3 Melepas atau Menahan?

Lona menatap paras tampan di hadapannya. Menilai pria itu secara terang terangan, tanpa perduli jika sikapnya tersebut terlihat kurang sopan. Perempuan itu memberi penilaian nyaris sempurna untuk penampilan fisik pria itu.

"Hehm." Pria itu kembali berdeham. "Kau bisa menyingkir atau tidak? Apa aku perlu menggendongmu?" imbuhnya kemudian masih dengan nada dinginnya.

"Iya," sahut Lona cepat.

Pria dengan hidung mancung itu menaikkan satu alis tebalnya ke atas.

"Ehm." Lona berdehem sejenak, menyadari kesalahannya. Ia lalu menyingkir dan membiarkan pria pemilik alis tebal itu maju ke meja kasir.

"H-halo, selamat datang di supermarket." Sania menatap pelanggannya dengan gugup. Perempuan itu segera mengusir Lona pergi dan bersiap melayani pelanggan tersebut.

Dalam hati merutuki tingkah konyol dari sahabatnya itu. Lona pun melipir pergi, pura pura memilih sesuatu di etalase yang berada di dekat kasir. Padahal matanya jelatanan mencuri pandang ke arah pria yang berdiri di depan kasir.

"Hanya ini, Mas?" tanya Sania sembari mengambil beberapa kaleng bir milik pelanggan tersebut.

Pelanggan itu hanya mengangguk.

"Totalnya Rp.128.000,00," ujar Sania memasukan semua kaleng bir ke dalam kantong kresek.

Pelanggan tersebut membayar dengan menggunakan gold cardnya. Ia menerima kembali setelah Sania menggesekkan kartu tersebut ke dalam mesin EDC dan mengkonfirmasi pembayarannya.

"Terimakasih, silahkan datang kembali." Sania tersenyum ramah mengantar kepergian pelanggan tersebut.

"Wah, wah, tampan sekali pria itu." Lona kembali ke meja kasir setelah sebelumnya mencuri curi pandang pelanggan yang tadi dengan dalih memilih barang di etalase.

"Kenapa? Kau seperti membayangkan seorang dewa yunani yang ketampanannya tak tertandingin. Dewa yunani abad modern?" oceh Sania mencibir.

"Cih, penggambaran seperti itu hanya ada di dalam di novel. Kenyatannya para dewa yunani kan tidak setampan itu." Lona balas mencibir. "Mereka tua, berjanggut, tinggi besar dan bahkan ada beberapa yang bentuknya bukan manusia. Oh, aku pernah melihatnya di film film barat," ocehnya kemudian.

Sania hanya melengos. "Eh, tapi pria yang tadi memang tampan. Alis matanya hitam pekat, matanya tajam layaknya elang, rambut rapi, setelan jas. Aku yakin dia itu seorang bos besar! Ah, minimal seorang eksekutif muda," celotehnya kegirangan. Sania ibarat perempuan perempuan diluaran sana yang tengah mengagumi selebritis terkenal.

"Satu hal yang menarik perhatianku," ucap Lona dengan tatapan seriusnya.

"Apa?" Sania mendekatkanw ajahnya ke arah Lona.

Lona tersenyum misterius."Tangannya!" serunya kemudian.

Sania tersenyum kecut, ia lalu melengos dan melanjutkan kegiatannya menatap rokok.

"Yak! Dia punya tangan yang aku suka! Jari jarinya panjang dan kurus, ada sedikit urat nandi yang menyembul di beberapa bagian. Tangannya sungguh merupakan karya Tuhan yang paling sempurna." Lona berteriak histeris.

"Yak! Berhenti mengagumi pria dari tangannya!" seru Sania. "Ck, aku heran kenapa seleramu di lihat dari tangannya. Kebanyakan para perempuan akan menilai wajahnya, lalu penampilannya dan yang paling penting itu hartanya." Sania menatap Lona dengan tampang seriusnya.

"Nomor 3 aku setuju! Aku menyukai pria yang ber-uang," celoteh Lona terkikik geli.

"Kau benar!" seru Sania setuju.

"Hah, sayangnya kita tidak akan menemukan pria yang seperti itu," keluh Lona kemudian, ia menatap ke arah luar. "Lihat saja, lingkungan kita sangat tidak mendukung. Apartemen busuk yang dipenuhi pria pria mengenaskan seperti Mas Hendrawan." Lona menatap seorang pria yang baru saja melewati depan supermarket.

"Yak, aku dengar dia sekarang duda. Istrinya menggugat cerai karena sifat mata keranjangnya," celoteh Sania mulai bergosip.

"Ck, sekalipun dia mata keranjang, kalau dia bisa menghasilkan uang, aku sendiri masih bisa menahannya. Tapi ini dia sangat tidak tahu malu. Kerjanya hanya mabuk,  berjudi, entah apa pekerjaannya sekarang setelah di pecat dari perusahaannya yang lama." Lona ikut bergosip.

"Sekarang dia sepertinya jauh lebih sibuk. Biasanya pagi pagi sekali dia akan datang ke sini dan menggodaku. Tapi beberapa hari ini dia tidak melakukannya. Aku bahkan baru melihatnya tadi, dia jarang pulang ke apartemennya," seru Sania.

"Ah, mungkin saja dia sudah menikah lagi!" Lona menepuk tangannya dengan keras. "Dia mungkin mencari perempuan kaya raya yang bisa memenuhi hobi berjudinya. Ya, meskipun dia itu mesum, tapi dia sedikit tampan," ocehnya mengakui ketampanan tetangganya.

"Hehm, kau benar." Sania mengangguk setuju. "Ngomong ngomong, bukannya kau masih ada tanggungan menulis. Kau datang ke sini bukan hanya sekedar curhat tentang celana dalammu yang basah dan menggosipkan Mas Hendrawan 'kan?" tanyanya kemudian baru tersadar.

"Oh, astaga! Aku lupa!" seru Lona. "Aku ke sini mau belanja bulanan!" Perempuan itu bergegas mengambil keranjang belanjaan, berlari menuju etalase untuk mengambil segala keperluhan yang kurang.

"Kopi, sabun, gula, garam, teh, minyak, ehm, apalagi?" Lona meneliti barang belanjaannya. "Ah, obat nyamuk!" serunya kemudian berjalan menuju etalase obat nyamuk, pewangi ruangan dan lain sebagainya.

Sania menatap teman yang baru dikenalnya selama 2 tahun itu. Tak terasa, dia sudah hampr melewati tahun kedua persahabatan mereka. Dimata Sania, Lona adalah perempuan yang sangat baik, pekerja keras dan juga mandiri. Celotehannya yang jujur, penampilannya yang seadanya, Lona adalah tipe orang yang selalu membantu siapa pun yang membutuhkan. Terutama orang orang yang ia kenal.

"Semoga hidupmu menjadi lebih baik setelah hari ini, Lon," gumam Sania tersenyum tipis.

*****

avataravatar
Next chapter