webnovel

Silent Mature

Gila...! mungkin Aku sudah gila, mengabaikan seorang wanita yang Aku cintai, di mana para lelaki di luar sana menginginkan untuk dapat memilikinya, tubuhnya,Cintanya. Semua karena penyimpangan seks yang sering Aku lakukan dengan Imajinasi ku dan ketakutan yang menghantui Ku sejak kecil. Kenapa Orang dewasa itu selalu senang mengambil keputusan secara sepihak, sehingga masa kecil ku menjadi korban Akibat perceraian kedua Orang tua ku. Maafkan Aku Ara, bantu Aku menghilangkan trauma ku ini, bantu Aku dengan Cinta mu, agar Aku dapat memenuhi kebutuhan Biologis mu. *Thanks For My Friend yang sudah mau berbagi kisah ini sebagai pelajaran untuk dituangkan dalam tulisan.

Caramellarose · Realistic
Not enough ratings
5 Chs

4. Mencium Paksa.

Note.

Mohon bijak untuk membaca, cerita ini mungkin dialami oleh beberapa orang di luar sana, jadi saya menulisnya berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, kalau pun ada kemiripan itu semata karena memang ada beberapa Anak di luar sana yang mengalami hal serupa dan sekelilingnya seolah tutup mata karena nama baik yang di sanjung keluarga mereka.

Selamat membaca

****

Saat itu di jaman ku kecil sedang musim permainan layangan, dan ada beberapa teman sekelas ku yang memainkannya di rumah.

Rumah ku berada di wilayah komplek perumahan elite dimana di sana terkenal sepi dari keramaian, Anak seusia ku jarang untuk bermain di luar rumah itupun hanya bermain sepeda di lapangan yang berada dekat taman kompleks saat sore hari.

Aku tertarik dengan apa yang di mainkan beberapa teman ku yang tempat tinggalnya berada di perumahan dengan suasana warga yang ramai.

"Gus, layangan kamu warna nya bagus, itu bisa terbang tinggi juga gak?" tanya ku kepada teman sekelasku yang sibuk menunjukkan beberapa lembar layangan miliknya kepada Aku dan Aldi teman ku.

"Sudah pasti yang ini jago terbangnya Jun, Aku beli di warung dekat rumah ku." jawab Agus teman ku yang menyakinkan Aku dan juga teman ku Aldi, bahwa layangannya lah yang terbaik.

"Aku nanti siang pulang sekolah mau main le tempat kamu deh, sekalian membeli layangan buat Aku koleksi." jawab ku kepada Agus teman ku.

"boleh, kamu nanti jangan lupa bilang ke mang Juki kalau kamu turunnya bareng sama Aku di rumah ku." Jelas Agus kepada ku.

Aku rasanya tidak sabar membayangkan ada beberapa layangan yang akan Aku lirik di sana, sampai Aku lupa kalau beberapa hari ini Aku selalu pulang berbarengan dengan Kak Reva.

Bell pulang sekolah berbunyi, Aku segera masuk ke dalam mobil jemputan sekolah bersama Agus dan Aldi teman sekelas ku.

Dan sampailah Aku di rumah Agus yang dimana Ibu Agus sudah menyambut putra nya pulang.

"Loh, Nak Jun ikut ke sini juga sama Aldi?" tanya Ibu Agus kepada Aku dan Aldi.

"Iya, Bu kami nanti mau ke warung mang surip tukang layangan." Jawab Agus kepada Ibunya.

"Kalian sudah ijin sama orang tua kan kalau mau main ke sini." Aku terdiam hanya Aldi yang menjawabnya.

"Iya tante kami sudah minta ijin." jawab Aldi berbohong.

Sejak masih Tk Aku sudah di ajarkan oleh orang tua ku untuk tidak berbohong, itulah sebabnya Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Ibunya Agus.

"Sebelum kalian bermain, kalian makan siang dulu ayo!" Ibu Agus mengajak kami makan siang dulu, beliau memerintahkan kami untuk segera mencuci tangan terlebih dahulu.

Ibu nya Agus menyendok kan nasi ke piring dan membagikannya kepada kami bertiga, betapa sangat baik dan penyayang Ibu dari kawan ku ini, sudah lama Aku tidak merasakan hal seperti ini yang dimana dulu Mama sering menyuguhkan makan untuk ku dengan kasih sayang seorang Ibu.

Hati ku serasa terennyuh melihat situasi yang harmonis ini, Aku merasa Ibu dari teman ku ini adalah Mama ku sendiri.

Tiba - tiba Agus minta di suapi oleh Ibunya.

"Bu, suapin Agus makan dong!" pinta teman ku Agus kepada Ibunya.

"Amm...! " sambut sang Ibu sambil mengarahkan sendok berisi nasi yang akan di suapkan ke mulut Agus Putranya.

"Kalian juga mau tante suapi?" tanya Ibu teman ku Agus kepada ku dan Aldi, dengan reflek Aku menganggukkan kepala ku, karena Aku benar - benar rindu di suapi seperti ini dari tangan kasih seorang Ibu.

"Jun, Kamu makannya lahap yah kalau di suapin jadi cepat habis, kalau Agus malah semakin lambat makan kalau di suapi Ibu." kata Ibu Agus masih menunggu mulut aAgus yang masih terisi penuh makanan.

Ada yang menyia-nyiakan kesempatan ada yang menghargai kesempatan,itulah menurutku, bagi mereka yang masih memiliki orang tua yang utuh, dimana kasih sayang Ibunya masih menyertainya dan tidak pernah berfikir suatu hari Kasih sayang itu akan hilang meninggalkan nya.

Setalah makan siang Agus lalu mengajak kami ke warung di mana biasa Agus membelinya, dan letak warung tersebut pun tidak jauh dari rumah teman ku Agus.

Setelah sampai di warung yang menjual berbagai macam layangan, Aku terkagum melihatnya, ada layangan warna merah,hijau ada juga yang bergambar kartun dan bentuk yang lain.

Aku seolah merasa saat itu aku sedang berada didalam surganya layangan, Aku membeli 6 lembar layangan dengan Warna yang Aku suka dan ini adalah permainan yang menurutku tidak memakan uang banyak tetapi bisa membuat Anak laki-laki bahagia.

"Jun, kamu tidak membeli benangnya juga?" tanya Aldi temanku.

"Buat apa? aku tidak Akan menerbangkan layangan ini, Aku hanya akan menyimpannya di kamar ku.

"Kenapa Jun?" kali ini Agus yang bertanya kenapa.

"Aku tidak Akan di Ijinkan bermain layangan di lapangan komplek, Mama ku pasti marah Apalagi Papa An...?" hampir saja Aku keceplosan hendak mengatakan nama Papa tiririku sebab yang mereka tau adalah Papa kandungku Barata.

"Kalau begitu tetaplah kamu juga membeli benangnya yang berbagai warna, kalau kamu satuin warnanya indah loh." Jelas Agus menyakinkan Ku.

"Iya Jun Agus benar, kamu beli saja benang gelasan, itu benangnya sangat kuat dan tidak akan mudah putus kalau di adu dengan layangan lain." kali ini Aldi yang meyakinkan ku.

"Adu..? memangnya menerbangkan layangan itu harus di adu? diadu dengan siapa Gus?" tanya ku yang masih penasaran dan juga sangat tertarik dengan permainan baru ini.

"ya diadu dengan layangan lain yang sedang di mainkan orang lain yang tidak kita kenal, karena itu jangan sampai putus layangan mu, sebab kita akan merasa kehilangan layangan kita, kalau layangan itu sampai putus dan terpisah dari tangan kita."

Entah kenapa perkataan Agus barusan tentang layangan membuat ku seolah merasa kalau layangan itu adalah keluarga ku, Aku tidak ingin keluarga ku putus hubungan seperti layangan itu dan menghilang dari tangan ku dan pandangan ku.

Seketika Aku langsung teringat Kakak ku Reva, Aku meninggalkannya sendiri dirumah bersama Papa tiriku, padahal Aku sudah berjanji untuk selalu menemaninya bila berada di rumah mama.

"Agus Aku mau pulang ah, nanti mama Aku mencari ku jika terlalu lama bermain." kataku kepada Agus temanku dengan sedikit berbohong dan membawa katab Mama ku agar mereka percaya.

"Ayo kamu Aku antar ke pangkalan Ojek biar kamu naik ojek langganan Ibu ku." Agus mengantarkan ku ke ujung jalan dimana disana ada pangkalan ojek yang stand by saat di perlukan.

"Bang ke jalan Alam elok IV perumahan Alam elok Residence." kata ku kepada tukang ojek langganan Agus teman ku.

Untungnya Aku selalu di beri uang saku setiap hari, tetapi tidak pernah mempergunakanya, sebab semua kebutuhan ku bahkan makanan kecil yang ingin Aku makan pun sudah tersedia di rumah ku.

Akhirnya Aku sampai, lalu Aku memberikan ongkos kepada Abang Ojek senilai 25 ribu dan Aku bergegas masuk kerumah dengan menenteng tas dan kantong plastik berisi layangan yang baru Aku beli bersama teman ku,.segera Aku membuka sepatuku saat masih berada di teras rumah.

"Jangan Pa..! Reva enggak Mau..!" Aku mendengar Kakak ku berteriak dan menangis, Aku segera berlari melihat Apa yang terjadi dengan Kakak Ku, tanpa berfikir panjang Aku membuang tas Ku asal dan juga kantong plastik yang berisi layangan milik ku.

Betapa terkejutnya Aku melihat Papa ando memaksa Kak Reva dan menciummi pipi Kakaka ku dengan paksa dan posisi Kak Kak Reva berada dalam pelukannya yang sedang duduk di sofa.

Kakak ku meronta dan hendak melepaskan diri sambil menangis, Aku tidak mengerti apa yang hendak Papa Ando ingin lakukan terhadap Kakak Ku, yang jelas Aku tidak bisa melihat Kakak ku menangis.

Aku lalu berlari lalu memukuli Papa Ando dengan sepatu yang baru saja Aku buka.

"lepasin Kak Reva Pa, Jun benci sama Papa Ando, lepasin Kakak ku.!" teriak ku sambil terus memukul Papa Ando dengan sepatu di tangan ku, dan Papa Ando melepaskan Kak Reva lalu mendorong ku kuat.

Kak Reva dengan sigap menarik tangan ku dan mengajak ku berlari keluar rumah, lalu kak reva mengeluarkan ponsel dari saku seragam nya dan menekan nomor telepon kendaraan umum.

"Iya hallo, pak saya mau satu taksi bless Bird ke perumahan Alam elok Residence Pintu barat ya pak." Kak Reva membawaku ke post satpam lalu Aku memakai kembali sepatuku di Post itu.

"Nak Reva sama Jun mau kemana?" tanya Pak Akri kepala Satpam Komplek yang sangat ramah terlebih kepada Papa kandung ku dulu.

Kak Reva terdiam dan terus melirik ke arah gang dimana rumah ku berada, Aku sangat mengerti pastilah Kak Reva sedang merasa takut kalau Papa Ando akan mencari kami.

"Jun sama Kakak mau ke rumah Papa di kelapa gading Pak." Jawab ku sopan, padahal bisa saja Aku mengadu kepada Pak satpam Akri tentang hal apa yang barusan di lakukan oleh Papa Ando terhadap Kakak ku Reva.

Tetapi Kak Reva seolah tidak mau orang luar mengetahuinya, atau membuat nama keluarga ku menjadi buruk, Aku dulu tak memahami hal ini setelah Aku mulai dewasa Akhirnya Aku paham dan mengerti mengapa Kakak ku tidak memberitahukan kepada Pak Satpam ini waktu dulu saat Aku masih kecil.

Akhirnya Taksi yang di pesan kakak ku pun tiba, dan Aku juga kakak ku berpamitan kepada beberapa Satpam Kompleks rumah ku.

Di dalam taksi kakak ku hanya menatap ponselnya dan melihat nama Papa kandung ku pada kontak seluler.

"Kakak mau telepon Papa?" tanya ku penasaran.

"Kakak bingung Jun harus melapor ke siapa?" Jawab Kakak ku dengan tangis dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku seragam SMP nya.

Hati ku sakit,sangat sakit saat Kakak ku mengatakan harus mengadu kepada siapa? sebab Orang tua kami sendiri pun tak pernah menanyakan apakah kami bahagia, senang, sedih atau takut, mereka hanya tau kalau kami sekolah dan kebutuhan sekunder kami terpenuhi itu sudah cukup.

Mereka tidak pernah sedikit pun berfikir kalau kami membutuh kan mereka untuk melindungi kami dari kejamnya manusia, dari kejamnya zaman yang setiap saat akan membawa kami menjadi rusak dan tidak terkendali.

- Bersambung-