webnovel

Serial Killer (A - Accident)

Seorang korban tabrak lari ditemukan meninggal dunia. Ketika polisi datang dan memeriksa tubuh korban, tidak ditemukan tanda pengenal, terdapat memar bekas ikatan di kedua pergelangan tangan dan kaki korban layaknya korban pernah disandera sebelumnya. Luka bekas menggenggam benda tajam juga terdapat di telapaknya. Karena tidak tampak seperti kasus kecelakaan biasa, kasus yang harusnya ditangani unit Laka Lantas pun diserahkan ke Tim Investigasi Khusus.

NurNur · Horror
Not enough ratings
30 Chs

Delapan.

"Huda kamu di sini?"

"Iya. Calon Kakak ipar bilang ada menu baru jadi saya di undang sebagai tamu kehormatan," jawab Huda.

Iwata dan Haikal yang baru sampai duduk di kursi kosong depan Huda. Iwata mengambil air mineral kemasan yang ada di samping meja kasir kemudian meneguknya. Bergantian, Haikal juga melakukannya dari botol yang sama.

"Komandan, Ken!" Iwata melihat dua orang lagi dari Tim Khusus memasuki kafe.

"Pak Hamzah salah satu sukarelawan panti, jadi saya undang," Sakhi menimpali. Ia yang baru keluar dari dapur membawa minuman jenis moctail yang terlihat menyegarkan. Potongan buah yang memenuhi gelas, bisa mengambarkan rasa asam dan manis yang bercampur dalam minuman. "Bukannya saya sudah pernah cerita."

"Ah, yang itu." Iwata mengangguk. Ia membantu Sakhi menurunkan minuman dari mampan dan meletakkan di depan masing-masing orang. "Kalau Ken?"

"Dia pelangang setia. Saya juga baru tahu kalau dia masuk di Tim Khusus. Berarti Ken hebat, ya," puji Sakhi.

Hidung Ken mengembang. Ia tidak menyahut, hanya tersenyum malu-malu.

"Temanmu yang satu itu ke mana, nggak diajak?" Sakhi bertanya pada Ken.

"Paling belum bangun, Kak," jawab Ken singkat.

"Keadaan Farhan dan Farhana bagaimana?" Ketua tim bertanya.

"Alhamdulillah sehat, Pak. Makin aktif."

Sebelumnya Sakhi tinggal di panti Rumah Kami karena ditemukan tanpa orang tua. Sakhi kecil kemudian dirawat pasangan suami-istri yang ia panggil dengan sebutan kakak. Yang sudah sangat ia sayangi sekaligus segani layaknya keluarga kandung.

Farhan dan Farhana adalah anak dari pasangan suami-istri yang ia panggil kakak, keponakannya.

Kafe tempat Sakhi bekerja sebelumnya hanya buka mulai sore hari, dari pukul 16.00 sampai malam. Kemudian karena banyaknya permintaan dari pelanggan, kafe buka lebih cepat dan menyediakan lebih banyak pilihan variasi makanan berat.

Ponsel Ken berdering ketika camilan ringan telah disuguhkan. Panggilan masuk berasal dari Dani. Untuk menghindari kebisingan, Ken memilih menjauh. Berdiri di depan toilet.

"Kamu masuk Tim Khusus?!" Suara orang di seberang sana berbicara dengan volume yang terlalu keras sehingga Ken harus menjauhkan ponsel dari telinganya karena terkejut.

"Beritanya sudah keluar, ya?"

"Jawab yang benar, kamu benar-benar masuk Tim Khusus?" Dani menanyakan hal yang sama. Suaranya tidak lagi sekeras sebelumnya tapi terdengar mendesak. Seolah berita yang baru saja ia lihat di telivisi tidak cukup memuaskan keingintahuannya.

"Iya," Ken membenarkan "Kenapa, ini kekalahan terbesarmu, 'kan? Sekarang sudah sadar siapa yang lebih unggul?" tambah Ken menyindir.

Hening, orang di seberang sana tidak langsung menanggapi. Mungkin ia terpukul.

Benar seperti yang Ken bilang. Ini adalah kekalahan terbesar Dani selama mereka saling bersaing. Tidak cukup dengan Ken direkomendasikan untuk masuk di unit Inafis sebagai petugas pembantu tambahan, kali ini Ken bahkan masuk Tim Khusus. Dani benar-benar tertinggal jauh. Ia kalah dengan pukulan telak.

"Sial!" Dani mengumpat. "Ini mungkin keberuntungan sesaat karena unit Inafis kekurangan petugas, tapi tetap saja aku kesal."

Ken mengeraskan tawanya, sengaja membuat Dani semakin marah. Tawa yang benar-benar mengejek. Dani yang mendadak memutuskan sambungan tanpa sepatah, justru semakin membuat tawa Ken puas.

Kebetulan semua anggota tim berkumpul di tempat yang sama, pembahasan terkait kasus akan langsung dilanjutkan setelah selesai makan siang. Huda yang sengaja membawa lembar-lembar hasil pencariannya untuk ia tunjukkan pada Iwata dan Haikal yang ia tahu dari Sakhi juga akan ke kafe, akhirnya bisa sekaligus ditunjukkan pada ketua tim.

Ketua tim mengatakan kepada semuanya untuk berpindah tempat. Memilih yang paling pojok agar tidak terlihat terlalu mencolok dan mengundang perhatian pelanggan lain.

Sebuah meja baru saja ditinggalkan tiga orang wanita. Dilihat dari gaya berpakaiannya, mereka sama-sama bekerja di sebuah perusahaan. Seorang gadis berkerudung menggunakan atasan model blazer sementara dua temannya yang sama-sama berambut panjang mengenakan atasan berkerah dan celana kain.

Pegawai kafe segera membersihkan meja yang kosong dan menambahkan satu lagi kursi. Walau sudah bersih dan empat yang lainnya sepakat dengan itu, Ketua tim mengelap lagi meja di depannya dengan tisu. Bukan hanya meja, Ketua tim juga mengambil sendok dan garpu dalam kotak, menyiramnya dengan air minum dalam kemasan yang ia ambil dari kulkas, mengelapnya dengan tisu kemudian ia sisihkan untuk digunakan makan saat nanti pesanan datang.

Bagi ketua tim, kebersihan adalah mengenai bagaimana ia merasa nyaman. Jika ia belum merasa nyaman meski telah dibersihkan atau ia masih bisa melihat titik-titik yang ia curigai sebagai noda, itu berarti masih belum masuk standar kebersihannya.

Iwata dan Haikal saling melempar pandang, Huda juga, ia berbisik pelan. Ternyata desas-desus yang mereka dengar mengenai Kanit Laka Lantas Polresta Selatan yang dijuluki si higienis, benar adanya. Mereka sama-sama tersenyum.

"Kenapa, ada yang salah?" Ketua tim yang merasa ada yang tidak beres bertanya.

"Tidak ada, Ndan," Iwata, Haikal, dan Huda menjawab bersamaan. Ken hanya mengangkat bahu karena ia memang tidak mengerti apa-apa sejak awal.

Istirahat untuk makan siang berlangsung lebih cepat dari hari-hari biasanya. Setelah semua yang ada di atas meja terlahap habis, piring dan gelas segera disisihkan. Begitu meja kembali mengkilap seperti sebelum digunakan, pembahasan mulai dibuka.

Penyampaian perkembangan penyelidikan pertama dilakukan oleh kelompok Iwata-Haikal.

Iwata dan Haikal suwit untuk memilih siapa yang bertugas melaporkan hasil penyelidik sejauh ini.

"Haaahh!" Iwata mengerang kesal karena menjadi pihak yang kalah. Sebelumnya ia yakin bisa mengalahkan Haikal dalam segala hal, tapi untuk suwit, ia belum pernah sekalipun menang melawan Haikal. Sekalipun!

Haikal memulai dengan menjelaskan mengenai dugaan Iwata bahwa setelah dibius, korban di bawa masuk ke tempat penyekapan melaui pintu belakang. Haikal menyebutkan fakta bahwa hanya terdapat jejak sepatu korban dan patahan ranting yang ditemukan di pintu belakang sebagai buktinya.

Bagaimana rekuntruksi penculikan, korban disekap, cara korban melarikan diri, sampai saat tabrakan terjadi, Haikal menceritakan semua alur yang ada dipikirannya secara detail.

Hal yang mencurigakan, yang patut dipertanyakan dari pembunuhan korban pertama adalah sikap pelaku. Pelaku bersikap sangat hati-hati dan teliti. Tidak meninggalkan jejak pijakannya sekalipun. Tapi disisi lain, pelaku bersikap pongah dengan memarkir truk curiannya serampangan di pinggir jalan. Tempat umum. Bersikap terlalu percaya diri.

Sebelum meyelesaikan laporannya, Haikal menambahkan dengan tidak ditemukannya kerusakan pada pintu gudang sebagai tanda pernah dibuka dengan paksa sebelumnya, menandakan pelaku memiliki kunci atau duplikatnya.

"Bagaimana dengan keseharian korban? Sampai sehari sebelum menghilang apa tidak ada yang mencurigakan?" Ketua tim mengintrupsi.

Haikal menggeleng.

"Dia hanya anak tunggal yang menanggung harapan yang terlalau tinggi dari orang tuanya dan sesekali bersikap menyebalkan di luar. Hanya itu," Iwata menimpali, mengambil alih menjawab pertanyaan Ketua tim.

"Oke. Selanjutnya, Huda!"

Huda membuka catatannya.

Baik Tri Agus ataupun Aditya Zainuddin, tidak ditemukan ada pesan aneh atau panggilan mencurigakan dari nomor tidak dikenal di catatan telepon keduanya. Isi pesan yang masuk hanya seputar obrolan antar teman, dan panggilan yang diterima ataupun panggilan keluar juga berasal dari orang-orang yang dikenal.

Berkebalikan dari Aditya, Tri Agus sangat jarang menerima, atau melakukan panggilan. Ia bahkan hampir tidak pernah mengirim pesan.

Huda meletakkan di tengah meja sebuah kertas agar bisa dilihat semua orang. Kertas yang berisi sketsa tempat terakhir sinyal ponsel kedua korban terlihat. Huda menyebutkan detail tempatnya.

Lokasi menghilangnya sinyal ponsel korban pertama kira-kira berada di jarak 200 meter dari lampu merah simpang empat, jarak pulang menuju ke rumah. Seperti keterangan para saksi, Tri Agus memang menghilang setelah selesai mengerjakan tugas kelompok dan hendak pulang.

Lokasi sinyal ponsel korban kedua menghilang adalah di jalan kecil. Sama seperti tempat sinyal ponsel korban pertama menghilang, tempat hilangnya sinyal ponsel korban kedua juga sesuai dengan rute pulang ke rumah yang selalu dilewatinya.

Dengan berpatokan pada itu, Huda yakin semua keterangan yang diberikan orang-orang terakhir yang melihat kedua korban, benar. Tidak ada keterangan tumpang tindih atau mencurigakan.

"Dari riwayat pendidikan, teman bergaul, kesukaan, grup atau fans page yang diikuti, tempat-tempat yang sering didatangi, tidak satupun yang sama." Suara Huda terdengar kecewa. "Ahh... tapi entah kenapa saya merasa ini bukan pembunuhan dengan korban acak."

"Ini penyelidikan, bukan hanya berdasarkan perasaan. Jika yakin temukan buktinya, jika tidak maka cari petunjuk lain," Ketua tim menanggapi tegas.

"Siap!"

"Kalau begitu kita tambah materi penyelidikan. Fokuskan juga penyelidikan pada truk curian, dan pemilik bangunan tempat penyekapan," Ketua tim memberi komando. "Huda, tetap lanjutkan pencarian kesamaan kedua korban. Minta bantuan ke unit Resmob dan ke petugas lain untuk mencari saksi di tempat korban menghilang."

"Siap!"

"Eh, anak baru! Tidak ada yang mau kamu sampaikan?" Haikal bertanya ingin tahu karena Ken sama sekali tidak diberi kesempatan berbicara. Padahal Haikal sangat bersemangat, ingin tahu bagaimana cara Ken melihat kasus dan seperti apa pendapatnya.

"Ken, ada yang mau kamu sampaikan?" Ketua tim juga bertanya seolah baru menyadari keberadaannya.

Ken memperlihatkan wajah yang tidak enak dipandang, cemberut. Ujung bibirnya menekuk ke bawah dan pandangan matanya menunjukkan malas dan kesal. Ini kedua kalinya. Ketua tim benar-benar meremehkannya. Ia menghela nafas panjang.

"Ada. Dua hal," Ken akhirnya menjawab meski masih dengan nada malas. "Pertama, pelaku mengetahui cara kerja polisi berarti ada dua kemungkinan. Profesional atau... dari kalangan penegak hukum."

Pernyataan Ken yang terlalu berani membuat kelopak-kelopak mata yang mendengarnya melebar. Meski terkejut bercampur salut, tidak seorang pun yang berencana mengintrupsi. Sejauh yang mereka lihat dari kasus ini, pelaku memang sangat teliti dan bersih. Seperti seorang profesional atau mengetahui prosedur penyelidikan polisi.

"Kedua," Ken menghela nafas lagi "Akan ada kejahatan lanjutan."

Hening. Tiba-tiba mereka merasa keadaan dalam kafe terlalu tenang. Padahal seingat mereka beberapa detik lalu pelanggan masih ke luar-masuk kafe. Saat sadar, ternyata keheningan hanya terjadi di meja mereka saja. Ketua tim meneguk air dalam botol kemasan miliknya. Suara tegukannya terdengar sangat jelas.

"Apa maksudnya?"

"Jangan bercanda, itu kesimpulan yang kamu dapat dari mana?"

"Kenapa kamu bisa berpikir begitu?"

Ketua tim, Huda, dan Haikal mengajukan pertanyaan berturut-turut. Dibanding kalimat pertama Ken yang masih bisa dimaklumi, kalimat kedua terlalu ekstrim. Meramal akan ada kejahatan lanjutan bukan perkara main-main. Karena jika tentang kejahatan, berarti akan ada korban.

Ken bersiap menjelaskan. Empat yang lainnya merapat, memasang telinga, siap melakukan penalaran.

"Saya tertarik dengan pertanyaan yang Pak Huda sebutkan pagi tadi. 'Kenapa pelaku menyekap korban, membiarkannya bebas, baru kemudian membunuh. Kenapa tidak langsung dibunuh saat korban disekap?'"

"Jawabannya bisa saja karena pelaku adalah pembunuh gila yang menikmati saat-saat terakhir korban mengusahakan kebebasannya," Ketua tim menjawab dengan cepat.

Ken menggeleng. Bibir bagian atas Ketua tim sedikit terangkat. Melihat anak yang ia sebut bocah menepis jawabannya begitu saja tanpa berpikir barang beberapa detik saja membuatnya merasa diremehkan.

"Kalau alasannya seperti itu, maka kasus ini adalah pembunuhan karena rasa suka dan akan ada lebih banyak korban, juga akan berlangsung lama. Tapi caranya membunuh sangat berisiko. Kali ini memang berhasil, tapi tidak mungkin keberuntungan itu mengikuti selamanya. Jika pelaku menyukai menghabisi nyawa orang lain melebihi apa pun, seharusnya ia menggunakan cara lain yang lebih aman. Dia tipe teliti dan berhati-hati, jadi tidak mungkin mengambil langkah yang terlalu berisiko," jelas Ken.

"Jadi?" Haikal memburu, tidak sabar mendengar poin pentingnya.

Ken menyambung kalimatnya. "Saya setuju dengan pemikiran Pak Huda bahwa pasti ada kesaman antara korban pertama dan kedua. Ini adalah pembunuhan yang menargetkan beberapa orang. Dilihat dari berjalannya kasus sampai hari ini dan belum ada tujuan yang bisa terbaca, menandakan masih akan terjadi kejahatan lanjutan."

Penjelasan selesai. Saatnya nalar yang bekerja. Mengabungkan semua hal yang sudah mereka temukan untuk menarik benang merah, kesimpulan akhir.

"Dipikirkan berapa kali pun semua itu tetap saja hanya sebatas argumen," kata Ketua tim. Huda mengangguk setuju. "Seperti yang saya bilang sebelumnya, ini penyelidikan, bukan hanya berdasarkan perasaan atau argumen tak berdasar. Jika yakin temukan buktinya, jika tidak maka cari petunjuk lain."

Ken mengangguk mengerti. Meski ia yakin 100% dengan apa yang sudah diucapkannya, ia tidak akan berdebat untuk menuntut kepercayaan orang lain sama dengannya. Ia hanya perlu terus melanjutkan penyelidikan, agar ia menemukan buktinya, agar pelaku bisa segera tertangkap dan kejahatan lanjutan tidak sampai terjadi.

"Kalau begitu sampai di sini. Semuanya kembali lanjutkan penyelidikan kalian." Ketua tim beranjak dari tempat duduknya.

"Siap."

"Akh! bajuku," keluh Ketua tim saat melihat ada noda kecap menempel di bajunya. Ada umpatan singkat yang terdengar pelan. Ia berusaha menghapus noda itu dengan tisu, tapi yang ada nodanya justru melebar. "Ken, kamu kembali ke kantor ikut Huda saja. Saya harus pulang sebentar untuk mengambil baju ganti."

"Eh? Siap, Pak!" Kening Ken berkerut. Padahal hanya noda seujung kuku jari, tapi ketua tim mempermasalahkannya seolah noda sekecil itu bisa merusak seluruh citranya.

"Ayo, kita pergi!" Huda merangkul leher Ken dengan lengannya.

Setelah pamit dan berterima kasih pada Sakhi. Huda dan Ken kembali ke kantor lebih dulu. Iwata tinggal sedikit lebih lama, berbicara sedikit lebih banyak. Haikal yang hanya duduk manis di dalam mobil, mengarahkan lirikannya sekali-kali. Mencoba mencuri-curi pandang.

Haikal menghela nafas panjang.

"Sorry lama." Iwata kembali.

Haikal hanya mengangguk.

"Menurutmu…" Haikal mengambil jeda terlalu lama sebelum melanjutkan kalimatnya. "Menurutmu mengenai dugaan anak baru itu, seperti apa?"

"Kejahatan lanjutan?" Iwata balik bertanya, Haikal mengangguk lagi. Iwata menyalakan mesin mobil dan kendaraan mereka mulai menjauhi parkiran kafe, dan semakin menjauh. "Berpikir begitu seperti berharap akan terjadi kejahatan lain artinya akan ada korban lain. Tapi meski begitu, rasanya yang Ken pikirkan masuk akal. Ada benarnya."

"Kenapa? Bukannya komandan Hamzah bilang itu hanya sebatas argumen."

"Iya. Tapi kita tidak boleh melewatkan segala kemungkinan, 'kan."

Haikal mengangguk untuk yang ketiga kalinya. Pembahasan berhenti. Kendaraan terus melaju. Kepadatan jalan berkurang dalam jumlah banyak saat jam istirahat berakhir. Setiap pegawai dan para pekerja kembali ke tempat mereka masing-masing, melanjutkan kesibukan.

***