada Rasi. "Kita aman."

Gadis itu mengalihkan pandangan.

"Salaka…Rasi benar. Kita harus membinta bantuan."

"Tidak," ujar Salaka.

"Kita tidak mungkin bertahan. Bongkahan perak di bawah Dahayu harus diselamatkan. Mungkin mengontak mbak Najma ada benarnya. Aku pernah berjumpa dengannya. Ia bisa dipercaya!"

"Sejak kapan kamu percaya manusia sepenuhnya? Mereka berkhianat pada wangsa lain sejak lama. Kali ini pun akan sama!"

Candina menahan napas. Rasi dan Bhumi bertatapan : memangnya yang ada di haadapan mereka bukan manusia?

"Kalau kamu memang tidak ingin menghubungi mbak Najma….apa kamu menolak untuk menghubungi Silva?"

🔅🔆🔅

Rasi diam-diam mengirimkan pesan pendek kepada Sonna, menjelaskan secara singkat keadaan mereka. Kebingungan, Sonna menyampaikan pada Silva.

"Seharusnya Salaka meminta tolong," Sonna mulai menangis. "Kasihan mas Bhumi."

"Salaka pasti bisa menanganinya," Silva menghibur, walau separuh hatinya ragu. "Tapi aku harus ngontak mbak Najma. Dia selalu punya solusi."

Lewat telepon, Najma mendengarkan seksama, sembari bekerja di penggalian dan menuliskan laporan.

"Aku sedang membaca manuskrip kuno yang kutemukan di reruntuhan. Nanti kamu baca, ya," pinta Najma. "Kamu kan sudah mulai paham sedikit-sedikit."

Silva mengiyakan.

"Apa aku bisa telepon Salaka lewat Rasi, Sil?"

"Nggak tau, Mbak. Salaka sepertinya nolak ketemu mbak Najma."

"Hmmm…gitu ya."

"Ya."

"Padahal aku pingin dia percaya aku, karena mungkin ada yang bisa kita lakukan bareng-bareng."

"Aku juga mikirnya gitu."

"Eh gini aja…," benak Najma tetiba berpijar ide, "aku telepon Rasi, tapi pakai loudspeaker, ya? Kita telpon bertiga."

Silva merasakan sepercik harapan. Ia segera menghubungi Rasi dan berharap percakapan mereka bertiga akan menemukan jalan ke luar.

"Kalian harus segera menjauhi Javadiva," ujar Najma.

"Aku tidak mungkin meninggalkan Salaka, Mbak," Candina ikut bergabung. "Ia tak bisa lebih jauh dari lingkaran sekitar enamribu hasta."

"Berapa meter itu?" tanya Rasi.

"Sekitar tiga kilo," Silva menjawab.

"Lebih dari enamribu hasta, berbahaya bagi Salaka," Candina menambahkan.

"Dua penguasa Javadiva yang sekarang –Gayani dan Nagina – akan mulai menghancurkan ruang Nirvana," Silva memberi tahu.

Salaka dan Candina berpandangan, tegang.

"Kami tak mungkin meninggalkan bongkahan perak," Candina menggeleng.

"Tapi kamu dan Salaka harus selamat," Silva berkata. "Nggak mungkin terus di situ."

"Aku akan coba menghubungi mas Ragil segera dan meminta tim arkeologi ke situ. Dengan dalih menemukan benda purbakala, kita bisa minta bantuan pihak berwajib," Najma usul.

"Mustahil, Mbak," Rasi menyela. "Yang kami temui di sini bukan manusia."

"Kita harus coba! Apapun itu!" Najma menegaskan. "Segala kemungkinan walau probabilitasnya cuma nol koma nol nol persen harus dilakukan. Salaka dan Candina harus selamat. Kalian juga."

Wajah Salaka terlihat melunak, walau ia belum mau angkat bicara. Ia memberi isyarat tak akan meninggalkan Javadiva. Candina mengangguk dengan berat hati.

"Mbak Najma, Salaka tidak bisa meninggalkan Javadiva," ujar Candina pelan.

"Nggak bisa atau nggak mau?" pancing Najma. "Itu berbeda."

"Tidak bisa, Mbak. Ia sudah bersumpah untuk melindungi senjata perak terakhir berikut pasukannya. Walau harus bertahan di sini mati-matian," Candina berusaha meneguhkan diri.

Najma terdiam di seberang. Terdengar ia seperti membongkar sesuatu, suara bergemerisik.

Hiyeeeeeehhh.

Kkkkhhhhh.

Rasi dan Bhumi terkejut, hingga mendongakkan kepala, mencari-cari arah suara. Suara langkah berat dan mengancam berjalan di atap. Di dinding. Di pintu.

"Apa itu?" Najma bertanya.

"Kamu dengar itu, Mbak?" bisik Rasi. "Kamu bisa dengar?"

"Ya. Suaranya…mengerikan."

"Itu yang nyerang kami."

Najma menarik napas panjang," Kalian berempat harus segera lari dari situ!"

"Tidak!" Candina mengeleng, melihat isyarat Salaka. "Lagipula, sejatinya kami tidak berempat, Mbak Najma. Ada banyak prajurit perak bersama kami. Kami tak mungkin mengorbankan mereka!"

Dengusan suara Najam terdengar marah. Sonna terisak kecil, sementara Silva mendengarkan dengan perasaan kacau.

"Salaka! Mana Salaka?" suara Najma terdengar seperti bentakan.

Candina menatap Salaka, Rasi menatap mereka berdua sembari menyorongkan ponsel ke arah Salaka.

"Kau harus menyelamatkan diri! Kalau benar kata Silva, kau adalah kunci dari semua rahasia yang sedang kita temui!"

"Sudah terlambat, Najma," suara Salaka terdengar pelan namun yakin. "Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan."

"Kami manusia, selalu percaya harapan," Najma berkata teguh. "Kau sudah melihatnya ketika mengenal Sonna dan Silva. Sekarang, kau mengenal Rasi dan Bhumi."

Keheningan yang mencekam.

*Va…ve..va mitva zaal bav

Veraddikteva yog…yo...yogaa.*

Terdengar Najma seperti menyanyikan sesuatu.

Wajah Salaka mengeras, tubuhnya tegak.

*Va mitva zaal bav

Veraddikteva yoga

Sarava ogya!

Vera thar anya lave!*

Salaka memperbaiki ucapan Najma.

"Apakah itu punya makna bagimu?" tanya Najma.

"Itu adalah mantra terkuat yang mengunci pusaka wangsa Akasha dan Pasyu belasan ribu tahun silam," gumam Salaka.

"Ada simbol-simbol di sini, apa maknanya?" tanya Najma.

"Simbol delapan kerajaan," ucap Salaka. "Kupikir demikian."

"Apakah mantra ini…punya makna? Punya kekuatan?"

"Ya. Dulunya begitu."

"Sekarang…masih bisa dicoba?"

"Tidak lagi. Mantra itu sudah mati sejak persekutuan wangsa terpecah."

Najma mendesah, kecewa.

"Kau lihat? Sekarang yang bisa kita lakukan hanya menyelamatkan diri masing-masing. Kalau Rasi dan Bhumi ingin lari dari Javadiva, silakan. Candina pun demikian. Tapi aku akan tetap di sini!" Salaka menegaskan.

🔅🔆🔅