webnovel

Rumah sebelah

Sonya berhenti di pintu, memperhatikan bagaimana Dini menyelimuti tubuh sang putri yang telah tertidur lelap. Jemarinya masih menepuk lembut, bersenandung kecil hingga tidak menyadari kehadiran sang tuan rumah.

"Dia sudah tidur?" tanya Sonya dengan suara yang berbisik pelan.

"Oh!" Dini sedikit kaget, lalu menoleh ke arah Sonya yang tersenyum lembut dan berdiri di belakangnya. "Iya. Sudah tidur," jawabnya lirih.

"Kita bicara di luar, yuk! Biar tidak mengganggu tidurnya." Ajakan Sonya begitu santun.

Perempuan itu terdiam, lalu melihat ke arah anaknya yang masih tertidur pulas. Napas bocah itu terdengar teratur, pertanda ia nyaman berada di single-bed kamar yang ber-AC sedang.

"Dia akan baik-baik saja. Nanti biar aku suruh embak untuk sering memeriksanya," ucap Sonya, menenangkan kekhawatiran Dini.

Akhirnya Dini mengangguk dan mengikuti ajakan Sonya untuk keluar dari kamar. Ia belum melihat suaminya sejak berpamitan pergi bersama Bara beberapa jam yang lalu. Meski baru bertemu, tapi sikap hangat Sonya, pemilik rumah yang kaya raya itu mampu membuat hatinya terharu.

"Tak perlu sungkan padaku, Dini. Suamimu adalah sahabat lama suamiku, jadi artinya kita juga sahabatan, kan?" ucap Sonya, saat mereka berjalan bersama menuju halaman belakang.

"Iya, Bu," jawab Dini, masih canggung.

"Jangan panggil 'Ibu', dong. Usia kita sepertinya tidak terpaut jauh, kan? Kamu ... umur berapa?" tanya Sonya lagi.

"Tahun ini ... tiga puluh," jawab Dini.

Sonya terdiam sejenak, lalu buru-buru tersenyum dan menunjuk ke arah pintu besi yang menghubungkan halaman belakang mereka dengan rumah yang berada di sebelah.

"Oh ... masih muda, ya. Kalau begitu panggil 'Kakak' boleh, deh. Aku tujuh tahun lebih tua darimu," sahut Sonya dengan senyum manisnya.

Dini membalas dengan senyum tipis. Ia tahu, wanita cantik di sebelahnya pasti tidak menyangka kalau ia terlihat jauh lebih tua dari usia yang disebutkan. Apa lagi, wajah yang tampak pucat dan tanpa sentuhan make-up sedikitpun. Polos yang benar-benar memperlihatkan gurat lelah dan kesedihan yang tak bisa ia tutupi, meski telah menyamakannya dengan senyum lebar sekalipun..

"Iya, Kak. Maaf sudah merepotkan," ucapnya.

Sonya hanya membalas dengan anggukan, kemudian menarik pegangan pintu yang tidak digembok itu hingga terbuka. Mereka sampai di halaman belakang rumah sebelah.

"Rumah ini sebenarnya kami gunakan untuk menyimpan sebagian produk dan beberapa barang. Secepatnya akan dibereskan dan bisa segera ditempati. Nggak besar sih, tapi lebih nyaman untuk kalian tinggali ketimbang harus nge-kost dan berbagi kamar dengan orang lain. Nanti kamu bisa atur sendiri sesuai dengan seleramu. Oke?"

Dini terhenyak. Tiba-tiba dadanya terasa sesak saat mendengar ucapan Sonya hingga tak mampu berkata-kata. Ia mengamati sekeliling rumah dengan seksama. Ukurannya mungkin hanya sepertiga bila dibandingkan dengan rumah sebelah, tapi baginya ini sangat diluar dugaan.

"Ini ... beneran, Kak?" tanya Dini dengan suara yang bergetar.

"Iya. Kalian bisa tinggal di sini sekarang. Anggap saja rumah sendiri."

"Beneran nggak apa-apa, Bu?" ucap Dini dengan mata yang kini telah berkaca-kaca.

"Jangan nangis, dong. Sini peluk!" ucapnya, seraya merentangkan kedua lengan dan langsung memeluk perempuan bertubuh kurus itu.

"Terima kasih, Kak. Terima kasih ...."

Sonya membiarkan Dini menangis di dalam pelukannya. Ia tidak tahu penderitaan seperti apa yang telah dialami oleh ibu dari seorang putri yang cantik itu, tapi entah kenapa ia seperti merasakan kesedihannya. Tidak mudah menerima kenyataan dengan kondisi buah hati yang terlahir berbeda.

"Sebaiknya kita kembali. Takut Alika bangun dan mencari kamu." ucap Sonya, mengingatkan.

Mereka pun kembali ke rumah besar di sebelah. Jika Dini langsung menuju ke kamar tamu, Sonya pergi ke atas untuk membangunkan Riki yang masih belum keluar dari kamarnya. Sebenarnya remaja kelas tiga SMP baru pulang di pagi hari menjelang Subuh, tapi ia sengaja tidak memberitahu suaminya.

"Ini sudah siang, Riki. Bangun, Sayang!" tegur Sonya, saat masuk ke dalam kamar anak bujang yang dibiarkan gelap dengan sound musik keras masih menghentak.

"Mmmmmhhhh ..!?" Hanya terdengar lenguh panjang dari balik selimut.

"Riki ...!" Sonya memanggil sedikit keras. Ia pun mematikan musik, membuka jendela serta menyibak semua tirai hingga cahaya kini menerangi kamar bernuansa merah dan biru itu.

"Lima menit lagi, Mah." Ia masih merajuk. Tetapi Sonya langsung menarik selimut tebal yang membungkus seluruh tubuh putranya.

"Bangun! Papa lagi di jalan dan sebentar lagi nyampe. Buruan mandi, lalu turun! Jangan sampai Papa marah dan naik buat obrak-abrik kamar kamu, ngerti?" tukas Sonya, bernada ancaman.

Selesai meng-ultimatum sang putra, Sonya pun keluar dan bergegas menuju kamar untuk bersiap. Satu jam lagi dia harus pergi ke suatu tempat untuk menemui kilen penting. Berstatus istri seorang pengusaha yang diperhitungkan, ia sudah terbiasa dengan pertemuan-pertemuan penting yang sedikit banyak tentu berpengaruh pada kelangsungan usaha suaminya.

"Halo, Pa!" sapa wanita cantik itu melalui panggilan yang di-loud-speaker, sementara ia memperbaiki riasan di wajahnya.

"Kenapa, Ma? Sebentar lagi sampai. Ada apa?" jawab sang suami.

"Mama ada janji di luar. Sorry banget, tapi mama kayaknya nggak bisa temenin makan siang, deh. Nggak apa-apa, kan?"

"Ya, udah. Mama kapan perginya? Papa anterin, ya? Atau mau diantar sama Reno? Bentar lagi kami nyampe, kok."

"Nggak usah. Mama pergi sendiri aja, nggak apa-apa. Reno biarin suruh istirahat aja dulu, sekalian lihat-lihat rumah sebelah. Makin cepat mereka pindah makin bagus. Biar mama juga ada teman ngobrol," sahutnya, seraya memilih anting yang pas dengan menempelkan beberapa di telinganya. Ia mengamati dari bayangan dirinya dalam cermin.

"Oke. Mama hati-hati."

"Iya. I love you, Pa."

"Love you too."

Sonya mengakhiri percakapan, lalu meraih tas kecil di barisan lemari kaca dekat jendela. Saat menuruni tangga, ia melihat Dini yang sedang membantu pekerja rumahnya mengatur meja makan.

"Kamu tidak jagain Alika? Kenapa malah di sini?" tanya sonya, seraya berjalan menghampiri mereka.

"Alika masih tidur, Kak. Cuma bantuin embaknya rapihin meja, kok," sahut Dini, tersenyum takjub.

"Oh, iya. Bentar lagi suamimu pulang, Din. Maaf aku tidak bisa makan siang bareng. Soalnya aku ada janji hari ini. Nggak apa-apa, ya? Nanti ada anak aku juga, kok."

"Oh! Iya, Kak."

"Aku pergi dulu, ya? Aku pulang agak sorean," pamitnya, seraya melambaikan tangan dan berbalik meninggalkannya.

Dini masih terdiam, terus mengamati hingga bayangan Sonya tidak terlihat dalam pandangan. Ia berpikir, kenapa Tuhan tidak adil? Kenapa ia bahkan tidak diberi kesempatan untuk menikmati sedikit saja kebahagiaan yang diberikan pada orang lain?

"Siapa kamu?"

Dini terlonjak kaget dan reflek mendongak ke atas. Seorang remaja tampan bertubuh jangkung berdiri di ujung tangga sambil menatapnya tajam.

--