Ting!!
Sebuah pemberitahuan masuk di aplikasi hijau milik Garnis. Rasa enggan menyelimuti diri Garnis untuk mengambil ponselnya yang masih berada di dalam tas kerjanya.
Beberapa hari ini Garnis merasa terganggu dengan pesan-pesan yang dikirim oleh Kamarul, teman kuliahnya dulu dan sekarang menjadi rekan kerja di kantornya.
Kamarul menyukai Garnis sejak mereka masih berada di kampus di mana mereka berjuang meraih sebuah gelar sarjana, tetapi Garnis tak pernah menanggapi karena yang Garnis tahu Kamarul seorang anak tunggal dari keluarga kaya raya, dan waktu itu banyak gadis-gadis yang dekat dengannya.
"Assallamualaikum."
Benar dugaan Garnis, ternyata Kamarul yang mengirim pesan.
"Waalaikumsalam Watohmatulohiwabarokatuh," Garnis membalas salam Kamarul, karena Garnis paham wajib hukumnya menjawab salam bagi orang Islam. Balasan terkirim, centang dua warna biru, berarti lagsung dibaca oleh penerimanya.
"Maaf mengganggu waktumu Zul, bolehkah saya datang ke rumahmu besok pagi, saya ingin bertemu ibumu," dahi Garnis berkerut ketika membaca pesan berikutnya dari Kamarul.
Hanya lelaki itu yang selalu menyapa dirinya dengan sebutan Zulaikah. Sejujurnya Garnis merasa kasihan terhadap Kamarul yang tak pernah menyerah untuk mendekatinya, tapi Garnis terpaksa mengesampingkan rasa kasihannya itu karena masalah yang dihadapinya saat ini belum juga menemukan titik terang.
"Maaf, tidak bisa, besok saya ada acara," pesan terkirim, dengan gerakan cepat Garnis menekan tombol off ponselnya, lalu meletakkan benda pipih tersebut di bawah bantal.
Untuk saat ini dia masih enggan untuk menanggapi Kamarul. Di benaknya hanya ingin fokus menyelidiki Hananto, suaminya. Dan besok adalah hari libur umum, dia ingin memanfaatkan hari liburnya untuk mengunjungi Ainun.
Terakhir kali bertemu Ainun dua hari yang lalu ketika mengambil rekaman suara, dan waktu itu Ainun sedang tidak banyak waktu untuk ngobrol, karena kata Ainun keluarga majikannya sedang ke luar kota, jadi dia harus kembali ke rumah majikannya dan harus menginap sampai majikannya pulang.
"Ibu mau ke mana kok pagi- pagi sudah cantik dan rapi?" ucapan Garnis membuat bu Hanum sedikit membeliakkan bola matanya yang bulat ke arah putrinya yang juga sudah berpakaian rapi.
Paduan celana kulot lebar warna coklat tua, tunik panjang warna putih tulang dan jilbab panjang warna krem membuat Garnis terlihat anggun dan cantik.
"Terus yang bertanya pada ibu ini pagi- pagi juga sudah cantik, mau ke mana, bukankah hari ini tanggal merah Nduk?" tanya bu Hanum menggoda Garnis sambil mencubit lembut pipi putrinya yang mulus walaupun hanya dengan polesan bedak bayi.
"Jangan bilang mau ikut ke pasar ya Nduk, hari ini ibu ndak buka tokonya, ibu mau ikut rombongan ibu-ibu komplek mau menjenguk bu RT ke rumah sakit," bu Hanum menyambung ucapannya sebelum Garnis menjawab pertanyaannya.
"Garnis libur Bu, tapi hari ini ada teman yang minta tolong untuk ditemani belanja ke pasar besar," ujar Garnis.
Memang hari ini Garnis sudah berjanji untuk menemani Astria berbelanja barang-barang untuk persiapan acara amal di kantornya yang akan dilaksanakan awal bulan depan.
Setiap dua bulan sekali, pemilik perusahaan di mana Garnis bekerja mengundang para dhuafa, anak-anak yatim yang ada di sekitar perusahaan itu.
Dalam acara itu biasanya ada pembagian sembako dan sejumlah uang. Dan Astria yang ditugaskan untuk berbelanja sebagian barang-barang yang dibutuhkan.
"Masya Allah, ini Garnis kan?" seorang wanita paruh baya tiba-tiba duduk di kursi kosong yang berada di depan Garnis.
Usai belanja Garnis dan Astria singgah di salah satu restoran yang lumayan besar di dekat pasar besar, selain lapar karena belum sarapan, Garnis dan Astria sengaja ingin duduk santai sebentar, setelah hampir dua jam mereka berjalan mengelilingi pasar yang hari ini sangat ramai pengunjungnya.
"Ma-maaf, Ibu siapa ya?" tanya Garnis dengan sopan, dia mencoba mengingat siapa wanita yang masih duduk di depannnya dengan raut wajah yang gembira.
"Oalah Nduuukk, kamu ini keterlaluan, sama buliknya sendiri kok ndak kenal, aku ini Hasnah, buliknya almarhum Ridwan suamimu, berarti bulikmu juga to?" suara wanita yang mengaku bernama Hasnah itu cukup keras hingga membuat sebagian pengunjung restoran itu menoleh ke arahnya, sementara Astria juga bingung dengan apa yang di lihat dan didengarnya.
Astria memandang Garnis dan wanita bernama Hasnah itu silih berganti, tapi dia tak mau ikut campur, dan lebih memilih untuk pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Bulik Hasnah?" Garnis mencoba memutar ingatan memorinya. Waktu menikah dengan Ridwan, Garnis hanya mengenal bapak dan ibunya Ridwan serta Ziana, adik Ridwan satu-satunya. Garnis masih ingat waktu acara ijab qobulnya dengan Ridwan banyak keluarga yang hadir, tapi Garnis tak begitu memperhatikannya.
Berkenalan dengan Ridwan tak sampai sebulan, lalu dilamar dan menikah, semua karena eratnya persahabatan antara ayah Garnis dan ayah Ridwan.
Walaupun menikah karena perjodohan, waktu itu Garnis menerima dengan ikhlas karena Garnis yakin pilihan ayahnya pasti yang terbaik, dan walaupun tak sampai sebulan mengenalnya Garnis yakin Ridwan adalah sosok lelaki yang baik dan bertanggung jawab.
Tapi sayang semua hanya tinggal kenangan, taqdir menentukan Ridwan menghadap Sang Pencipta sesaat melafazkan ijab qobulnya.
"Nduk cah ayu, kok malah melamun?" suara keras bu Hasnah membuyarkan lamunan Garnis.
"Mmm-maaf bulik, saya bener-bener ndak ingat, habis waktu itu..."
"Sudah, ndak usah diingat-ingat, bulik ngerti perasaanmu Nduk cah ayu," bulik Hasnah bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Garnis, lalu dipeluknya tubuh ramping Garnis dengan erat, diperlakukan seperti itu Garnis tak kuasa menahan sesak dada yang dari tadi ditahannya.
"Garnis terisak- isak dalam pelukan bulik Hasnah. Astria yang dari tadi bingung semakin tambah bingung menyaksikan pemandangan di depannya.
Walaupun persahabatan dengan Garnis bisa dibilang akrab, Astria kurang tahu lebih banyak tentang kehidupan pribadi Garnis. Astria hanya tahu kalau Garnis pernah menikah dan suaminya sudah meninggal.
"Kami ini sudah lama mencarimu Nduk," kata bulik Hasnah, sambil melepaskan Garnis dari pelukannya dan menarik sebuah kursi.
"Mencari saya? Kenapa bulik mencari saya?" Garnis merasa takut, takut kalau pertemuannya dengan bulik Hasnah menimbulkan masalah baru.
"Sejak kejadian itu, kami sempat menyalahkan kamu Nduk, tetapi kemudian kami sadar, semua yang terjadi atas taqdirNYA, dan kami datang ke kotamu Nduk, tapi kami kecewa ketika tetanggamu bilang kamu dan ibumu sudah pindah," dengan panjang lebar bulik Hasnah menjelaskan, suaranya lebih pelan.
"Maafkan Garnis bulik, banyak kejadian yang menyebabkan kami harus pindah ke kota ini," air mata Garnis kembali luruh, sesekali terdengar isakan lirih.
"Di mana alamat rumahmu Nduk, secepatnya kami akan berkunjung untuk silaturahmi dengan ibumu dan ada hal yang sangat penting yang akan kami sampaikan." bulik Hasnah menyerahkan ponselnya kepada Garnis, dan meminta Garnis untuk memasukkan nomer telefonnya.
"Maaf bulik, kalau boleh tahu ada hal penting apa ya? Apa saya dan keluarga saya melakukan kesalahan?" akhirnya terkeluar juga pertanyaan yang dari tadi disimpan dalam hati Garnis.
"Ndak ada Nduk, ini masalah warisan yang ditinggalkan oleh almarhum Ridwan. Kamu sebagai istri sahnya berhak atas semua warisan itu. Untuk lebih jelasnya, besok kami akan datang ke rumahmu," pelan penuturan bulik Hasnah, tapi membuat degup jantung Garnis berdebar kencang ketika mendengar kalimat yang diucapkan bulik Hasnah.
"Warisan?" Astria bertanya mewakili Garnis ,tanpa sengaja.