webnovel

Bos Berondong Songong (15)

"Tuh kan, Bos. Apa kubilang, strateginya jitu, kan? Untung yang mencicipi sampel berondong bapak-bapak itu. Efektif gak menurut Pak Sim?" Simona bersedekap tangan dengan sombong.

"Sini, sini, Mona. Aku punya tugas buat kamu." Simon mengunjukkan semangkuk kecil popcorn, tepat di bawah hidung Mona yang lancip. "Coba cicipi berondongmu."

"Hah? Oh ya, boleh juga lah, Bos. Aku kebetulan laper. Thanks, Boss."

Simona menyuapkan dua butir popcorn, sebelum kunyahannya terhenti dua detik kemudian. "Manis! Kok manis rasanya. Tadi kucemplungkan garam kok, Pak." Si cewek kacamata meraup lagi berondong dan memamah-mamah seolah cemas lidahnya salah kecap. Salah mengecap, maksudnya.

"Coba aku mau lihat garam punyamu mana?" Simon bertolak pinggang, mengawasi Mona yang meraba-raba di sekitar kompor listrik.

"Lha ini garamnya, Pak." Simona mengangkat toples kecil plastik, berisi serbuk putih yang sepintas lalu garam asli.

Garam yang diakui Simona itu nyatanya manis, saudara-saudara. Ya, bukan sulap dan bukan sihir-sihiran, karena bubuk putih itu gula halus, yang biasanya dibubuhkan Simon pada kopi hitam kesayangannya. Garam yang sebenarnya masih berupa bungkusan, belum dituangkan pada botol kecil bekas acar, yang kosong lantaran stok garam sudah habis dari kemarin-kemarin.

"Asyapp! Maaf, Pak Sim. Aku yang beli garam, tapi lupa kutuangin ke botolnya. Gara-gara bunyi letusan ban, konsentrasi saya pecah, Pak." Simona memohon ampun dengan menepak jidatnya sendiri.

"Sementara kita lupakan dulu garamnya. Mereka maunya popcorn rasa putri salju. Kayaknya kita berhasil bikin terobosan popcorn keren, Mona." Simon bertepuk dada dengan jemawa.

"Berkat siapa dulu dong, Pak?" Simona dengan lagak lagu bungah menunjuk dadanya sendiri.

"Berkat truk yang pecah ban, dong. Kalau truknya gak pecah ban, kamu mana mungkin salah pake gula halusnya. Kan?"

"Ho'oh ya, Bos." Simona mengangguk-angguk kosong, sebetulnya tak setuju pecah ban truk turut andil menciptakan popcorn manis penemuan barunya.

Hari-hari pailit di kantor Simon jadi lebih bercorak warna. Ada harapan kecil, karena Simon dan Simona, duet maut sampai berpanas-panas di dapur menggarap jagung berondong. Jualan di warung Pak Minibus laris manis, seperti diharapkan Simon si Tuan Berondong Songong, maka makin getollah bisnis konsinyasi itu berjalan.

"Bos, sementara kita bisa nih handle orderan berdua aja. Lama-lama kalau orderan makin full ngebut kita gimana ngejarnya?" Simona mengeluh selagi mengemas popcorn manis dalam kemasan Nurish Corn yang mereka cetak sendiri labelnya.

Minimalis dan sangat sederhana sekali. Kemasan plastik yang dipakai hasil dari hunting di online shop, dipilih standing pouch ziplock bening yang murah dan logo Nurish Corn dirancang oleh Simon bermodal aplikasi logo maker gratisan dan dicetak dengan printer kantor, yang praktis menganggur lumayan lama sejak bisnis Poppin Corn melempem seiring pailitnya bioskop-bioskop.

"Dulu logo Poppin Corn, yang P-nya kayak miring-miring itu siapa yang mendesain, Pak?" Simona bertanya sambil merekatkan ziplock dan menyegel mulut plastik dengan hand sealer mini.

"Oh itu bikinan desainer logo teman lama bokap, eh, papa aku. Dia desainer lulusan Singapur, lho."

"Oh, singgah di dapur, Pak Sim?" Simona seperti sengaja meledek bos berondong yang dinilainya agak songong, karena sedikit menyepelekan bisnis popcorn warungan yang mereka rintis saat ini.

Nyatanya, Simon memang masih sibuk koar-koar soal kejayaan masa lalunya. Tentang logo Poppin Corn yang didesain secara profesional, juga paper cup box popcorn yang food grade dan non-toksik. Dulu, pengolahan popcorn dilakukan di gerai bioskop, dan jagung berondong tidak dikemas dalam plastik, tetapi memakai paper cup agar mudah dikudap saat menyaksikan tayangan film.

Songong itu artinya sombong. Simon tidak berharap dicap sombong, hanya saja kenangan yang berlalu mau tak mau disegarkan kembali kala hangat-hangatnya popcorn mereka digarap, dan betapa sangat berlainan level popcorn yang kini digarapnya.

Dari bioskop harum berkursi empuk turun ke warung sederhana berbilik bambu. Tajam betul perbedaannya. Bukan meremehkan bisnis kecil, Simon cuma merasa, merendahkan diri mungkin jalan terbaik agar kematian tidak benar-benar terjadi. Sombong berarti mematikan diri sendiri, karena zaman now yang edan menuntut setiap manusia untuk adaptasi.

Post Power Syndrome. Itu penyakitnya Simon saat ini. Dulu berlevel elit lalu turun ke kelas non elit. Wajar kalau ada perasaan kurang menerima, ya.

danirasiva80creators' thoughts