webnovel

Garnis Mencari Tahu

     "Mbak, mbak Garnis," bu Ida, wanita setengah baya pemilik toko perabotan yang terletak di depan kios bu Hanum memanggil Garnis yang sedang menyusun barang-barang di etalase.

     "Ya bu, ada apa kok kelihatan cemas gitu?" dahi Garnis berkerut melihat bu Ida yang berdiri di depan kiosnya. Wajahnya kelihatan cemas dan nafasnya tersengal-sengal, seperti habis berlari jauh.

     "Anu..anu mbak..bu Hanum," jari  telunjuk bu Ida menunjuk ke arah masjid, wajahnya cemas dan panik.

     "Ibu? Ada apa dengan ibu saya Bu?" tanya  Garnis bingung dan panik, dia berlari keluar dari kiosnya dan mencari-cari ibunya yang belum juga kembali dari masjid.

     "Bu Hanum pingsan mbak," akhirnya bu Ida memberi tahu tentang bu Hanum yang pingsan di halaman masjid. Sebenarnya dia tak tega meninggalkan bu Hanum di masjid, tetapi kalau dia tetap menemani bu Hanum, Garnis pasti tak tahu kalau ibunya pingsan.

     "Haa? Ibu pingsan? Di mana Bu?" Garnis terkejut dan tanpa disadari air matanya mengalir di pipinya.

     "Di masjid mbak," jawab  bu Ida cepat.

     Tanpa membuang waktu Garnis berlari ke masjid dan sebelumnya dia menitipkan kiosnya dalam jagaan bu Ida. Antara bu Hanum dan bu Ida selalu bekerja sama, saling tolong ketika ada yang membutuhkan pertolongan. Tak ada rasa curiga di antara mereka. Jadi Garnis dengan tenang meninggalkan kiosnya dalam jagaan bu Ida.

     Sesampai di masjid, ada beberapa lelaki berdiri di depan pintu masjid, melihat kedatangan Garnis, salah satu dari lelaki itu memanggilnya.

     "Mbak Garnis!"

     "Pakde Sar, ibu saya mana?" tanpa menunggu jawaban dari lelaki yang disebut Garnis pakde Sar tadi, Garnis langsung masuk ke dalam madjid yang di sana terlihat beberapa ibu- ibu berkerumun.

     Garnis menerobos kerumunan itu, dan ibunya terbaring di tengah- tengahnya. Kepalanya berada di pangkuan bu Aisyah, seorang ustadzah yang terkenal pemurah hati di daerah itu.

     "Ibu..ibu kenapa?" Garnis memeluk dan menciumi wajah ibunya. Tangisnya meledak saat itu juga.

     "Mbak, sabar mbak, ibunya ndak apa-apa, mungkin karena kecapean aja," ujar bu Aini, pemilik warung makan dekat kios bu Hanum.

Bu Aini menyapukan minyak angin di bawah indra penciuman bu Hanum.

     Hampir duapuluh menit bu Hanum tak sadarkan diri, Garnis terus menangis, dia sangat khawatir melihat keadaan ibunya. Selama ini ibunya tidak pernah mengeluh sakit.

     "Alhamdulilah, bu Hanum sadar," tiba-tiba terdengar suara bu Aini. Dia melihat mata bu Hanum yang terbuka sedikit demi sedikit.

     "Alhamdulilah, alhamdulilah," suara beberapa ibu-ibu yang berada di dalam masjid itu ikut mengucap syukur.

     "Ibuuu...!" Garnis memeluk dan menciumi ibunya dengan penuh suka cita.

     Sadar dari pingsannya, bu Hanum kelihatan bingung. Wanita itu mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali, dan tanpa diduga  langsung bangun lalu berlari menuju halaman masjid, seperti mencari sesuatu.

      Semua yang ada di sekitarnya heran dan  bingung atas apa yang dilakukan bu Hanum.

     Setengah berlari Garnis mengikuti langkah ibunya, lalu dipeluknya dengan lembut tubuh ibunya yang masih lemah.

     "Ibu, ada apa? Apa yang ibu cari?" tanya Garnis pelan. Dalam hatinya penuh tanda tanya.

     "Hananto nduk, tadi Hananto ada di sini nduk," jawab bu Hanum, matanya masih mencari-cari.

Garnis terperanjat mendengar jawaban ibunya.

     "Ibu? Benarkah ibu melihat mas Han?" Garnis ikut mencari-cari orang yang diduga adalah Hananto.

     Orang- orang yang masih berada di halaman masjid menjadi bingung melihat gelagat bu Hanum dan Garnis.

     "Bu Aisyah, maaf apa ibu tahu kejadian yang membuat ibu saya pingsan?" tanya Garnis kepada bu Aisyah yang dari tadi mengikuti ke mana bu Hanum melangkah.

     "Ibu ndak tau Nis, ibu tadi masih di dalam ketika ibumu dibawa masuk ke  dalam masjid dalam keadaan pingsan," jelas bu Aisyah.

     "Tadi sebelum ibu itu pingsan saya lihat beliau berjalan terburu-buru, terus tabrakan sama mas-mas yang mau masuk masjid," tiba- tiba ada lelaki berusia sekitar 60 tahun  datang memberi tahu.

      Bola mata Garnis berbinar mendengar penuturan bapak tua  itu, timbul harapan untuk mencari tahu tentang lelaki yang di duga adalah Hananto.

     "Emm, maaf pak, apa bapak kenal siapa mas-mas itu?" tanya Garnis, dalam hati sangat berharap bapak itu tahu tentang lelaki tersebut.

     " Wah, saya ndak kenal mbak, orang kaya raya seperti mas tadi mana sudi kenal dengan orang kecil seperti saya," jawab bapak itu polos.

      Tersirat kejujuran dan keikhlasan di wajah yang sudah dipenuhi garis-garis tanda penuaan. Mendengar kata-kata bapak itu Garnis semakin bersemangat untuk terus mencari informasi.

     "Bapak, perkenalkan saya Garnis dan ini ibu saya, bu Hanum, boleh saya minta waktunya sebentar pak?" Garnis mendekati bapak yang hampir saja pergi dengan sepeda tuanya, ternyata bapak tua itu seorang penjual mainan anak-anak, banyak mainan anak-anak di belakang sepeda yang sudah pudar warna catnya itu.

     "Wah, maaf mbak, ini saya mau keliling jualan, dari pagi belum dapat penglaris, nanti istri dan cucu saya ndak bisa makan," tolak bapak itu sambil bersiap untuk menaiki sepedanya.

     Garnis kecewa, harapan untuk dapat informasi hilang. Dia pasrah menatap bapak itu yang mulai mengayuh sepedanya.

     "Pak..bapak, tunggu sebentar Pak!" bu Hanum yang dari tadi diam berdiri dekat pagar tiba-tiba berteriak memanggil bapak itu yang sudah mengayuh sepedanya beberapa kayuhan. Bapak itu menoleh dan berhenti, mungkin kasihan melihat bu Hanum yang kelihatan letih berjalan tertatih-tatih mendekatinya.

     "Ada apa bu?" tanya bapak itu dengan nada heran.

     "Maaf pak, kalau mainan ini saya beli semua harganya berapa?" tanya bu Hanum sambil menunjuk ke arah mainan-mainan yang menjadi sumber mata pencaharian bapak tua itu.

     Garnis dan bapak itu sama-sama terkejut dan terpana, dan semua yang masih berada di dekat mereka pun ikut terkejut mendengar pertanyaan bu Hanum. Mereka saling bertukar pandang dan saling berbisik.

     "Mmmaksud ibu ?" tanya bapak itu, rasanya tak percaya ada orang yang mau membeli semua dagangannya.

     "Ibu mau buat apa dengan mainan sebanyak itu?" tanya Garnis setengah berbisik, tepat di telinga kanan bu Hanum.

     "Saya mau beli semua mainan ini Pak, berapa harganya?"  bu Hanum mengulangi pertanyaannnya lagi kepada bapak itu tanpa menghiraukan pertanyaan Garnis.

     "Ibu serius?" tanya bapak itu mengutarakan isi hatinya yang tak percaya.

     "Iya pak, saya serius, tapi saya mau bayarnya di rumah bapak saja. Saya mau ngobrol sama bapak dan istri bapak," Garnis dan bapak itu saling pandang, dan Garnis mulai menangkap maksud dan tujuan ibunya membeli semua mainan tersebut.

.

     "Silahkan masuk bu, maaf beginilah keadaan rumah saya," ucap  pak Wahid, bapak penjual mainan tersebut mempersilahkan bu Hanum dan Garnis masuk ke rumah kontrakannya.

     Atas kesepakatan mereka, bu Hanum akan membeli semua dagangan pak Wahid.

     Awalnya pak Wahid bingung bercampur tak percaya, tapi akhirnya kebingungannya menjadi kebahagiaan setelah bu Hanum berkali-kali meyakinkan bahwa semua mainan itu akan di beli.

     Bu Hanum dan Garnis duduk di kursi rotan yang ada di ruang tamu, sementara pak Wahid masuk memanggil istrinya. Tak berapa lama kemudian istri pak Wahid keluar dengan membawa minuman untuk Garnis dan bu Hanum.

     "Silahkan diminum Bu, Mbak, maaf cuma air saja," ucap istri pak Wahid yang bernama bu Arum.

"Bapak tadi bilang kalau ibu mau beli semua dagangannya, benarkah itu Bu?" tanya bu Arum dengan sopan, tersirat binar penuh harapan dan kegembiraan.

"Kalau memang benar, sungguh saya sangat berterima kasih, ini suatu rejeki yang tak terhingga bagi kami," sambung bu Arum, lalu duduk di sebelah suaminya.

     "Memang benar Pak, Bu, saya mau beli semua mainan yang bapak jual itu, berapa harganya Pak?" jawab bu Hanum sekaligus menanyakan harga.

       Pak Wahid menyerahkan selembar kertas kepada bu Hanum.

     "Maaf Bu, ini nota pembelian semua dagangan saya, bila ibu berkenan ibu bayar modalnya saja."

     Bu Hanum menerima dan melihat angka yang tertera di nota tersebut, lalu mengangguk dan tersenyum pada pak Wahid.

     Ada binar kegembiraan terlihat di wajah pak Wahid dan istrinya.

Bu Hanum mengambil dompet dari tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkan kepada pak Wahid.

     Pak Wahid dan istrinya terperanjat ketika menerima uang itu, karena jumlahnya terlalu banyak, melebihi nominal yang tertera dalam nota tadi.

     "Maaf Bu, apa ibu tidak salah hitung, ibu cukup bayar jumlah di nota saja," ujar pak Hamid seraya menyerahkan uang itu kembali.

     "Ndak pak, uang lebihnya anggap saja rejeki dari Allah untuk keluarga bapak," bu Hanum menolak dengan halus.

     "Tapi Pak, ada tujuan lain saya ke rumah bapak ini selain untuk membeli mainan, saya butuh bantuan bapak," sambung bu Hanum sambil menoleh ke arah Garnis.

"Maaf Bu, bantuan apa yang ibu maksudkan?" tanya pak Wahid, agak bingung dengan situasinya, karena baru hari ini bertemu seseorang yang tak dikenal memborong semua dagangannya dan meminta bantuan darinya. Bu Arum juga kelihatan bingung, menunggu jawaban bu Hanum.

     "Mengenai lelaki yang menyebabkan saya pingsan tadi, apa bapak tahu siapa dia dan di mana rumahnya?" bu Hanum mulai menjelaskan maksud bantuan yang di sebutkan tadi, yaitu bantuan informasi.

     "Oh, lelaki yang tadi Bu? Dia namanya mas Danif, putranya pak Muchlis dan bu Andini. Mereka keluarga kaya raya, kata orang-orang mereka keturunan ningrat," pak Wahid menjawab panjang lebar. Bu Hanum dan Garnis mendengarkan penuturan pak Wahid dengan seksama.

     "Bapak tahu di mana rumahnya?" tanya Garnis antusias.

Pak Wahid menyebutkan satu lokasi  tanpa menanyakan tujuan bu Hanum. Garnis sangat suka sikap pak Wahid yang tak mau ikut campur urusan orang lain.

     Setelah urusan selesai, Garnis dan bu Hanum meninggalkan kediaman pak Wahid dan langsung menuju ke alamat yang baru saja didapatkan dari pak Wahid.

     "Berhenti! Berhenti nduk, mungkin ini rumahnya," bu Hanum menyuruh Garnis menghentikan mobilnya ketika melewati sebuah rumah besar dan mewah, sama seperti yang disebutkan ciri-cirinya oleh pak Wahid.

     Rumah paling besar dan mewah di antara rumah lain yang ada di daerah

itu.

Garnis menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gerbang pagar besi tinggi bercat hitam.

Bu Hanum hendak membuka pintu mobil, tetapi dengan cepat Garnis mencegahnya.

     "Kenapa ndak turun Nduk?" tanya bu Hanum sambil menoleh ke arah Garnis dengan tatapan heran.

     "Jangan dulu Bu, kita cari tahu dulu siapa penghuni rumah ini, takut salah nanti kita dapat masalah," tutur Garnis pelan, dan matanya terbeliak ketika melihat papan nama warna emas yang berada di tembok sebelah kiri pintu gerbang. Di situ tertulis nama R MUCHLIS HANANTO.

     "Bu, lihat itu," Garnis menunjuk tulisan itu kepada ibunya.

     "Ibu kok jadi bingung Nduk," kata bu Hanum setelah melihat tulisan di papan nama itu.

Garnis diam, di benaknya timbul banyak pertanyaan.

     Siapa Danif, lelaki yang menyebabkan ibunya pingsan.

Lalu siapa lelaki yang sering di lihatnya di bengkel mobil yang terletak dekat dengan tempat kerjanya, yang sangat mirip dengan Hananto, almarhum suaminya.

Dan pemilik rumah itu bernama Muchlis Hananto, siapa dia?

     "Nduk, lihat itu," Garnis terperanjat mendengar suara ibunya yang setengah histeris ketika melihat sosok lelaki yang baru saja keluar dari pintu gerbang.

     Dada Garnis berdesir hebat, lelaki itu sangat di kenalnya. Dialah Hananto, lelaki yang pernah menjalin hubungan dengannya selama setahun lebih, dan telah menghalalkan dirinya sah sebagai istrinya, dan hanya beberapa jam setelah itu jasad Hananto ditemukan hancur karena menjadi korban tabrak lari.

Sebenarnya, apa yang terjadi?

    

     "Itu Hananto Nduk, cepat kejar dia!" hampir menjerit bu Hanum menyuruh Garnis untuk mengejar lelaki itu.

     "Nduk, nduk Garnis!"