27 Pemuda masa lalu.

Mataku bergeming, jarak antara kami terlalu dekat. Matanya berkeling sempurna dengan tatapannya tepat mengarahku.

Lalu bibirku bergetar untuk berucap. "Ke-kenangan lama, apa maksud lo?" Penasaran, suaraku agak gelisah mendengar ucapan yang dia ucapkan kepadaku.

Pria di hadapanku ini langsung mundur, menyenderkan kembali tubuhnya di senderan kursi kafe yang terbuat dari kayu sintetis campuran. Dia menarik wajahnya seolah-olah tidak pernah mengucapkan kalimat tadi.

Lalu sebelah tangannya meraih puntung rokok yang masih belum dinyalakan. Korek api gas mulai diraihnya dari saku celana, dia mulai menikmati asap berbau tembakau dan berbagai bahan aktif yang menyengat.

Kepalaku sedikit membuang muka, bersedekap tangan.

"Gue punya kenangan lama. Mungkin, lo emang nggak inget atau pura-pura nggak tahu." Oslan mulai bersuara lagi.

Kali ini dia menatapku miring, dengan bibir mancung menyemburkan aroma asap yang berbau.

Aku harus menyipitkan mataku lancip, menyoroti pandangan wajah pria yang sudah memberi tawaran kesempatan untuk menjadi bintang terkenal. Napasku sedikit sesak ketika harus berhadapan dengan aroma asap yang mengesalkan.

Tanganku sedikit menutup mulut dan hidung secara bersamaan, takut akan tercium dengan aroma tajam dan berbahaya. "Kok tiba-tiba lo sebutin kenangan lama? Serius, gue juga nggak ngerti dengan maksud lo."

Suaraku mendesak, supaya Oslan segera mengatakan hal yang mungkin disembunyikan olehnya. Barulah Oslan menutup kembali mulutnya, lalu menjatuhkan sisa-sisa dari puntung rokok dengan menepisnya sesekali.

Sambil merunduk dia berbicara, "SMA 114 negeri, tahun 2012. Waktu itu di depan gerbang pintu tepat waktu sore. Di saat itulah gue tahu kalo lo punya rahasia terhebat!" Terdengar suaranya begitu tegas.

Aku memperhatikan gerakan bibir pria ini di depanku. Setelah nada itu, aku mulai terpengah sesaat dimulai dengan rasa penasaran sekaligus membuka memori masa lalu. Keningku berkerut-kerut tanya, seakan berusaha membongkar seluruh isi dari dalam kisah masa itu.

Ketika itu, kapan? Dan apa yang sudah terjadi? Mataku tersingahak, melihat rupa di hadapanku mulai terpampang sosok masa lalu.

Mataku kabur dan redup, mulai menerawang ke arah sepuluh tahun yang lalu.

***

Pemuda ini tersenyum ketika aku berdiri di ujung taman sekolah. Menatapku lama, tanpa adanya sapaan kepalaku bahkan memutar ke segala arah. Oslan di masanya ketika dia remaja, menatap diriku dengan sebuah ukiran senyuman.

Karena keberanianku, aku menghampiri dirinya ketika pakaianku sudah siap dengan gaun panjang di sebuah acara sore.

Kepalaku sesekali menoleh ke belakang, takut salah memahami dari penglihatannya.

"Bukan orang lain, tapi e lo." Oslan berkata hangat.

Pandanganku pun percaya diri memperhatikan rautnya yang tersenyum.

"Siapa lo? Kenapa bisa ada di sini?" tanyaku curiga.

Oslan menunjuk telunjuk tepat mengarah tangan kiriku yang memegangi sebuah ponsel. "Coba liat pesan itu."

Mulutku ternganga perlahan, mengangkat tangan yang sudah kugenggam ponsel BB waktu itu. Tak terbayangkan, kalau seseorang yang akan menjemputku di saat aku pulang kontes adalah pemuda di depanku.

Kepalaku terdongak, menatap ke arah pemuda ini bersama dengan isi pesan yang ada di layar setengah badan ponsel.

[Kamu tunggu aja di depan, ntar juga ada orang jemput kamu. Oke!

Pesan ini dikirim dari sahabat setiaku—Sesil. Menjadi orang yang selalu peduli terhadapku dengan caranya sendiri. Pemuda sebayaku menyambut dengan jemari panjangnya sambil tersenyum.

"Yuk pulang!" ajak Oslan percaya diri. Kepalanya terangguk-angguk dengan tatapan hangat.

Bagaimana bisa aku tidak ingat tentang pemuda satu hari ini?

Dia mengajakku naik ke atas motor kerennya berwarna merah cerah. Sungguh. Dia seorang pemuda remaja yang manis dengan jaket kulit hitam mengilap. Motor dengan body meninggi, supaya aku duduk merosot mengarahnya. Ninja berwarna merah cerah ini meraung gagah ke jalanan.

Kami pulang bersama, tapi hanya satu hari itu saja.

***

"Hah!!" sergahku tersadar.

Pandanganku jatuh ke bawah, rasa sesakku seakan menyatu dengan sayatan di ujung kepala. Aku seakan merasakan sakit yang luar biasa di bagian otak kecil. Tapi aku berusaha untuk mereda agar bisa lebih baik.

Dua tanganku meraba kepala supaya tenang. Kenapa aku tidak bisa mengingat orang ini kalau dia pernah menjemputku di suatu kontes model remaja? Pemuda itu ada di depan mataku. Dengan perubahan yang signifikan.

Rupanya bahkan tidak aku kenali. Mungkin karena dia rajin olahraga Gym di suatu tempat. Denyut nadi terasa cepat bersamaan dengan jantung yang memompa darah mendesak. Jiwaku mengamuk, bahkan malu karena telah bertemu dengan pemuda baru dikenal satu jam.

"Lo!"

"Lo!"

Napasku berdesah, seolah-olah takut dan waspada. Dia menerkamku dengan pelan, menyambut dua lenganku yang hampir geloyor ke ujung meja kafe. Kami tidak berpindah tempat, masih di posisi yang sama.

Entah kenapa? Memoriku sulit untuk mengingat sesuatu, bahkan tentang dirinya.

"Cha, lo kenapa?" Oslan memegangi dua lenganku.

Yang akhirnya aku berdiri sambil dipegang erat olehnya. Kami berdiri sejajar dan saling berhadapan dengan tatapan begitu dekat.

Posisi tubuhnya hampir sebaya dengan Jose—suami sementaraku. Sekarang, aku hampir saja melupakan sosok suami sementara itu yang bisa saja datang tanpa terduga.

Lalu dua tanganku mengendur dan jatuh. Pandanganku berpaling dari hadapan Oslan.

"Gue nggak apa-apa."

Nadaku memang jelas, tetapi tubuhku bergeser agar memberi jarak dengannya. Aku memalingkan wajah sambil bernapas resah. Mataku secara luas memandang ke seluruh area kafe kalut. Walau desas-desus napasku masih tak beraturan.

"Cha, kelihatannya lo kurang enak badan ya? Biar gue antar pulang, ya." Tawaran Oslan bahkan tidak kutolak. Dia merampas lenganku lagi sambil menuntun jalan hingga ke depan gerbang terluar kafe.

Aku mengikuti arahan yang ditunjukkan oleh Oslan menuju parkiran memanjang. Lalu dia membuka pintu mobil berbentuk sedan di sebelah kemudi menjulurkan tangan ke belakang punggungku untuk masuk.

"Ayo, Cha." Oslan menaikkan alisnya ramah telah mengenakan topi hitamnya yang menutupi sedikit garis matanya.

"Ah!" Sontak aku meranggul, mengikuti ajakannya.

Aku duduk dan bersama Oslan—si pemuda misterius dalam hidupku selama ini. Pertemuan itu tidak pernah aku ingat. Lalu dia datang lagi ke tahun berikutnya, ketika diriku hampir terjengkang di lantai audisi model.

Kepalaku menoleh tepat ke samping Oslan yang sudah memegang kemudi setirnya. Dia membalas untuk menoleh sambil tersenyum manis. Dia memiliki belahan bibir bawah yang begitu seksi. Aku terbayang-bayang dari pertemuan ini tanpa terduga.

Deg!

Jantungku bernada kurang baik. Pandanganku melesat ke sebelah, tidak berani menatapnya lama.

"Maafin gue, Cha. Gue kurang tahu kalo lo emang susah inget orang lain. Gue jadi bersalah, jadi gue anterin lo sampe di rumah."

Oslan menawarkan tanggung jawab, tetapi aku mulai memelankan pandangan untuk membalasnya. "Gue di rumah baru."

Oslan mengangguk. "Gue tahu kok! Tenang aja."

"Hah! Tahu? Dari mana—"

"Apa sih yang nggak pernah gue tahu sama lo," sosornya bahkan menyerobot pertanyaanku.

Jemari dan kakinya siap untuk tancap gas. Dia melewati ucapannku yang meninggalkan sisi misteriusnya.

avataravatar
Next chapter