webnovel

1

Orang-orang memenuhi tepian jalan tanah di Karangwuluh, salah satu desa di kerajaan Narekta. Para lelaki pemakai rompi kain lusuh dipadu pengikat kepala batik dan celana gombrang, perempuan-perempuan bersanggul sederhana yang mengenakan kemben jarik, tua-muda, semuanya bertelanjang kaki, sengaja meliburkan diri dari pekerjaan.

Sorak-sorai meledak saat panji-panji merah bergambar akar-akar emas mulai tampak. Sebagian orang maju ke jalan, tapi mereka langsung mundur begitu mendapat tatapan bengis dari pria-pria tegap yang memakai rompi kulit kecoklatan, pelindung kepala dari perpaduan kulit dan logam, atribut-atribut berwarna kuning, serta memegang tombak dan perisai. Pasukan Waringin Mas—pelindung pemerintah dan kerajaan itu—tak akan membiarkan seorang pun mendekati kereta kencana emas yang akan lewat

Di antara kerumunan manusia, seorang anak kecil kurus yang umurnya tak lebih dari lima tahun berusaha merangsek ke depan.

“Daru, di mana kamu!?” teriak seorang wanita dengan pakaian yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Ia menengok ke berbagai arah, mencari anaknya yang berkulit sawo matang itu.

“Di sini, Bu!” Anak itu menjawab keras. Ia berusaha menuju barisan paling depan. Tapi apa daya, tubuh kecilnya tak mampu menembus orang-orang dewasa yang berdesakan.

Tiba-tiba saja, tubuhnya diangkat sepasang tangan besar.

“Sudah bisa lihat?” tanya pria yang mengangkat Daru itu.

“Asyik! Terimakasih, Bapak.” seru Daru yang kini duduk di pundak kekar ayahnya.

Ibu Daru datang dengan napas ngos-ngosan dan mata melotot. “Kau itu! Jangan lari-lari begitu, kalau terinjak atau terjepit bagaimana!?”

“Sudahlah, Bu. Namanya juga anak kecil.” Si ayah terkekeh.

“Mereka datang! Mereka datang!” Daru menunjuk-nunjuk kereta kencana yang sudah mulai kelihatan.

Mulut Daru menganga ketika kereta kencana yang dilindungi payung besar itu lewat. Dengan warna emas menyala, ditarik dua kuda besar yang gagah, serta dihiasi ukiran maha rumit yang tak akan dimengerti anak kecil, kereta itu seolah menggambarkan perbedaan status yang begitu jauh antara rakyat dan keluarga raja.

Namun, seindah apa pun kereta itu, tujuan utama Daru bukan untuk mengaguminya. Untuk pertamakali dalam hidupnya, dia bisa melihat sang raja, pria yang duduk di kereta itu, pemakai mahkota emas dengan ukiran yang juga rumit, berbeskap[1] hitam dengan pernak-pernik berkilauan, serta mengenakan bawahan jarik dengan warna yang sedikit memantulkan cahaya. Didampingi sang ratu yang mengenakan kebaya abu-abu dan mahkota yang lebih kecil, pemimpin Narekta itu tersenyum sambil melambaikan tangan, memancing ledakan sorak-sorai yang lebih keras.

“Melihat mereka secara langsung seperti ini, rasanya tidak mungkin kalau isu itu benar,” gumam ibu Daru. “Mereka tidak seperti orang yang bisa melakukan kejahatan.”

“Ah, paling isu itu dibuat oleh orang yang ingin menjatuhkan kerajaan ini,” balas sang ayah.

“Pak, memangnya betul Raja sudah memimpin negeri kita selama lebih dari tiga ratus tahun?” celetuk Daru agak keras, melawan gemuruh penonton. “Kok dia masih kelihatan muda? Tetangga kita mbah Kun umurnya 75 tahun saja sudah keriput dan ubanan!”

“Hush!” Ibu Daru mendelik ke anaknya. “Tidak sopan!”

Ayah Daru tertawa keras. “Itulah salah satu kesaktiannya, Le. Kita sebagai orang biasa tak akan mengerti.”

“Kenapa kita tidak bisa mengerti?”

“Karena status kita jauh di bawah mereka… Ah, nanti juga kalau sudah besar kau paham maksudnya.”

“Huh, Bapak selalu begitu kalau tak bisa menjawab.” Daru merengut, kembali memandangi rombongan kerajaan yang kini menjauh.

“Mimpi apa kita, sampai kota kecil ini didatangi oleh Yang Mulia?” gumam sang ibunda.

“Entahlah, sebagai orang yang katanya terpilih, beliau…”

Perhatian ayah Daru tanpa sengaja tertuju kepada seorang pria di tengah kerumunan. Tak seperti penonton lain yang masih melongok-longokkan kepala untuk melihat rombongan, lelaki itu malah menengok ke kanan dan ke kiri, seperti mencari sesuatu.

Ayah Daru tercekat saat lelaki itu mengeluarkan golok dari bagian belakang baju.

“Awas!” teriaknya.

Terlambat, lelaki itu keburu menusuk punggung orang di hadapannya. Teriakan-teriakan pilu bercampur ngeri pun muncul di mana-mana. Melihat orang lain yang mengeluarkan celurit, ayah Daru segera memeluk anaknya dalam gendongan.

“Kelompok Nagrasala!? Di sini!?” Suara ibu Daru meninggi.

“Ada apa, Pak?” tanya Daru.

Tak menjawab, ayah Daru membenamkan kepala anaknya ke bahu. Daru jadi tak bisa melihat apa-apa. Ayah Daru pun berlari sambil menarik tangan istrinya, melewati manusia-manusia yang berlarian tak tentu arah, menghindari orang-orang yang menebas dan menusuk dengan senjata tajam.

“Apa kita harus bersembunyi di rumah?” tanya ibu Daru dengan suara bergetar, memejamkan mata saat mereka melompati salah satu mayat. “Atau kita harus melawan mereka?”

Sang ayah menelan ludah. “Kita tidak bisa melawan mereka, jumlahnya terlalu banyak…”

“Argh!” ibu Daru berteriak, dia terhempas dengan debam keras. Tangannya lepas dari genggaman sang suami.

“Ibu!!!” seru Daru, masih tak mengerti apa yang terjadi.

Demi melihat golok menancap di punggung istinya, ayah Daru mematung dengan mata membelalak.

“La… Lari…,” desis ibu Daru dengan sisa-sisa tenaganya “Selamatkan anak kita!”

“Tapi…”

“Cepat!!!”

Ayah Daru terus menahan kepala anaknya di bahu. Setelah mendapat tatapan penuh permohonan dari istrinya, ia memaksakan diri untuk kembali berlari. Ketika menoleh ke belakang, ia melihat seseorang mencabut golok di punggung istrinya dengan sekali hentak.

Meski begitu, ayah Daru terus berlari.

“ibu!!! Ibu!!! Ibu kenapa!?” Daru berteriak histeris, terisak-isak, berontak dari gendongan ayahnya.

“Semuanya akan baik-baik saja, Daru,” bisik sang ayah. “Kita akan…. Ugh!!!”

Ayah Daru terhuyung-huyung begitu satu anak panah menembus pundaknya. Namun, ia berhasil mengembalikan keseimbangan dan melanjutkan larinya. Begitupun saat anak-anak panah lain merajami tubuhnya, mulai dari punggung, tangan, sampai pinggang. Larinya memang melambat, tapi tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Dia baru tersungkur ketika dua anak panah menembus kakinya. Daru langsung luput dari gendongannya dan berguling-guling di tanah.

“Lari… Daru… Lari…” Setelah mengatakan hal itu, ayah Daru cuma memandang anaknya dengan mata kosong.

“Bapaaaaak!!!” Daru memekik keras. Air matanya makin deras mengalir.

Daru tercekat. Telinganya menangkap derap-derap kaki manusia yang mendekat. Ia sedikit mengangkat kepalanya, mendapati dua orang yang mendatanginya. Masing-masing dari mereka membawa golok yang berlumuran darah.

Daru tahu dirinya harus segera lari, tapi kakinya seperti tak bertenaga. Tubuh kecilnya juga bergetar tak hebat. Ia cuma bisa menangis kembali. “Bapak!!! Ibu!!!”

Tiba-tiba, satu tubuh manusia terlempar entah dari mana, menimpa salah satu pembawa golok, memaksanya pingsan. Rekannya terkesiap, segera memasang kuda-kuda saat seseorang melompat dari pohon dan mendarat di hadapannya.

Beskapnya kini berlumur darah, kepalanya tanpa mahkota, tapi Daru tetap mengenali orang itu. Raja dari Narekta, seorang diri berhadapan dengan pemegang golok terakhir. Si pemegang golok tak sempat berbuat apa-apa saat raja maju dengan kecepatan yang tak bisa diikuti mata. Tahu-tahu telapak tangan raja menghantam keras dagu si pemegang golok, memaksa tubuhnya terhempas, melenyapkan kesadarannya.

Setelah menarik napas, Raja mendatangi Daru, yang kini cuma mematung dengan tatapan kosong, tak lagi mengalirkan air mata. Sang pemimpin Narekta berjongkok, memajang senyum lebar.

“Sudah tidak apa-apa,” ucapnya lembut.

Layaknya anak kecil seharusnya, tangis Daru kembali meledak. Ia masih tak mengerti. Mengapa dirinya mengalami hal seperti ini? Mengapa ayah-ibunya tak ada untuknya sekarang? Apa yang bisa dia lakukan sendiri tanpa mereka?

Raja mengangkat tubuh Daru, menggendongnya seperti anak sendiri, mengelus punggungnya dengan lembut. Masih menangis keras, Daru dibawa raja meninggalkan tempat itu.

[1] Sejenis kemeja pria resmi dalam tradisi Jawa Mataraman.