webnovel

Kejutan kecil di rumah

Bara diam terpaku, membiarkan air mengguyur kepala dan tubuhnya yang tanpa sehelai benang pun. Ia tidak habis pikir, kenapa tidak bisa mengenyahkan bayang-bayang wajah Dini, istri sahabatnya yang sempat ia bopong beberapa jam yang lalu. Bahkan saat ia tengah bercinta dengan sang sekretaris cantiknya sekalipun.

"Benar-benar sial! Ada yang salah dengan otakku," gumam pria yang beralis tebal itu. Ia berharap guyuran air dingin dari shower dapat meredamkan isi kepalanya yang serasa mau meledak.

Ketika keluar dari kamar mandi, ia mendapati sang istri yang sudah menyiapkan piyama tidur berbahan silk warna biru. Ada sedikit rasa bersalah saat melihat senyum lembut merekah dari bibir berwarna menggoda itu, tapi segera ditepisnya.

"Minum dulu teh-nya, Pa," ucap Sonya.

"Makasih," sahutnya, lalu menyeruput minuman hangat yang telah tersaji di meja. "Riki pergi ke luar lagi?" tanya Bara.

Sonya sempat terdiam, lalu mencoba membantu melepaskan handuk yang melilit tubuh suaminya, tapi pria itu menolak. Ia memilih untuk langsung naik ke tempat tidur dan menyusup masuk le dalam selimut.

"Sampai kapan kau manjakan dia, Ma? Dia sudah bukan anak kecil lagi. Sudah waktunya dia untuk fokus dan menentukan masa depannya sendiri."

"Iya, iya. Mama ngerti," sahut Sonya, lalu merapikan kembali baju piyama ke dalam lemari.

"Aku tak mau ke kantor polisi atau datang ke sekolah hanya karena kamu terus membiarkan dia berbuat sesuka hati, Ma. Aku nggak mau," ujarnya kesal. Sejurus kemudian, ia sudah membalik badan dan memilih untuk memejamkan mata, menghindari percakapan dengan sang istri yang hanya diam menatapnya.

Bara bukanlah orang yang dengan suka rela mendengarkan pendapatnya, dalam hal apa pun. Ia memang suami yang sangat memperhatikan keluarga, tapi sayangnya kerap mengabaikan isi di dalamnya. Ia bahkan tidak peduli dengan rasa kesepian istrinya, seolah membiarkan wanita cantik itu untuk mencari pelarian sendiri di luaran.

"Aku tidur di kamar Riki saja," ucap Sonya lirih, lalu berjalan tenang menuju ke pintu kamar, membukanya, untuk kemudian menariknya kembali setelah melangkah keluar.

Sepasang mata Bara seketika membuka kembali, menoleh ke arah pintu yang telah tertutup rapat. Ia menghela napas, lalu terlentang dan menatap langit-langit kamar. Samar, ia kembali melihat wajah istri sahabatnya, meski hanya sekilas.

"Gila! Sebenarnya apa yang dilakukan oleh perempuan itu? Kenapa tiba-tiba dia terus mengikuti seperti hantu?" gumamnya kesal, menggeretakkan geraham.

Rasa penasaran yang sudah tak dapat dibendung lagi. Perasaannya menggebu-gebu dan ingin sekali kembali ke rumah sakit untuk mengetahui keadaan Dini saat ini. Tetapi kemudian, ia memilih untuk mengambil botol obat dari dalam laci meja dekat tempat tidur. Dua butir pil berwarna putih, sepertinya akan membuat ia tidur tenang malam ini.

Sementara di kamar lain, Sonya duduk di tepi tempat tidur putranya yang kosong. Riki belum juga pulang sejak pamit keluar bersama teman-temannya sesama klub motor. Sebagai ibu, wanita itu mencoba untuk tidak terlalu mengatur hidup anaknya. Terlebih di sekolah, Riki adalah salah satu siswa berprestasi yang selalu masuk dalam sepuluh besar. Hanya saja, sikapnya yang sedikit lepas dan tidak mau diatur sering menjadi catatan hitamnya di sekolah.

"Apa yang harus mama lakukan, Nak. Kenapa kamu selalu keras kepala dan tidak mau mendengarkan apa kata mama?" gumam wanita cantik itu, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Sonya tidak tahu pasti berapa lama ia tertidur, tapi suara pintu yang ditutup dengan keras membuatnya tersentak dan bangun. Ia menatap sosok jangkung putranya yang terlihat kaget saat menemukan sang ibu di dalam kamar.

"Mama!?" serunya heran, "Mama ngapain ada di kamar Riki?" tanya pemuda tampan itu.

"Mama yang harusnya nanya ke kamu, Riki. Dari mana saja kamu sampai jam segini baru pulang?" tegur Sonya, seraya menunjuk ke arah jam dinding yang sudah menunjuk angka lima.

Pemuda tampan itu hanya mendengkus kesal, lalu melepaskan jaket kulit yang ia pakai, kemudian melemparnya begitu saja ke sudut ruangan.

"Riki capek. Ngantuk, mau tidur. Mama keluar saja dari kamar Riki," ucapnya, seraya menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dengan posisi telungkup.

Ranjang busa itu sempat membal karena tertimpa beban, tidak terkecuali Sonya yang nota bene masih berada di kasur yang sama dengan putranya. Saat itulah wanita dengan tubuh dan kulit sangat terawat itu mencium aroma yang sedikit menyengat dari tubuh anaknya.

"Kamu minum lagi?!" cecarnya, dengan wajah yang terlihat kesal.

"Aaaaahhh ... pa'an sih, Ma. Nggak usah lebay, deh!" gerutu Riki yang langsung menarik selimut hingga menutup ke seluruh badannya.

"Sudah berapa kali mama bilang jangan minum, Nak. Mama kasih kamu izin main, bukan berarti mama bebasin kamu bersikap gini, Riki. Kamu masih sekolah! Kamu jangan seenaknya gitu dong, Nak."

"Mama, ih!" serunya, seraya mengentakkan selimut yang menutupi wajahnya hingga kini mereka saling bertatapan. "Bisa nggak, Mam tinggalin kamar ini sekarang? Riki ngantuk, pingin tidur. Karena besok harus pergi sekolah. Puas?"

Sonya terdiam, tak mampu berkata apa-apa selain hanya bisa memandangi wajah putranya yang terlihat begitu lusuh. Terlebih rambutnya yang dibiarkan panjang dan acak-acakan.

"Ini sudah jam lima pagi, Riki. Mana bisa kamu pergi ke sekolah kalo jam segini baru tidur?"

Tidak ada sahutan yang terlontar. Anak muda itu hanya kembali menutupi diri dengan selimut dan merapatkannya dengan maksud tidak ingin mendengarkan omelan ibunya.

"Kemarikan kartu debet mama!" gertak wanita itu. Tetapi tidak ada sahutan dari Riki yang hanya semakin merapatkan selimut.

Kesal dengan sikap anaknya, Sonya langsung bangkit dan menuju ke sudut ruangan di mana remaja itu melemparkan jaketnya. Jemari lentik berkutek merah itu sigap memeriksa di setiap sisi kantongnya. Ketika telah menemukan dompet lipat berwarna coklat, ia pun membukanya dan mengambil sebuah kartu debet yang terselip di antara jejeran slot-nya.

Mendadak Sonya mengerutkan dahi, lalu mengambil sesuatu yang terjatuh dari balik lipatan dompet. Sebuah bungkus plastik yang sudah tersobek di bagian ujungnya dan itu bukanlah bungkus permen karet.

"Apa ini, Riki? Bagaimana bisa ada alat kontrasepsi di sakumu?!" tanya Sonya dengan suara yang sedikit bergetar.

Tidak ada sahutan apa pun dari bocah yang Tenga beranjak dewasa itu. Bahkan saat ibunya kembali mendekat dan mencoba menarik selimut yang dia pakai untuk membungkus tubuhnya.

"Riki, bangun! Jelaskan sama mama, apa ini?!" cecar wanita itu.

"Ahhh! Mama berisik!" sahut Riki dengan kesal. Ia terpaksa harus menghadapi tatapan ibunya yang seperti ujung pisau. "Kenapa sih, Mama nggak bisa biarin Riki tidur dengan tenang?"

Sonya menunjukkan bungkus plastik berwarna hitam di tangannya tepat di muka sang putra.

--