webnovel

Chapter 5

Jgn lupa vote di part sebelumnya yah🤗

Happy reading💙

13:10

Disiang bolong seperti ini, Morga baru bangkit dari alam tidurnya. Setelah merenggut keperawanan Monalisa, semalam ia tidur dengan sangat nyenyak setelah bertahun-tahun lamanya tidak merasakan himpitan otot-otot lubang nikmat yang begitu sempit seperti milik Monalisa.

Ia duduk dipinggiran ranjang dan menghadap keluar jendela sambil meregangkan tubuhnya yang sexy.

Baru saja ia akan berdiri menuju kamar mandi, ponselnya diatas nakas terdekat berdering dan menampilkan nama Bruno pada layar.

"Hm" hanya sebuah deheman berat yang keluar dari mulut Morgan.

"Jalan xxx. Rakitan dan serbuk nikmat"

Morgan sangat paham apa yang dimaksud oleh Bruno. Ada yang ingin membeli rakitan senjata ilegalnya juga sabu-sabu produksinya sendiri. Setelah itu ia memutuskan lebih dulu panggilan mereka dan segera pergi kekamar mandi untuk menyegarkan tubuhnya sebelum bersenang-senang dihari ini.

*

"Jalan xxx.." Morgan memberhentikan mobilnya dan segera turun dijalan yang Bruno beritahu sebelumnya.

Dengan gagahnya ia berjalan untuk mengecek dan memakai kaca mata hitam yang mengkilap serta kaos yang warnanya senada dengan kaca matanya.

Terus berjalan sambil memasukan satu tangannya kedalam jeans biru yang ia kenakan, seketika nalurinya sebagai perenggut nyawa manusia tanpa seijin Tuhan pun mengatakan jika ada yang memantaunya dari atas gedung.

Telinganya pun tak bisa dibohongi. Daun telinganya berdenyut bagai kelinci yang memiliki pendengaran tajam. Sepanjang hidupnya ia selalu ditemani oleh suara itu, suara peluru yang dimasukan kedalam pistol dan siap untuk diluncurkan.

Bagai dewa maut, Morgan mengangkat kepalanya dan melihat tajam keatas dengan ekspresi wajahnya yang mendatar.

Ia bahkan mengangkat tangannya dan memberi hormat sapaan dua jari pada orang itu, orang misterius dengan penutup wajah yang hanya menyiskan kedua matanya saja.

Cukup lama mereka berpandangan dengan jarak yang begitu jauh, karena pria itu sedang berada diatas gedung tertinggi. "Kawan baru? Sungguh menarik." Jika orang lain akan lari untuk bersembunyi karena nyawanya sedang terancam, Morgan justru melepas kaca matanya dan berlari memasuki gedung tinggi yang kosong tersebut.

Puluhan tangga ia lewati dengan cara berlari tanpa henti. Tak ada sedikit pun napas pria dengan julukan iblis RM itu yang terdengar tersengal. Ia terus berlari dan menuju pada puncak gedung.

Sampai...

"Disini kau rupanya" senyum sinis Morgan setelah mendapati pria yang ingin menembaknya tadi diatas gedung tertinggi.

"Lama tak jumpa..tak ada yang berubah darimu." Sinis pria itu sambil membuka penutup wajahnya dan langsung menunjukan bekas luka robekan belatih pada pipinya. "Bekas luka yang indah." Puji Morgan, karena bekas luka tersebut adalah hasil karya tangannya sendiri pada 5 tahun yang lalu.

"Ya, indah bukan? Ini adalah kenang-kenangan termanis setelah kau membunuh mati kedua orang tuaku dengan cara yang sangat cantik." Begitu jelas nada suara pria tersebut yang sudah tersulut emosi juga dendam besar pada Morgan.

Morgan melihat ada sebuah kursi kayu tua, dan ia duduk diatasnya sambil memangku satu kakinya begitu santai.

"Ingin mengulang kisah lalu? Hm?" Tanyanya tanpa melihat wajah pria tersebut dan justru membakar sebatang rokok.

"Bisa kita mulai? Aku tahu kau tak suka mengulur-ulur waktu." Pria itu pun tak mau melihat wajah dingin Morgan yang sudah menatapinya dengan sangat tajam. Ia meniupi pistolnya dan langsung mengarahkan mulut pistolnya pada kepala Morgan dari jarak yang tak begitu jauh.

"Lakukan." Suruh Morgan sambil menyesap kembali rokoknya. Pria itu masih terus menodongkan pistolnya tanpa menembak. "Apa yang kau tunggu? Lakukan, aku menunggu." Morgan justru merentangkan kedua tangannya seakan pasrah jika ia akan mati ditangan pria yang seumuran dengannya itu.

"Ayolah Martin, jangan malu hati padaku." Kekehan kejam tersirat pada bibir Morgan.

Saat pria itu, Martin, akan menarik pelatuknya... Secepat kilat Morgan berdiri dan langsung melempar kursi kayu tua yang ia duduki tadi pada kepala Martin.

Martin terjatuh kebelakang dan pistolnya terlepas dari genggaman tangannya.

"AHH..SIALAN!!" Maki Martin saat pistolnya ditendang menjauh dan tangannya diinjaki oleh kaki besar Morgan sampai tulangnya terasa akan patah.

"Tak ada yang berubah, kau tetap lemah dan tak berguna." Sinis Morgan dan semakin menekan kuat injakannya pada tangan Martin. Martin tak habis akal, ia mengeluarkan belatih dari belakang celanya dan langsung menanamkan belatihnya pada kaki Morgan hingga mengeluarkan banyak darah.

"Keparat!!" Morgan melepaskan injakannya dan menunduk melihat keadaan kakinya yang telah mengeluarkan darah segar.

"Bagaimana? Nikmat?" Martin mengeluarkan tawa kecil, ia berdiri mengelapi darah Morgan yang menempel pada belatihanya dengan dua jarinya.

Bukan Morgan, jika tusukan belatih tadi bisa membuatnya lemah. Ia ikut berdiri dan tertawa dengan lantang mengejek pria yang ada dihadapannya itu.

"Hanya itu? Hm?" Pupil mata Morgan seketika berubah menjadi sangat biru, lekuk bibirnya pun terbentuk dengan sangat tajam. "Bagaimana dengan ini?" Morgan berlari dengan kencang, ia menendang rahang tegas Martin dengan kakinya yang tidak terluka hingga membuat pria itu kembali terjatuh.

Jangan salahkan Morgan, jika siang ini jiwa iblisnya keluar dan akan mencabut nyawa seseorang tanpa kehendak sang pencipta. "Kau terlalu lambat." Tandas Morgan yang sudah memegangi kepala Martin dan menghantamnya pada lantai.

"LEPASKAN!" Teriak Martin saat darah mulai menyucuri wajahnya. Martin terus berteriak, dan Morgan pun terus menghantam tengkorak kepala pria itu pada lantai. Berulang-ulang kali, lagi, lagi, dan lagi. Sampai pada akhirnya pria itu tak lagi bersuara, tewas. Tewas dengan wajahnya yang hancur, juga tengkorak kepalanya yang terbuka dan menunjukan otaknya yang segar.

Masih belum puas, Morgan menarik tubuh Martin dan... Oh, sungguh! Haruskah ia melakukannya? Morgan menjatuhkan tubuh besar Martin yang sudah tak bernyawa itu kedasar gedung.

"Wow.. Seperti bubur bayi" ia kembali terkekeh bahagia saat melihat tubuh Martin yang sudah tak lagi berbentuk tubuh manusia. Hancur menjadi potongan-potongan kecil daging bagai bubur bayi. "Satu keluarga yang tak berguna." Sinisnya. Ia memakai lagi kaca mata hitam miliknya, dan segera turun dari atas gedung tersebut dengan sangat santai dan perasaan yang girang.

*

20:00

"Sebuah mayat dengan tubuh yang hancur. Apa kau yang mempertemukannya dengan Tuhan?" Morgan dan Bruno sedang duduk bersama dimeja makan untuk menikmati makan malam dimansion mewah milik Morgan.

"Bukan aku, sisi lain pada diriku yang melakukannya." Bruno mengulas senyum manis dan segera meneguk segelas air putih. "Ya, sisi iblismu." Kekehan kecil terlontar dari bibir Morgan saat mendengar ucapan Bruno. Sahabatnya itu sangat tahu tentang dirinya, bahkan sisi gelap bagian terdalam pada diri Morgan pun sudah sangat Bruno ketahui.

Morgan menusuk sepotong daging dan memakannya. "Anggur anda, Mr. Morgan." Pelayan wanita yang bekerja pada Morgan datang dan menuangi segelas wine pada gelas kaca dihadapan Morgan juga Bruno.

"Bagaimana dengan si buta itu?" Morgan bertanya pada pelayannya, seharian ini ia sama sekali belum melihat sosok Monalisa setelah percintaan panas mereka kemarin.

"Miss Monalisa sedang berada dikamarnya. Dia belum memakan apapun seharian ini." Jelas pelayan itu sambil menundukan kepalanya memberi hormat.

"Bawakan dia makan malam. Jangan sampai dia mati dan membusuk didalam." Bruno yang mendengar ucapan Morgan pun sedikit heran.

"Tak biasanya kau sangat kejam pada seorang wanita." Bruno mencicipi anggur digelasnya. "Itu karena dia sangat memberontak dan tak sopan padaku." Ya, Bruno tahu, bahwa Morgan sangat tak suka jika dirinya direndahkan. Sepanjang hidupnya, ia selalu dihormati dan semua orang pun tunduk padanya. Beruntunglah si wanita buta itu, jika Morgan belum juga membuuhnya. Bruno membatin.

Saat pelayan wanita tadi ingin membawa makanan pada Monalisa, "Lorena?" Panggil Bruno membuat si pelayan yang bernama Lorena itu menghentikan langkahnya. "Ya? Mr. Bruno?!"

"Berikan nampan itu padaku, biar aku yang mengantarnya." Seketika Morgan menghentikan kunyahan dimulutnya dan menatapi Bruno dengan alis yang terpaut.

"Why? Aku hanya ingin mengantarkan makanan untuknya" Jelas Bruno sambil menyengir lebar. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan wanita buta yang sangat berani itu, wanita yang bisa meludahi wajah tampan Morgan dengan entengnya.

"Hanya mengantar, tidak menusuk. Dia milik ku." Tekan Morgan membuat Bruno tertawa. Begitulah Morgan, apa yang menjadi miliknya tak bisa disentuh oleh sembarang orang, sekalipun orang itu adalah Bruno, sahabatnya.

"Ya ya ya.. Tenanglah, dia milikmu, wanitamu."

Seeerrrr...

"Wanitamu" Morgan mengulang perkataan Bruno dalam hatinya. Ada desiran aneh yang Morgan rasakan saat Bruno mengatakan itu. Entahlah, mungkin hanya perasaannya saja.

Tok tok tok..

"Miss Monalisa, permisi..boleh kah pria tampan ini masuk kedalam?" Tak ada balasan, Bruno pun membuka pintu besar itu dan segera masuk.

"Stop! Jangan dekati aku..jangan, jangan lagi.." Bruno menautkan kedua alisnya bingung, Monalisa terlihat begitu ketakutan dan tertekan. Bahkan wanita itu sedang menutupi tubuhnya dengan selimut tebal dan menangis diujung ranjang sampai matanya membengkak.

"Tidak tidak. Aku tidak akan menyakitimu." Bruno meletakan nampan berisi penuh makanan lezat yang ia bawa tadi diatas nakas. "Please..kumohon jangan lagi" Bruno semakin heran. Ia memberanikan dirinya untuk mendekati Monalisa.

"Hei..." Dengan lembut, pria tinggi berumur 30 tahun itu memegang bahu kecil dan rapuh Monalisa. "Aku tidak akan menyakitimu.. Tenanglah, okay?!" Dengan trauma yang Morgan berikan, Monalisa menjadi sangat ketakutan. Ia bahkan menepisi kasar tangan Bruno dari bahunya.

Bruno yang mengerti akan ketakutan Monalisa pun hanya tersenyum memahami. Ia ikut duduk disamping wanita itu, dan memandangi wajah cantik Monalisa yang begitu pucat. "Aku Bruno, sahabat Morgan."

"Kau tak apa? Wajahmu begitu pucat!" Monalisa menjawab dengan gelengan kecil. "Cantik." Puji Bruno dengan senyum kagum saat melihat kecantikan Monalisa yang sangat alami. "Baiklah.." Bruno kembali berdiri dari atas ranjang, "Habiskan makan malam mu. Setelah itu beristirahatlah dengan cukup, kau akan semakin cantik jika tak ada kantung mata yang hitam seperti ini." Ucap Bruno halus, dan di iringi dengan usapan lembut pada puncak kepala Monalisa.

"Aku permisi." Harusnya Monalisa bisa melihat, karena saat ini Bruno sedang memberinya senyum yang begitu manis dan hangat. "Iya." Jawab Monalisa akhirnya saat Bruno telah keluar dari dalam kamar itu.

"Cihh" desisan sinis juga senyum miring terukir pada bibir Morgan saat melihat perlakuan manis yang Bruno berikan pada wanitanya, Monalisa.

1600 kata.

Yey update🤗

Maaf kemarin gk up, karena mood yg bgtu buruk sedang melanda😁

Ayo vote juga komen,

beri aku semangat💙

Mmmmmuuaahhhh😘😘

Love u😘🤗💙❤️

Follow jgn lupa yah🤗💕💞

Next chapter