webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Langkah Nami (1)

Gadis itu mengumpulkan serombongan Nistalit.

Wajah-wajah putus asa, kuyu dan lesu, ketakutan yang nyaris kehilangan harapan. Gurat lelah oleh derita lama yang tak kunjung usai. Mereka selamat tiba di Gangika lewat perjalanan panjang yang entah, menembus berapa bahaya dan rintangan.

"Berapa yang selamat?"

"Hanya sedikit."

"Bagaimana bisa?"

"Pasukan Giriya semakin ganas. Mereka tak segan membunuh di tempat tanpa pertanyaan."

"Kau seharusnya melindungi mereka, Soma!"

"Ringan mulutmu bicara! Kau pikir semudah itu membawa rombongan gua lari menuju Gangika?"

Nami menghela napas.

Hanya tersisa anak-anak dan perempuan. Empat lelaki terluka. Bagaimana ia harus mengatakan pada Kavra?

"Kalian bawa alat-alat?" tanya Nami.

Soma menyeringai.

"Itu yang jauh lebih kupertahankan!" mata Soma berkilat cerdik.

Kilatan yang membuat hati Nami tertegun. Apakah Soma lebih mementingkan barang mati dibandingkan nyawa Nistalit?

"Kita harus segera melaporkan pada panglima Kavra dan hulubalang Sin," Nami memutuskan.

❄️💫❄️

"Gagal?" bentak Sin. "Gagal lagi??!"

"Tidak sepenuhnya gagal, Hulubalang Sin," Nami membungkuk memberi hormat. "Soma berhasil membawa alat-alat."

"Kau pikir waktu yang tersedia ribuan tahun?"

Soma dan Nami terdiam.

"Berapa laki-laki?" tanya Sin.

Nami menghela napas, "empat orang. Mereka terluka semua."

Sin tertawa aneh hingga tubuhnya terguncang.

"Hanya empat? Empat orang laki-laki terluka, buat apa heh??"

"Tapi perempuan dan anak-anak pun bisa bekerja," Nami membela kaumnya.

"Gangika butuh lebih cepat untuk membangun bendungan!"

Soma dan Nami terdiam.

"Kalau kalian tidak menunjukkan kesungguhan, dengan sangat terpaksa harus kembali ke Giriya!" bentak Sin.

"Kami akan berjuang lebih keras," Nami berjanji.

"Kali sebelumnya kalian tak membawa Nistalit yang cukup ke mari," Sin mengingatkan. "Itu sudah kumaafkan. Sekarang, kesalahan sama terulang. Sekali lagi gagal, aku tak akan segan-segan melakukan apa yang telah kuucapkan!"

Soma dan Nami kembali ke pemukiman.

Mereka harus merawat yang sakit agar segera dapat bekerja dan meyakinkan panglima Kavra.

"Aku tak berhasil seperti Suta," Soma menggumam muram.

"Hsssh!" bisik Nami. "Kau sudah berjuang sekuat kemampuanmu."

"Huh, tadi kau meremehkanku," sungut Soma.

"Siapapun akan cemas dalam keadaan seperti sekarang, Soma," Nami mengaku. "Kita tahu, Nistalit selalu berusaha keras bekerja dan mempertahankan diri. Tapi entah mengapa, nasib baik belum berpihak pada kaum kita."

Soma mengiyakan.

Nami meracik obat dari akar tanaman, daun, bunga dan lendir siput. Di tenda-tenda, wajah Nistalit terlihat lelah dan lega. Sejumput kebaikan di sini serupa bilik surga yang sempurna.

"Kita akan dapat makanan?" tanya seorang perempuan.

"Ya," Nami mengangguk, tersenyum.

"Umbi?"

"Umbi, jagung, buah-buahan," Nami menambahkan.

Terdengar teriakan kecil, disertai isak tangis bahagia.

Hati Nami berdesir.

"Tapi kalian juga harus bekerja keras," Nami mengingatkan.

"Kami berjanji!" ucap si perempuan. "Kami berjanji akan bekerja sepuluh kali lipat lebih tekun dari sebelumnya."

Bibir Nami tersenyum samar.

❄️💫❄️

Bagaimana harus melakukannya?

Soma dan Suta telah membawa dua rombongan Nistalit ke Gangika. Sekarang giliran Nami. Jelas-jelas Sin tak mengizinkannya untuk gagal, tapi apa yang bisa dilakukannya? Melewati sungai bawah tanah? Melewati jalan rahasia di gua-gua lain yang belum pernah terjamah? Menyusuri sungai yang merupakan perbatasan antara Giriya dan Gangika?

Sejauh ini, Giriya belum mencurigai niat Gangika untuk mengangkut Nistalit Giri sebanyak-banyaknya.

Mengapa persoalan ini tidak dibicarakan baik-baik? Giriya dan Gangika dapat berembug untuk berbagi tenaga Nistalit demi membangun Gerbang Batu dan Bendungan Gangika bersama-sama. Ah, persetan dengan urusan mereka, gerutu batin Nami. Urusannya adalah bertahan hidup dan melindungi Nistalit sebaik-baiknya.

Malam hari, Nami tak dapat tidur memikirkan langkah berikut.

"Jalma, kau di mana?" bisik Nami, membayangkan wajah abang yang dikasihinya.

Dua kali rombongan Nistalit datang, Nami berharap ada Jalma di sana. Walau jauh di lubuk hati, suara lain berkata agar ia tak terlalu mengharap Jalma masih hidup hingga sekarang. Setiap kali menggenggam boneka jerami, air mata Nami tumpah.

"Kita harus melangkah lebih jauh dari orangtua kita, Nami," Jalma pernah berpesan.

Nami mencoba mengingat semua perkataan Jalma, sejauh yang ia bisa.

"Kalau orang tua kita hanya mampu hingga bibir gua, kita harus ke luar beberapa langkah lebih jauh dari mulut gua. Kalau orang tua kita hanya bisa sepuluh langkah dari mulut gua, kita harus menambah limabelas atau dupuluh langkah lebih jauh," ucap Jalma saat itu.

Nami mengelus boneka jerami. Menghapus pipinya yang basah.

"Intinya, Nami adikku, bertambah – bertambah – bertambah. Jangan berkurang, menyusut, apalagi musnah dan menghilang."

Apa yang bisa direncanakannya?

Apa yang bisa dilakukannya?

Dalam tendanya yang hanya diterangi cahaya bulan dan redup lampu Gangika – satu lampu untuk puluhan tenda – Nami mengelus-elus boneka jeraminya. Membolak balik. Mengangkat, memainkannya. Menggoyang-goyangkannya. Ia bayangkan Nistalit adalah boneka jerami yang ada dalam genggamannya. Tangan Nami meraba kantong kecil yang selalu terselip di pinggang, kantung berisi barang-barang berharga. Surat dari ibu Aji dan Usha. Bunga-bunga kering yang dikumpulkannya bersama Jalma. Lalu, sesuatu yang begitu halus dan tetap wangi meski telah disimpan cukup lama. Walau tak melihatnya langsung, dengan mata terpejam pun, Nami tahu benda apa itu.

Ia menariknya pelan, ke luar dari kantong kecil.

Warna hijau dedaunan berkilau.

Warna lembut yang menenangkan. Sulaman indah ada di beberapa bagian. Dua belah jemari Nami menyentuh, membelai, merasakan kemewahan luarbiasa dari sepotong kain yang tak akan pernah dimiliki Nistalit.

Nami mengernyitkan dahi.

Dalam temaram, binar secarik kain itu tampak cemerlang lebih dari benda di sekeliling.

Nami mengambil boneka jerami dengan tangan kiri, sobekan kain hijau di tangan kanan. Ia memasangkan kain itu hingga seolah menjadi baju bagi bonekanya. Bahkan benda mati pun tampak rupawan dalam balutan kain hijau bersulam!

"Akasha Wanawa," bisik hati Nami.

Kantuk mata Nami hilang seketika. Pikirannya bekerja keras hingga kelopak matanya seolah tak dapat berkedip. Tak mampu menahan ledakan pikirannya sendiri, ia merangkak ke luar tenda, menuju tempat Soma dan Suta beristirahat.

❄️💫❄️

"Pikiranmu gila!" bentak Soma lirih.

"Tidak ada yang waras dengan kehidupan kita, Soma," bisik Nami. "Kita semua gila, menempuh perjalanan berbahaya dari Giriya ke Gangika, dan hidup penuh ancaman di sini."

"Apakah kita akan menanyakannya pada panglima Kavra?" tanya Suta.

"Aku tak tahu. Aku tak tahu apakah Panglima Kavra akan setuju, ataukah Hulubalang Sin akan mendukung rencana ini," sahut Nami jujur.

"Kalau kau tak tahu apa-apa, tak usah mengajak kami!" sungut Soma.

"Jadi aku harus berdiskusi dengan siapa: Panglima Rakash, begitu??" bisik Nami sengit. "Kalian adalah kaumku sendiri. Hanya kalian yang bisa kuajak bicara dan bertukar pikiran!"

Soma membalikkan badan, mencoba tidur. Dengkur halusnya terdengar.

"Suta?" tanya Nami. Tubuh gadis itu di luar tenda, tapi kepalanya menyuruk masuk.

"Apa?" tanya Suta, menurunkan suara.

"Kau mau mendukungku?" tanya Nami.

"Aku selalu mendukungmu!"

"Kau…mau membantuku?"

Suta terdiam.

"Suta?"

"Aku sedang berpikir, Nami!"

"Jangan berpikir lama-lama !"

"Aku perlu waktu untuk memutuskan. Tapi kalau besok kau akan menghadap Hulubalang Sin, akan kutemani."

Nami tersenyum lebar.

❄️💫❄️

Go, Nami! Be strong. Be tough!

Love~

lux_aeterna2022creators' thoughts