webnovel

Hug Me

Nam Taemin menjelaskan, bahwa pacarnya hampir saja menjadi korban pelecehan seksual saat akan menemuinya pada tengah malam. Walau beberapa kali Anna tidak fokus karena guru Dinda memberi izin pria yang tengah ia obati itu pulang pergi ke negaranya dengan batasan waktu.

Anna saja yang bermimpi ingin ke Korea dan Jepang telah memperhitungkan biaya yang harus ia keluarkan nanti. "Aku... Ayo jalankan kesepakatannya, perbaiki riwayat hidupku agar bisa diterima universitas Korea nanti," ucap Nam Taemin.

Anna tidak mengerti dengan apa yang tengah mereka bicarakan, apalagi keduanya diam sampai membuat Anna menjadi salah tingkah. Mereka menunggu Anna menyelesaikan pengobatan lengannya. Membubuhkan antiseptik pada kapas dan mencoba mendekat.

"Nanti saja, aku bisa selebihnya," ucap Nam Taemin. Membalut luka lengannya saja sudah cukup, Anna tidak perlu melakukan lebih banyak atau ia akan merasa berhutang lagi padanya. "Ini tidak akan memakan waktu satu menit, tahan saja obrolannya sampai aku pergi," ucap Anna.

Guru Dinda mengangguk untuk membiarkan Annastasia membereskan pekerjaannya. Memang benar juga mengenai pernyataan Nam Taemin bahwa sekolah sebagus ini seharusnya sudah mendapat pengganti untuk perawat yang mengundurkan diri. "Pelipis nan—"

Nam Taemin membekap mulutnya tatkala Anna menatap nyalang. Hugom satu ini bisa menambah masalah sebab ia pendiam dan sabaran. Sekalinya marah mungkin akan langsung mengerikan. Biasanya sifat kebanyakan orang lugu memang begitu.

Nam Taemin yang tidak sabar ingin berbicara berdua dengan guru Dinda ini malah terhalang dengan Annastasia. Ia menyidik Nam Taemin dari ujung kaki hingga rambut.

"Ada lagi?" tanya Anna. Nam Taemin menggeleng. Di mana ketua PMR itu menghela napas hingga mengangguk untuk berpamitan dengan guru Dinda. Namun semuanya malah terpaku diam dengan kedatangan pak Jepri. "A–ada masalah guru," ucapnya.

Hanya dalam hitungan menit. Gedung IPA dan IPS ini menjadi ricuh sebab komite sekolah telah meraup uang simpanan sekolah bersama dengan sumbangan yang mereka kumpulkan. "Lalu bagaimana?" tanya guru Dinda.

"Anda akan diseleksi menjadi Komite sekolah, namun..."

***

Semua siswa yang tengah mendapat kabar mengenai kericuhan itu berkumpul di lapangan. Apalagi kepala sekolah langsung yang akan menyampaikan pidato tersebut. Merunduk bagai toge layu, ia mengatakan bahwa sekolahnya tengah mengalami kerugian besar.

Belum lagi beberapa pelayanan sekolah yang memang tidak memadai sebab Komite mengumpulkan uang dan membawanya kabur. "Kami sudah menindak lanjuti ini, dan akan segera ditangani secepatnya," ucap kepala sekolah.

Beliau juga sementara akan menutup sekolah. Namun ia malah mendapat puluhan protes dari orang tua siswa agar tidak menganggu pelajaran beberapa menit lalu. Namun, Inti dari semua pidato berbelit-belit tersebut. Ia meminta partisipasi siswa untuk membangun sekolahnya kembali.

Manggalang dana dan memastikan bahwa uangnya akan dipakai dengan benar. Sebab, orang terpercaya yang ia tunjuk— guru Dinda tidak akan membawa lari kemanapun uang siswa. "Apa-apaan ini, masa iya sekolah kenamaan Purple Winter jadi ngemis gini!" celetuk salah satu siswa.

Beginilah resiko memiliki sekolah swasta. Mereka kesulitan mencari dana sebab pemerintah tidak ikut campur tangan untuk memodali. "Saya... Sungguh minta maaf, atas keteledoran dan kecerobohan saya," ucapnya.

Semua siswa menjadi tertegun sebab kepala sekolah benar-benar membungkuk karena telah menghilangkan uang siswa yang ditunjukan untuk niatan baik. Apalagi guru Dinda yang ikut berpidato akhirnya membuat semua siswa setuju menggalang dana kembali kemudian membantu sekolahnya.

Mereka akan menunggu anggota OSIS untuk menghampiri kelas masing-masing. Memulai kembali penyebaran surat dengan semua hati yang tengah dilanda kalut. Mereka tiada henti membicarakan komite sekolah yang tega mengambil uang mereka. "Kenapa gak datengin keluarganya?" tanya Mey.

"Kan duda, tahun kemarin cerai," sahut Nana. Berbeda lagi dengan Anna yang malah memikirkan Nam Taemin. Kesepakatan apa yang ia buat dengan guru favoritnya. Belasan menit ia melamun hingga Henry datang saat hampir saja istirahat kedua akan berlangsung. "Bos memintamu untuk menemuinya," ucap Henry.

Anna mengangguk dan berpamitan pada temannya yang mulai resah, mereka tidak mungkin mengatakan bahwa Veri tadi mengerahkan para antek-antek hanya untuk mencari Anna. Apalagi wanita ini dengan percaya diri mengikuti Henry menuju salah satu ruang kosong di lantai atas.

Atau lebih tepatnya, ruangan ini pernah dipakai untuk siswa aktif yang mau menyalurkan bakatnya dalam bidang penyiaran. Semenjak ketua OSIS terdahulu telah lulus, ruang penyiaran ini tidak ada lagi yang memakainya.

OSIS yang sekarang terlalu berleha-leha setelah masa jabatan Anna pun telah habis sewaktu kelas sebelas kemarin sebagai wakilnya. Ia menggulirkan pandangan pada Henry yang menggerakan torso agar Anna masuk sedangkan dirinya berjaga di luar. "Ada siapa di dalam?" tanya Anna.

"Bos..." sahut Henry. Anna menghela napas tatkala semuanya berubah menjadi terasa lebih mencekam. Membaca beberapa surat pendek dalam hati agar ia selalu dalam perlindungan–Nya.

Anna lantas memasuki ruangan hingga spontan berbalik badan lantaran Henry langsung menutup pintu. Tercekat kaget sebab Veri tengah bersadar di tembok seraya memandangnya. Namun pupil Anna malah membelalak tatkala di ruang audio seorang siswa tengah dipukuli teman Veri.

Anna ingat bahwa pria itu tadi berteriak 'mengemis' di lapangan hingga Anna tersadar sebab dia melakukan kesalahan besar karena telah mengatai sekolah. Di mana Anna mengambil langkah besar sebelum pergerakannya tertahan sebab Veri menahan lengannya. "Kamu mau kemana Es?"

"Hu... Jangan seperti ini," lirih Anna. Veri malah menarik raga Anna hingga menyudutkannya di balik pintu. Merogoh ponsel serta mengotak atiknya cepat, ia memperlihatkan foto Annastasia yang tengah mengobati bibir Nam Taemin.

Meniup lengannya, hingga menunjukan blazer dengan lambang sekolah Nam Taemin dulu yang ada di tasnya kemarin. Anna lupa mengembalikannya hingga memutuskan untuk mencuci dan mengeringkan dengan benar. "Kamu menyukainya Es?"

"Hu—" Annastasia memejam tatkala Veri menyapa tekuk belakangnya. Mengusap naik pada rambut hingga menelusupkan jari jemarinya di sana. "Apa?" ucapan Veri mengalun menghantarkan rasa ngeri pada Annastasia. Apalagi ia membelalak tatkala pria di sebelah sana mendapat sebuah tendangan.

"Hu, kamu salah paham, kita pernah seperti ini waktu Bayu ada kan, aku hanya membantu Nam Taemin yang terluka tadi. Aku ketua PMR lagipula ada guru Dinda di sini." Annastasia dengan gentar menarik ponsel yang Veri genggam.

Memperbesar gambarnya hingga mengarahkan ke bawah di mana Veri bisa melihat gambar kaki guru Dinda namun tubuhnya tertutup tirai. Anak buahnya yang membawa informasi itu sungguh sangat tidak becus dalam melakukan pekerjaan.

Kenapa tadi melapor bahwa Annastasia hanya berdua dengan Nam Taemin di UKS. "Dasar buta..." maki kecil Veri. Ia tersadarkan tatkala Anna mengenggam pergelangan lengan yang ada di surai rambutnya.

"Lepaskan dia... Kumohon," lirih Anna. Veri meggulirkan pandangan pada pria yang tengah dipukuli itu. "Dia menghina sekolah kita."

"Dia mengatakannya secara emosianal Hu, tidak perlu seperti ini yah?" pinta Anna. Pupilnya bergetar tatkala ia memandang Veri yang menatapnya intens. "Kamu... Bahkan tidak menyambut kedatanganku Es," ucap Veri. Kekasihnya terlalu sibuk sampai ia sulit sekali menemui Annastasia.

"Aku menyambutmu kemarin Hu... Kau tid—" Perkataan Anna terpotong sebab Veri tiba-tiba saja menarik bahunya. Mendekap Annastasia yang memjam hingga memegang kedua pinggang Veri dan mendorongnya pelan. "Kita tidak boleh seperti ini Hu..." ucapnya sabar.

"Tidak apa Es... Kita sudah dewasa. Aku sedari dulu menghormati larangan Agamamu, tapi kali ini... Sekali saja, biarkan aku... Karena aku sungguh merindukanmu," bisiknya.

Annastasia masih mencoba untuk mendorong pelan Veri yang tidak bergerak sedikitpun. Ia memeluk kuat Annastasia yang tengah bersusah payah menahan bulirnya untuk tidak jatuh. "Hu..."

"Sebentar Es... Sebentar lagi saja," lirihnya. Veri menyimpan terlalu banyak rasa rindu untuk Annastasia. Ia bahkan selalu berhati-hati saat mengendarai motor sebab takut kecelakaan lagi. Ia tidak mau dikurung satu tahun oleh Ibunya yang over protektif.

Dilarang bermain, atau bersekolah. Aktivitasnya hanya main game atau menonton televisi, Henry dan Raihan serta teman lainnya memang berkunjung. Namun Veri tetap tidak diperbolehkan keluar walau itu hanya halaman rumah. Takut terpleset jalanan basah.

Kapan lagi ia... Bisa seberani ini mendekap Annastasia. Bahkan ia selalu kesusahan hanya agar bisa mengenggam lengannya dahulu. Anna yang sedingin Es ini... Harus tetap menjadi miliknya.

To Be Continued...