Lela hanya menanggapi kemarahan mereka dengan sebuah senyuman tipis. Sedangkan Jimi saat ini sedang gusar.
Brak! Suara meja dipukul oleh salah seorang dari mereka. Kini para pengunjung cafe itu terdiam sambil menyaksikan ulah segerombolan preman itu.
"Kamu berani mengejek kami, hah?"
"Kalau berani jangan sama cewek. Sini, sama aku. Kita adu kekuatan di luar!" tantang Jimi sambil berdiri.
"Beraninya dia. Punya ilmu kebalkah? Kalau nggak punya, mending jangan sok jagoan!" ledek seorang lelaki yang memakai pakaian biru pudar. Kini ia sedang tertawa menghina bersama teman-temannya.
"Paling cuma modal nekat doang. Karena malu kalau menciut di depan cewek!" timpal yang lainnya.
"Yah, cuma modal tampang yang bisa menutupi hatinya yang lagi seperti hello kitty," sahut satunya lagi.
"Kalau mau bukti. Mending bacok saja. Mati nggak? Kalau mati, berarti memang cuma modal nekat doang!"
"Diam! Kita tidak punya urusan dengan pemuda songong ini. Kita hanya punya urusan dengan gadis besar nyali ini!" bentak lelaki berkepala botak. Ia kini menatap tajam Lela. Sedangkan mereka yang dibentak tadi. Langsung bungkam.
"Dia datang bersamaku. Jadi kalian harus hadapi aku dulu sebelum menyentuh dia!" tantang Jimi lagi. Brak! Ia didorong oleh lelaki botak itu hingga membentur kursi di belakangnya. Otomatis orang yang duduk di kursi itu langsung menyingkir. Ada juga yang langsung pergi karena tidak ingin menjadi saksi atau tidak ingin menjadi korban nyasar mereka.
Jimi segera membalas dengan cara mendorong balik lelaki botak tadi. Brak! Lelaki botak itu terdorong menabrak teman-temannya dan berdampak pada kesengsaraan mereka yang kini terjatuh hingga membentur meja di sekitarnya. Jimi melihat kedua tangannya. Ada tatapan tidak percaya karena ia mampu mendorong musuhnya hingga sekuat itu. Jimi lalu melihat ke arah Lela yang kini sedang menikmati makanannya dengan sangat santai sekali.
"Sial!" teriak lelaki botak tadi. Ia sudah berdiri untuk menantang lagi. Kali ini justru mengambil pisau lipat dari saku belakangnya. "Kita lihat saja. Apa kali ini kamu masih bisa selamat!"
"Aw!" teriak salah satu pengunjung cafe yang masih berada di situ. Seorang gadis berkacamata yang ternyata langsung syok karena melihat ketegangan mereka.
"Bos, jangan! Kita bisa dipenjara!" cegah salah seorang dari mereka.
Lelaki ini tidak peduli. Ia maju untuk menghabisi Jimi. Namun, baru saja akan menyerang. Lela sudah lebih dahulu menghalangi. Dengan berdiri di hadapannya. Membentengi Jimi dari kekejaman musuhnya. Seketika itu pula, lelaki ini tidak melihat Jimi. Padahal jelas-jelas Jimi berada di depannya. Ia berbalik untuk mencari-cari sosok musuhnya. Namun, di antara yang lain. Tidak ditemukan adanya Jimi di antara mereka yang masih berada di sekitarnya.
"Hei, jangan bersembunyi kau pengecut! Tampilkan dirimu di sini!"
Mereka kebingungan. Mendapati sikap bosnya yang seolah buta. Sehingga tidak bisa melihat Jimi di dekatnya. Bahkan mereka sudah akan memberitahu. Saat Jimi menyerang dengan menendang belakangnya. Bruk! Nyaris pisaunya menusuk salah satu anak buahnya. Beruntung mereka langsung menyingkir.
"Siapa tadi?!" bentaknya. Ia langsung berbalik untuk melihat si penyerang. Ternyata tidak ada. "Sial! Mereka pergi dari sini. Kenapa kalian tidak ada yang mencegahnya?!"
Mereka saling ratap dalam kebingungan. Sebab Jimi dan Lela masih tetap pada posisinya. Hanya lelaki itu saja yang tidak dapat melihat mereka.
"Bos, dia masih di sana! Tepat di belakangmu!" seru salah seorang dari mereka.
"Ya, dia di sana!" sahut yang lain.
"Tidak ada!" bantah lelaki ini. Ia marah karena merasa mereka saat ini sedang mengerjainya. Namun, saat pisaunya dirampas oleh Jimi. Ia terkejut, karena melihat pisau itu terbang sendiri. "Set--set--setaaan!"
"Bos!" panggil mereka bersamaan. Sambil mengejar bosnya yang kini lari tunggang langgang.
Jimi tertawa gelak sambil meletakkan pisau ke atas meja. Ia kembali duduk. "Ternyata enak juga mengerjai mereka."
"Jangan senang dulu. Karena perbuatanmu tadi. Dia mungkin akan mencarimu lagi," kata Lela. Ia kembali duduk untuk menikmati makanannya lagi.
"Ya, itu aku tahu," jawab Jimi sambil makan.
"Jadi kita sudah sepakat untuk yang tadi, kan?" tanya Lela.
"Tentu. Kapan aku akan tahu kenyataannya?"
"Aku selesaikan dulu masalahku yang ada. Baru nanti kita bicarakan lagi. Apa kamu keberatan?"
Jimi menggeleng, walau sebenarnya menyimpan rasa kecewa. Sebab ia berharap agar masalahnya segera tuntas.
"Baiklah. Aku harus kembali." Lela segera menyudahi makannya. Padahal Jimi baru saja hendak menyuap makanannya untuk tahap kedua.
"Baiklah." Terpaksa Jimi menyudahi makannya. Namun, saat ia hendak berdiri. Lela segera menahan pundak kirinya agar tetap pada posisi duduknya.
"Biar aku yang bayar!" Lela meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.
"Tapi a--" Belum sempat ia menjawab. Lela sudah berlalu darinya. "Ih, malunya. Aku ditraktir!"