webnovel

Good

"Ya! Nam Taemin!" teriak Anna. Ia dengan tergesa mencari Nam Taemin. Kembali masuk ke dalam kelas hingga memeriksa koridor sepanjang ruang bimbingan konseling. "Nam—"

"Berisik," sahutnya. Anna kemudian menggulirkan pandangan pada pria yang ada di belakangnya. Muncul dari kamar mandi pria sampai Anna menghela napas lega. "Ah syukurlah, ayo pul—"

"Aku bisa sendiri... Sudah hafal jalan," ucapnya. Anna tertegun tatkala melihat tatapan dingin dari Nam Taemin. Kenapa pula ia menyusulnya. Lagipula masih ada guru Dinda di sini. Anna hanya merasa spontan saja sebab tugas Bayu sebagai ketua kelas akan berjalan esok.

"Baiklah..." ucap Anna. Ia yang masih terengah itu meninggalkan Nam Taemin. Terlihat jelas dari tatapannya, bahwa pria itu sudah yakin akan menemukan jalan keluar serta tidak akan lagi tersesat.

Namun yang Anna pikirkan sekarang, adalah tatkala ia menghampiri Veri yang mengotak atik ponselnya dengan santai. Terlihat jelas dari kejauhan pun bahwa pria ini tengah menahan amarahnya. "Ma–af..." lirih Anna.

Veri tidak mengatakan apapun tatkala melihat Anna merunduk kembali seperti dahulu, napasnya bahkan masih tersegal. "Ketemu?"

"Iya... Dia bilang udah tahu jalan pulang," jelas Anna. Ia melirih saking takutnya Veri marah padahal sedari tadi Anna mencoba untuk memberanikan diri. "Lagian ngapain sih Es? Kan udah buka ketua kelas lagi."

"Kan besok digantikan Bayu..." timpal Anna. Ia menggesekan sepatu pada paving block segilima sekolahan itu. Ia bahkan mendengar suara helaan napas Veri yang masih mencoba untuk bersabar. "Ya udah... Naik, udah mau sore," ucapnya.

Anna menganguk walau masih ragu. Dahulu Veri bahkan memukul pria yang duduk di sampingnya hanya untuk makan siang. Mencubit pipi Anna kencang sebab mengobrol dengan pria lain sampai tertawa. Untung saja ia tidak melakukan apa-apa sekarang ini sebab Anna menyusul anak baru.

"Enggak marah kan Hu?" tanya Anna. Ia berpegangan pada kedua sisi seragam Veri. Takut diajak kebut-kebutan nantinya. Apalagi Veri memiliki riwayat kecelakaan karena ugal-ugalan di jalan sampai tidak masuk sekolah satu tahun. "Iya enggak..." sahutnya.

"Jangan ngebut..."

"Iya..." sahutnya lagi. Setidaknya Veri memang menang banyak hari ini. Anna bahkan tidak menolak tatkala ia membuat kedua lengan pujaan hatinya lebih maju hingga merengkuh pinggang. Di mana Anna malah mengedarkan pandangan takut ada pak Steven.

Minta maaf juga sebesar-besarnya sebab ia terpaksa melakukan ini daripada mengancam keselamatannya nanti saat di jalan. Anna tidak banyak memberontak untuk Veri yang memegang kedua lengannya agar tetap merengkuh pinggang selama perjalanan mereka menuju tempat reparasi ponsel.

Kemudian berlalu menuju sebuah rumah makan, berbincang banyak termasuk Anna yang menceritakan kegiatannya saat Veri menghilang. "Kamu mau yang lain gak?" tawar Veri.

"Es krim," sahut Anna. Veri mengulas senyum sebab selera Anna tidak ada yang berubah sedikitpun. Memesan es krim coklat mint namun hanya berakhir dengan menekuk bibir sebab es krim dengan rasa tersebut tidak tersedia. "Kalau kue coklat mint ada?" tanya Veri.

Bibir Anna yang tertekuk itu naik kembali tatkala makanan lain dengan rasa coklat mint tersedia, di mana Veri malah geleng-geleng sebab memang. Sulit sekali mencari makanan kesukaan Resa. Ia bahkan tidak pernah makan es krim rasa lain selain coklat mint walau ia memaksanya.

"Kamu gak deket sama orang lain kan pas aku gak ada?" tanya Veri.

"Deket, sama Nana sama Bayu," sahut Anna.

"Eih, selain mereka Es," tanyanya. Bayu dan Nana merupakan pengecualian bagi Veri sebab Anna itu tidak bisa dipisahkan dari mereka. Awalan saja saat Bayu menjadi murid pindahan dan Anna penanggung jawabnya. Sedikit rumit kala itu.

Namun sekarang, Veri bahkan merasa biasa saja bila Nana atau Bayu menggoda Anna sampai perempuan yang tengah gembira ini tergelak tawa. "Woah ini enak, kamu mau cobain gak?" tawar Anna.

Ia tertegun tatkala spontan saja menawari Veri yang sudah berubah ini dengan mengacungkan brownies coklat mint dengan gembira. Anna bahkan tercekat sebab Veri menarik lengannya hingga mengigit Brownies yang Anna ulurkan. "Iya enak," ucap Veri.

Anna terpaku diam dengan tubuhnya yang berinisiatif menawari manusia di hadapannya. Begitupun dengan Veri, ia pun merasakan debaran hebat sebab Anna menawarinya tanpa perlu ia memaksa. Memang... Sebuah perubahan besar. Semakin cantik serta menyenangkan.

Begitupun dengan Nam Taemin yang tertegun tatkala mendapat sebuah pesan dengan tulisan hangeul. Duduk tentram di kusen jendela yang tadi memperlihatkan kepergian Anna serta Veri. Ada sesuatu sepertinya menimpa Kim Minji sampai ia meminta untuk bertemu. Mendesak.

Padahal jelas-jelas wanita itu tahu bahwa dirinya baru sampai ke Indonesia seminggu lalu. "Belum pulang?" tanya guru Dinda. Nam Taemin membenarkan posisi duduknya membungkuk pada guru Dinda yang hanya mengulas senyum saking bingung harus menanggapinya bagaimana.

"Anda akan pulang?" tanya Nam Taemin. Guru Dinda mengangguk ringan, ia menelisik murid barunya seperti tengah dilanda sebuah kekalutan. "Namun sepertinya agak betah di sekolah, mau menemani?" tanya guru Dinda.

Nam Taemin yang masih terpaku diam itu melihat wali kelasnya berbalik arah kembali menuju ruang bimbingan konseling. Sedikit bercakap ringan memang mungkin akan membantunya. Mengikuti Ibu Dinda kembali ke ruang BK dan memperhatikan gurunya yang punya mesin kopi sendiri. "Apa aku—"

"Ratusan cerita berbagai murid sudah menjadi cernaanku setiap hari... Bicara santai saja agar lebih enak saat mengutarakan sesuatu, aku mungkin... Bisa memberimu solusi," potong guru Dinda. Setidaknya, sebagai wali kelas. Ia merasa janggal dengan laporan dari riwayat prestasi Nam Taemin.

Ia memiliki nilai tinggi di bidang olahraga, riang dan juga memiliki banyak teman. Kasus pengeluarannya dari sekolah karena Bullying yang ia lakukan di sana. Pencurian uang kemudian mabuk dan masuk kelab saat usianya belum memenuhi syarat. Merokok serta merusak properti sekolah. "Kamu perokok?" tanya guru Dinda.

"Iya."

"Suka minum alkohol dan pergi ke kelab?"

"Iya."

"Tapi kenapa aku tidak percaya?" ungkap Ibu Dinda. Nam Taemin spontan menatap intens guru yang bersimpuh di hadapannya. Menyodorkan kopi pada Nam Taemin kemudian ia bersiap dengan catatan yang akan ia terima sendiri dari orangnya. "Kau sudah melihat sendiri riwayat hidupku."

"Data bisa dimanipulasi Nam Taemin... Aku guru bimbingan konseling. Tentu saja belajar psikologi walau dasar-dasarnya saja," ungkap guru Dinda. Nam Taemin menyeringai mendengar pernyataan guru satu ini. Bahkan saat ia berhadapan dengan dokter psikologis sungguhan.

Mereka tidak mendengarkan apa yang telah ia ungkapkan dari bibirnya. Ayah dan Ibunya saja main kirim dia ke Indonesia dan tinggal dengan neneknya. Memasang CCTV di setiap sekat yang ada di rumah termasuk kamar mandi.

Kedua orang tuanya bisa mengawasi mereka dari jauh. Ibunya bahkan memberikan ponsel pada nenek yang tidak tahu cara menggunakan benda pipih itu selain membawanya kemana mana sebab koordinat ponsel Ibunya bisa membantu Nam Taemin pulang.

"Sebagai guru aku memang merasa gagal untuk melindungi anak-anak yang lain namun tetap memakan uang yang mereka setor setiap bulannya... Aku tidak bisa membantu Anna atau Bayu, Nana maupun Crystal dan Mey. Aku juga tidak bisa menyusulmu sebab guru hanya diperbolehkan masuk sampai jam enam sore."

Guru Dinda menjelaskan kenapa ia mengandalkan Anna tatkala menyusulnya ke sekolah kemarin malam. Ia bahkan tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Jepri padahal hanya untuk mengambil rekap lapor di jam tujuh malam. "Maaf aku tidak menyusul kamu," ucapnya.

Nam Taemin nampak tertegun sebab tidak seharusnya guru itu meminta maaf padanya. Lagipula ia memang sengaja berlama-lama di sekolah. Walau memang Ibu Dinda mengatakannya dengan santai. Ia menyeruput kopi hitam tanpa melihat Nam Taemin yang masih belum juga angkat bicara.

"Kau punya sesuatu yang mendesak Nam Taemin?" tanya Ibu Dinda.

"Minji—ssi... Maksudku temanku sepertinya—"

"Pergilah," potong Ibu Dinda. Nam Taemin semakin begernyit dengan tingkah guru satu ini. Ia tidak mengerti dengan apa yang wali kelasnya coba sampaikan.

"Menurut peraturan sekolah dan hukuman dari sekolah lamamu, kamu harus masuk selama satu bulan bahkan meski sedang sakit terkecuali sekarat," jelasnya.

"Ini masih sore, dan besok pun masih jadwal pelajaranku di kelas, pergilah... Namun kau harus kembali sebelum pelajaran berakhir," ucap guru Dinda. Nam Taemin melebarkan maniknya tatkala kaki dan tubuhnya memnas ingin segera terbang ke Korea kemudian menemui Kim Minji.

"Terima kasih, aku akan kembali se—"

"Kita sedang bekerja sama Nam Taemin... Kau harus membayarnya," ucap Ibu Dinda. Guru ini memang mengerti apa yang tengah menjadi kemelut hatinya. Mempermainkan Nam Taemin dan mencoba untuk memanfaatkan semangat serta ambisinya.

"Dengan apa?" tanya Nam Taemin. Guru Dinda menyodorkan kertas kosong yang ia pegang dengan pena pada Nam Taemin. "Aku akan membantumu memperbaiki riwayat hidup yang bisa saja menjadi unsur fitnah ini, namun kau harus menandatangi kertas kosong," ungkapnya.

"Bagaimana bila anda meminta nyawa dan harta kemudian aku sudah membubuhkan tanda tangan?" tanya Nam Taemin. Guru Dinda tertawa tatkala mendengar perkataan Nam Taemin.

"Kau juga mungkin sudah berhati-hati denganku Nam Taemin?" tanyanya.

Ia menggerakkan torso pada ponsel Nam Taemin yang berada di atas meja. Sudah jelas dari gelagat murid barunya ini, ia sudah melakukan kecerobohan besar sampai tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Nam Taemin merekam percakapannya dengan guru Dinda.

Pantas saja guru Dinda mengatakan semua kekurangannya pada Nam Taemin sebab ia tahu bahwa percakapannya tengah direkam. "Kamu bisa menyebar luaskan performa kinerjaku selama menjadi guru bila aku menulis sesuatu yang merugikan dalam kontrak kita ini," ucapnya.

Guru Dinda memang lawan main bagus bagi Nam Taemin. Ia cocok menjadi alibi dan sebanding menjadi seorang musuh. Di mana Nam Taemin meraih ponselnya kemudian mematikan rekaman yang tengah berlangsung. Ia kemudian membubuhkan tanda tangan pada kerta kosong tersebut.

"Ah... Jangan lupa cap jari," ucap guru Dinda. Ia menyodorkan tinta stempel sampai Nam Taemin tanpa ragu lakukan cap jempol pada kertas tersebut. Tidak ada waktu lagi untuknya bertele-tele tatkala ia sangat merindukan Kim Minji.

"Baiklah, semoga kita menjadi rekan yang kompak... Nam Taemin."

To Be Continued...