"Permisi.. permisi.. gue buru-buru udah di tunggu pacar gue." Chandra berlari menaiki anak tangga dan menyerobot sambil menyenggol badanku. Dan tak menoleh kebelakang lagi.
BRUKK..
"Aaah.." Aku terjatuh ditangga karena kakiku sakit, aku tak bisa menjaga keseimbanganku dan tubuhku membentur tembok dan terjatuh menuruni 3 anak tangga. Tangan kananku menempel di tembok dan tangan kiriku menempel di pijakan anak tangga, aku berusaha menahan sekuat mungkin agar tubuhku tak terjatuh lebih jauh. Dan berharap ada seseorang yang datang untuk menolongku.
Keadaan saat itu sepi, mungkin karena masih sibuk dengan banyaknya customer yang datang dan hampir semua shift pagi lembur, tapi ada juga beberapa karyawan yang sudah pulang seperti Sarah dan Lisa yang ada keperluan.
Airmataku mengalir deras menahan rasa sakit.
"Ya alloh Naina, kamu kenapa? Bisa berdiri? Maaf aku bantu ya." Dimas berlari menaiki anak tangga menghampiriku dan membantuku untuk berdiri.
"Makasih ya Mas." aku berdiri kakiku benar-benar sakit dan sulit untuk bergerak.
"kok bisa sampai jatuh sih?" Dimas memapahku menaiki tangga.
"Iya, tadi siang kayanya pas lagi banyak tamu kaki aku sakit. Tapi aku diemin, aku pikir cuma sakit biasa. Abiskan banyak banget yang dateng kan? Terus pas tadi, pas aku lagi naik tangga, Chandra lewat terus dia nyenggol lengan aku. Karena kaki aku lagi sakit aku gak bisa jaga keseimbangan, terus jadi seperti ini." Aku berjalan terpincang-pincang dan bersyukur ada Dimas yang menolongku.
Dimas menggelengkan kepalanya dan bergumam tapi tak terdengar olehku, sambil terus memapahku masuk kedalam ruang staff juga membantuku untuk duduk di kursi panjang di dekat jendela, lalu Dimas berlari mengambil minyak pijat dan memijat kaki ku yang ternyata sudah bengkak akibat terkirir tadi.
"Wah.. lagi buka praktek lu di sini Mas? Enak banget dia di pijit, gua juga mau donk." Chandra keluar dari toilet sambil tertawa meledek Dimas.
Dimas yang sedang fokus memijat kakiku tak memperdulikan ucapan Chandra.
"Udahlah.. Manja banget sih, cuma kecapean sedikit minta dipijitin, cari perhatian banget sih." Chandra yang tak terima di cuekin Dimas, dia terus mengoceh sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk dan berdiri di depan cermin besar.
"Lu jangan ngomong terus, lu liat baik-baik kaki Naina." Dimas berdiri dan menarik kerah baju Chandra dan mendorongnya kearah ku.
Aku terkejut saat Chandra tersungkur di samping kakiku.
"Gue tau lu bercanda Chan, tapi kali ini lu kelewatan Chan. Lu nyenggol dia sampai dia jatuh, lu gak tau kan? Bagaimana jadinya kalo dia sampe beneran jatoh kebawah? Untung dia masih bisa nahan badannya. Kalau enggak? Bagaimana? Gue gak tau apa yang bakalan terjadi." Dimas marah, dia memegang kepala Chandra agar melihat kakiku yang biru keunguan yang membengkak.
Chandra terdiam dengan mata terbelalak tak berkedip sedikitpun. Tubuh Chandra melemah dia hanya terdiam melihat kakiku.
"Lu harus tanggung jawab Chan. Kan gue udah bilang kalau bercanda boleh, tapi jangan kelewatan. Lu gak pernah mau dengerin ucapan gue." lanjut Dimas, Melihat Chandra yang diam saja membuat Dimas semakin marah.
Chandra tetap terdiam seperti orang yang tersambar petir pandangan dan pikiranya tak ada di tempatnya.
"Akh.. Gue cape ngomong sama lu, percuma. Biar gue aja yang antar Naina pulang. Yukk Naina." Dimas hampir menonjok Chandra tapi dia mengurungkan niatnya dan lebih memilih membantuku berdiri.
Setelah Dimas mengambil switer dan tasku, Dimas membantuku berjalan keluar ruang staff.
Sebelum keluar ruang staff aku melirik kearah Chandra yang masih terduduk diam ditempat semula, ada rasa penasaran yang amat besar dihatiku, rasa kesal, tapi juga ada rasa sedih melihatnya seperti itu. Entah apa yang sebenarnya aku pikirkan? Aku sendiri pun bingung. Bukankah seharusnya aku senang karena Dimas lah yang menolongku, karena aku sudah menyukainya semenjak lama. Semenjak aku bekerja di sini 5 bulan yang lalu, tapi hati dan pikiranku berkata lain. Ada perasaan yang lain perasaan tak nyaman yang sulit untuk ku mengerti dan ku pahami.
Aku berhasil menuruni anak tangga, yang biasanya terasa amat mudah ku lalui. Jika di banding dengan jalan yang menanjak, menuju resto itu tapi sekarang rasanya sangat sulit dua kali lipat dari sulitnya. Rasanya kaki ku sudah tak kuat lagi untuk berjalan, tapi aku menahannya dan hanya memegang lengan tangan Dimas, karena malu. Terlebih kalau sampai ada yang lihat, dan untung saja semuanya sedang sibuk. Jadi hanya beberapa karyawan yang bertanya dan mengetahui keadaanku.
Kami keluar lewat pintu belakang, karena Dimas selalu memarkirkan motornya di belakang restoran dan area parkir motor di belakang resto memang cukup luas jika di bandingkan didepan yang diperuntukan untuk mobil. Motor metik yang terlihat klasik, terparkir apik di antara dua motor gigi yang terlihat gagah.
Sekitar 30 menit waktu yang di tempuh oleh Dimas dari resto ke rumahku. Padahal rumahku dan resto jaraknya lumayan jauh karena Dimas tau beberapa jalan tikus sehingga aku bisa lebih cepat sampai rumah.
"Makasih ya Dimas, udah mau nganterin aku pulang." Aku berdiri sambil berpegangan kesebuah pohon jambu air yang cukup besar yang berada di samping rumahku.
"Iya sama-sama, kamu harus istirahat yang cukup. Jangan lupa kakinya dikompres, dan di urut biar gak tambah bengkak. Kalau gitu aku langsung cabut ya? Soalnya ada urusan lain nih." Dimas masih berada di atas motornya. Dan kembali menghidupkan motornya setelah memakai helmnya kembali.
"Iya.. Sekali lagi makasih ya, hati-hati di jalan." Aku tersenyum dan membungkukan badanku berterima kasih.
"Iya.. Assalamu'alaikum." Dimas memutarkan motornya dan mulai berjalan pergi
"Wa'alaikumsalam." Aku berjalan menuju rumah dengan kaki pincang.
Aku masuk ke dalam rumah dan sebisa mungkin aku berjalan seperti biasanya walau rasanya sakit sekali, aku tak mau menambah beban Ibuku karena Ayahku sedang sakit saat ini
"Assalamu'alaikum Umi, Ayah... Naina pulang." aku masuk kedalam kamar Ayah dan Ibuku, dan mencium tangan Ayah dan Ibuku.
"Wa'alaikumsalam.." jawab orang tuaku bersamaan.
"Kakimu kenapa Nai?" tanya Ibuku, padahal aku sudah menyembunyikannya sekuat tenaga tapi tetap saja ketahuan.
"Ouh ini? Biasa Umi, aku tadi kepeleset terus jatoh deh. Tapi tenang, udah di urut sama temenku jadi tinggal sakit sedikit saja." aku tersenyum cerah.
'Maaf aku berbogong tapi aku tak mungkin menambah beban orang tuaku.' Batinku sedih.
"Bener gak apa-apa?" Ibuku menghampiri melihat keadaan kakiku.
"Iya Umi bener, udah gak apa-apa kok.. Aku laper banget nih. Umi masak apa?" aku mengalihkan ke pembicaraan lain tapi jujur aku memang benar-benar laper.
"Astgfirulloh Umi lupa... Maaf ya sayang." Ibuku berjalan menuju dapur.
Ayahku yang sedang membaca buku di atas tempat tidur hanya tertawa melihat tingkah Ibuku.
"Aku ke kamar dulu ya Ayah." aku tersenyum ramah dan mengecup kening ayahku.
"Iya sayang." ayah tersenyum sambil mengusap lembut kepalaku.
Aku melangkahkan kaki seperti biasa, sakit memang tapi lebih sakit lagi kalau melihat Orang tuaku menangis.
Aku tak mau melihat orang tuaku menangis.
Sesampainya dikamar aku mengunci pintu kamarku rapat-rapat dan berjalan cepat menuju meja riasku mengambil obat P3K.
Dengan tertatih.
Tok.. Tok.. Tok..
"Sayang makanannya sudah Umi siapkan di meja makan ya." teriak ibu ku dari balik pintu.
"Iya Umi terimakasih. Nanti aku makan." aku masih berkutat dengan minyak urut yang terus di oles sambil di pijat perlahan,ebelum di membalutnya dengan perban.
"Iya cepet ya nanti keburu dingin." perintah Ibuku.
"Iya.."
Tak ada suara lagi dari balik pintu mungkin Ibuku sudah pergi kembali kekamarnya.
Setelah selesai dengan perban yang melingkar sempurna di pergelangan kaki kananku. Aku berjalan keluar kamar menengok kekanan kiri melihat situasi sekitar untuk memastikan aman atau tidak. Bagai pencuri di rumah sendiri.
Dan berjalan cepat menuju meja makan.
Aku terlahir dari keluarga sederhana dan aku memang seoarang anak tunggal, ya.. Termasuk putri kesayangan karena hanya aku satu-satunya. Jadi, jangan harap ada orang lain disini kecuali aku dan kedua Orangtuaku.
Dan itu juga alasanku untuk mandiri aku tak ingin menyusahkan Orangtuaku, aku ingin Orangtuaku bangga dan bahagia bukan merasa sedih karenaku.
Tapi terkadang aku juga sangat ingin seperti orang lain, memiliki saudara Kakak atau Adik. Tapi aku tak bisa menyalahkan takdir yang ada. Dan aku harus selalu bersyukur atas apa yang Allah berikan padaku, karena aku mempunyai Orangtua yang sangat baik dan sangat sayang padaku.
"Selamat malam Umi, Ayah, semoga mimpi indah.." ucapku di balik pintu kamar kedua orang tuaku yang sudah tertutup rapat dan kembali ke dalam kamarku.
Bersambung...