webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Gelombang Hitam (5) : Panglima Aswa & Panglima Paksi

"Kita adalah yang terbaik di angkasa, Gundha!" Gosha berkata tegas. "Tunjukan kehebatanmu!"

"Laksanakan, Panglima!"

"Seperti rencana semula, aku akan menaikimu dalam wujud A-Pasyu menuju Mandhakarma," ujar Gosha.

"Siap, Panglima!"

Barisan Aswa Sembrani dalam bentuk kuda bersayap putih berjajar bagai rantai mutiara di perhiasan para penguasa laut bangsawan Jaladhi. Penutup kepala, pelana, tapal kaki dan pelindung sendi berukir keperakan menjadi tameng terbaik bagi pasukan.

Mandhakarma bergerak lambat namun bengis menuju benteng Aswa selanjutnya. Setelah benteng pertama luluh lantak, gelombang maut itu berjalan tanpa ampun menelan semua kehidupan sepanjang bentangan timur laut ke arah utara. Barisan regu pertama Aswa Sembrani maju serentak melemparkan panah-panah kristal ke arah Mandhakarma. Bagai embun pagi yang menguap cepat, serangan itu tak memiliki arti berarti. Regu pertama melontarkan serangan tanpa henti selama beberapa waktu, hasilnya terlihat jelas.

Nihil.

"Bodohnya aku!" pikir Gosha. "Aku sudah melihat kehancuran benteng timur laut yang hanya mengandalkan serangan biasa. Mengapa buang-buang waktu??"

"Gundha?"

"Siap!"

"Rencana kedua!"

Pasukan Aswa sebagian menguncupkan sayap, berubah ke wujud pemuda tegap yang segera menaiki punggung Sembrani. Tombak-tombak kristal di tangan mereka terhunus seketika. Bukan senjata biasa yang mudah dipatahkan. Musuh akan membeku terkena tusukannya, tubuh mendingin dan hancur berkeping kemudian.

"Lempar!!"

Ribuan tombak kristal meluncur menuju Mandhakarma. Sejenak terlihat cahaya kemilau memancar di sekeliling Mandhakarma, memberikan gemerlap putih yang menyaingi pekat kelam Gelombang Hitam.

Klat.

Klat.

Klat.

Tombak-tombak itu meredup, bagai obor diterpa basah hujan badai.

"Perbesar tombak!"

Pasukan Sembrani dan Aswa A-Pasyu, mempersiapkan tombak kristal dengan lapisan mantra, jauh lebih besar dari ukuran yang pertama. Terbang lebih mendekat, menghadapi Gelombang Hitam yang terlihat sepekat kematian dan menyimpan jutaan dendam. Ribuan tombak raksasa berukuran batang-batang pohon seusia ribuan tahun, meluncur menembus Mandhakarma.

Gosha menajamkan pandangan.

Musuh tampak menggeliat, mengkerut, menciut.

"Tambah serangan!!"

Tombak kristal raksasa yang berikut muncul dan terus menyerang.

Melaju.

Meluncur cepat.

"Tambah serangan!"

Lagi. Lagi. Lagi.

"Teruskan!!! Tambah lagi!!!"

Mandhakarma menghentikan laju. Terlihat bagai siput yang kehabisan lendir, menjelang kematiannya. Gosha dan Gundha menarik napas, merasakan ketegangan atas rasa kemenangan sesaat. Sebentar. Hanya sebentar. Tombak-tombak kristal raksasa yang memasuki Mandhakarma remuk. Pecah berkeping.

Gosha menelan ludah. Gundha membelalakkan mata, seolah menanti gerakan berikut.

"Gundha! Jangan berhenti! Tambah…appaaa???!!"

Tombak-tombak kristal yang hancur berkeping, berbalik terlontar ke arah pasukan Sembrani.

"Awaaaasss!!!"

Gosha melompat dari punggung Gundha, mengubah diri menjadi Pasyu Aswa dan terbang cepat menghindari serangan.

Bagai pohon yang digoyangkan batangnya untuk merontokkan buah-buah ranum di atasnya. Pasukan Sembrani berikut penunggangnya tak mampu berkelit akibat keterkejutan dan keterlambatan menghadapi serangan balik yang menggunakan senjata sendiri! Kepingan tombak kristal Aswa menancap cepat ke tubuh-tubuh pasukan malang yang tak sempat menghindar.

Kematian bagai curah hujan badai yang menghantam bumi.

Kilatan-kilatan keperakan menghiasi langit, bagai kembang api mekar di angkasa raya. Memberikan nyala sesaat sebelum redup, menyisakan kegelapan yang panjang.

"Demi Ratu Laira!" geram suara Gosha.

Lapisan pertama prajurit A-Pasyu dan Sembrani tewas seketika. Jumlahnya mencapai angka yang mengenaskan hingga kemarahan Gosha serasa tak terbendung.

"Apapun kalian, aku tak akan membiarkan makhluk sepertimu lebih lama hidup!!!" teriak Gosha penuh kemurkaan. "Gundha???"

Gosha mengedarkan pandangan.

"Gundha??!"

Pikiran buruk Gosha berkelebat.

Sebelum kesedihan dan kemarahannya bersatu padu, dilihatnya Gundha terbang ke arahnya. Wajahnya pucat pasi.

"Maafkan, Panglima!" Gundha berujar cepat. "Hamba mencoba menolong…"

"Siapkan serangan pamungkas," bisik Gosha.

Gundha menarik napas panjang.

"Gundha?! Jangan buang waktu!"

"Siap, Panglima!" walau tampak ragu, Gundha mengiyakan dengan segera.

Dari balik gunungan awan, kubah-kubah pelindung Aswa meluncur ke arah pasukan Sembrani.

"Lakukan rencana kubah Laira, Gundha!"

"S-siap!"

Gosha kembali berubah wujud, menaiki punggung Gundha.

Aswa A-Pasyu memasuki kubah. Prajurit bersiap siaga di dalamnya, kubah meluncur cepat dalam panggulan Sembrani yang mengepakkan sayap kuat-kuat menuju Mandhakarma. Dari celah-celah kubah, serangan panah dan tombak meluncur ke arah musuh. Tanpa henti, berulang kali, ratusan atau bahkan ribuan ujung senjata terus menghujani Mandhakarma.

"Panglima?"

"Teruskan, Gundha. Terus bergerak mendekati Mandhakarma!"

"Baik!"

Gundha memerintahkan serangan kubah Laira untuk bergerak melancarkan serangan, sembari melaju tanpa henti ke arah Mandhakarma.

"Panglima?"

"Jangan mundur, Gundha!"

"Baik!"

"Serang terus keparat jahannam itu dengan kubah-kubah Laira. Kubah sang ratu adalah senjata paling mematikan!"

"Panglima?!"

"Teruskan, Gundha! Majukan pasukan kita dengan kubah pelindung Laira!"

Hening sesaat, setiap prajurit menarik napas kuat-kuat.

"Aswa Sembrani! Tambah kecepatan dan kekuatan dengan kubah Ratu Laira!!!"

Mata Gosha dipenuhi percikan kebencian.

Kubah-kubah pelindung Aswa, yang disebut Gosha sebagai kubah Laira, melaju dengan kecepatan tinggi dipanggul punggung Sembrani. Senjata-senjata yang dilontarkan tak cukup menghancurkan Mandhakarma. Serangan pamungkas Aswa semoga menghentikan laju kematian hitam yang telah menewaskan entah ribuan, entah belasan ribu pasukan Akasha dan Pasyu secara keseluruhan.

"Serangan kubah Laira!" teriak Gosha membelah angkasa.

Kubah-kubah itu bagai lampu pijar raksasa di angkasa raya, menerobos masuk gulungan Mandhakarma, yang tampak terpana sesaat menyaksikan keberanian tak masuk akal prajurit Aswa. Warna gelap Gelombang Hitam di tepiannya berubah kekuningan, kemerahan, oranye putih. Ledakan-ledakan yang menghilangkan warna hitam ke arah warna kelabu yang lebih terang. Di banyak titik, lampu-lampu putih bercahaya mencoba menghancurkan keberadaan musuh.

Mandhakarma tampak menyusut.

Tepiannya berubah warna menjadi lebih cerah. Bagai awan kelabu yang berganti titik-titik air hujan, kelam alam raya berganti cuaca cerah yang menjernihkan udara.

"Panglima…?"

"Hmh!"

"Apa kita…mengalahkannya?"

"Aku tak yakin demikian!"

Gundha mengepakkan sayap, menatap waspada ke arah Mandhakarma yang tampak menyusut jauh lebih kecil dari ukuran sebelumnya. Gosha memerintahkan untuk mendekat.

Klat.

Klat.

Klarrrrrt.

Mandhakarma tetiba menelan kubah-kubah Laira di sekelilingnya dan menggembung, sembari meremukkan tubuh-tubuh di dalamnya. Melontarkan senjata para prajurit menjadi serpihan, menerbangkan dengan angin kehitaman, membalikkannya ke arah pasukan Aswa yang menanti di luar. Gosha dan Gundha yang berada dalam jarak dekat terkesima. Mereka berdua tertangkap gelembung Mandhakarma, terhisap masuk sementara Aswa Sembrani bertarung mati-matian menghadapi serangan bertubi.

"Panglima, maafkan…"

"Gundhaaa!"

Pemimpin para Sembrani, mengerahkan tenaga tersisa, segenap mantra dan kekuatan sayapnya untuk melontarkan Gosha keluar dari belitan Mandhakarma. Tubuh Gosha berputar-putar, naik turun di tepian Mandhakarma. Tertumbuk. Terhantam. Terbentur. Sebelum terhempas ke luar, ia melihat seringai Mandhakarma yang mengejek ke arahnya. Tubuh Gosha yang sebagian remuk dan rusak, terbakar, terlempar ke luar Mandhakarma.

Meluncur cepat menuju permukaan daratan.

❄️💫❄️

"Aku menangkapmu, Panglima Aswa!"

Rasa sakit yang tak pernah bisa dibayangkan, merajam seluruh denyut rasa. Satu yang terlintas dalam benak Gosha : bisakah Milind mengatasi ini semua? Kesadarannya menghilang dengan cepat sebelum bulu-bulu lembut elang besar menjadi alas tumbukannya.

"Panglima Haga! Apakah kita menyerang Mandhakarma?"

"Tidak! Perintah Raja Ame hal Paksi, kita selamatkan semua yang terluka!"

"Seluruh panglima dan prajurit wangsa melawan Mandhakarma!"

"Hulubalang! Jangan gegabah! Menyerang musuh yang tidak kita ketahui siapa sesungguhnya dirinya, hanya akan melemahkan kita dan membuatnya semakin cepat memenangkan pertempuran!"

Para hulubalang Aswa Paksi tegang.

"Kita bukan pengecut, Hulubalang!" Haga hal Paksi menjelaskan singkat, menatap wajah kecewa para prajuritnya. "Kita akan kembali untuk pertempuran yang berikut! Keselamatan Panglima Gosha dan sebagian pasukannya menjadi tanggung jawab terbaik kita saat ini!"

❄️💫❄️