webnovel

Semusim Berondong Jagung (7)

Ada pepatah nyinyir soal jagung yang dibenci Simon seumur hidup ini. Yakni istilah seumur jagung. Ya, fakta membuktikan, umur tanaman jagung memang singkat, cukup 34 bulan dan sudah mangkat. Bahkan tak sampai 3 tahun umur jagungnya. Namun, dibanding gulma ataupun rumput yang lebih panjang umurnya, jagung punya daya guna yang tak bisa diremehkan, terutama bila sudah menjelma berondong jagung.

Entah kenapa, Simon lebih suka berondong jagung daripada jagung berondong sebagai istilah popcorn. Lebih enak aja ucapannya. Godfather Simon, ayah angkat bernama Babeh Sal setuju sekali, sampai-sampai mengusulkan agar Simon mematenkan istilah itu sebagai kata temuan baru.

"Kata baru gimana, Beh. Itu tinggal dibalik aja, kok. Jagung berondong jadi berondong jagung. Biasa-biasa saja, gak ada menariknya juga." Simon menjawab sembari leyeh-leyah di bale-bale bambu Babehnya.

"Eh, pembalikan kata itu dahsyat efeknya. Contoh nih, ibu makan. Biasa saja, toh? Nah, kalo makan ibu gimana rasanya? Padahal tuh cuma dibalik aja toh, Le."

Simon nyaris muncrat tawanya. Kata orang, bila ia berbicara atau ketawa keras, droplet liurnya selalu memancar ke semua arah. Hiperbolis memang, sih. Tapi nyatanya Simon juga merasa begitu. Apa boleh buat, deh. Keturunan dari nyokap kali, yang setiap kali bicara nyaring selalu datang gerimis dalam bentuk air ludah yang memercik-mercik. Dasar mulut ember!

"Beh. Dulu waktu masih SD kelas satu, aku salah mendikte. Makan ubi jadi makan ibu. Gitulah bahasa kita, yang salah eja dikit maknanya melenceng tahu ke mana. Berondong itu juga bisa artinya memberondong, kan. Artinya menembaki bertubi-tubi tak berenti berenti. Hehe."

Babeh Sal menyodorkan kerupuk kulit, diterima ragu-ragu oleh Simon, karena kerupuknya rada-rada keling. Mungkin gosong sedikit pas sedang digoreng, Simon mencoba berpikir positif.

"Le, tahu gak, justru kata memberondong itu asalnya dari kata berondong jagung. Karena bikin berondong kan jagungnya kayak meleduk-leduk. Jadinya kayak tembak-tembakan, gitu. Dar-der-dor." Babeh menyerocos persis seperti berondongan butir jagung.

"Iya, peluru jagung mah kagak bahaya. Gak kayak mimis, Beh. Itu baru mematikan." Simon berlagak membidik seekor cecak gemuk, hitam keling, yang merayap lambat di langit-langit teras rumah Babeh Sal.

"Hah? Mimisan bisa mematikan, Le? Oh, karena darahnya gak berenti berenti keluar? Jadi orangnya kehabisan darah, gitu?"

"Bukan, Beh. Bukan mimisan, tapi mimis. Mimis artinya peluru bulat. Itu bahasa Indonesia, lho. Ada di KBBI, kok." Simon menjawab dengan menahan senyum. KBBI maksudnya tentu Kamus Besar Bahasa Indonesia.

"Apa, ada di KBRI? Berarti di gedung kedutaan ada tulisan di temboknya gitu, Le?"

Simon akhirnya curiga, Babeh Sal cuma berlagak pilon untuk berguyon. Terbukti siulan si babeh terdengar geli dan riang, seakan puas mengerjai Simon yang cengar-cengir kuda. Iya juga sih. Bahasa kita tercinta memang ajaib. Banyak kata-kata yang satu hurufnya bergeser saja sudah lain sekali maknanya.

Kedelai dengan keledai. Kepala dengan kelapa. Asmara dengan asrama. Ibu dan ubi. Simon dengan Simona. Hah? Kok bisa? Kok bisa-bisanya ia terpikirkan nama perempuan pecicilan yang satu itu? Ih, gak level lha yaw! Simon memekik dalam hatinya.

Siapa juga yang sudi dipasang-pasangkan sama Nona Mona Lampir yang satu itu. Pasalnya maksud kedatangan Simon ke rumah sang babeh justru untuk mengadukan nasibnya akibat ulah Simona yang provokatif. Karena yang membuat kesal, Simon disuruh-suruh menyebarkan hoaks alias berita kebohongan oleh Simona.

Hoaks apa ya yang dituntut Simona ke Simon?

danirasiva80creators' thoughts