Yang hilang tak benar benar pergi. Mereka hanya menepi pada bagian terdalam memori.
****
Saat tiba tiba suatu hal muncul mendadak dalam kepala sera. Sera tidak tahu itu ingatan yang mana sebab dirinya merasa asing. Dia merasa melihat ibunya sedang menangisi dirinya dengan wajah lelah yang tampak amat kurus. Dia juga melihat ayahnya yang juga menatap iba kearahnya.
"Seraa.. seraa.. anak ku..."
Banyak yang bilang bahwa hati dan akal tak pernah bisa sejalan. Namun, tahukah kau bahwa seharusnya akal melandaskan segala pemikirannya dari hati. Agar kau tak tersesat jauh sekali. Agar kau tahu bahwa kau melangkah terlalu berani.
Hati juga tidak bisa dijadikan patokan terhadap hal hal penting yang semestinya kau fikirkan. Karena hati tidak pernah mengubris sebab-akibat. Dia suci. Dia berbelas kasih.
Alangkah buruknya jika manusia terlalu mengandalkan otaknya. Lalu, menghitamkan hatinya. Sehingga hitamlah juga otaknya yang ia rasa gemilang itu. Maka semua yang melihat orang tersebut merasa bahwa dia bukan manusia. Dia hanya makhluk berwujud orang yang berakal busuk.
tuhan tidak pernah mengutuk hambanya. Dia penuh belas dan kasih bahkan jika kau menghitamkan namanya. Namun, lagi lagi. Manusia tidak mau mengubris itu. Manusia dengan hati dan akal yang hitam, Dia akan merasa bahwa dirinya lebih dari siapapun dan merasa tinggi. Lupa pada batas yang maha tinggi. hingga diri dibawa terbang jauh sekali. Tak tahu bahwa akhirnya akan jatuh dan mati.
Sera masih terhuyung huyung seraya berdiri. Tubuhnya merasa tidak enak sekali setelah memasuki kabut hijau tebal dan menembusnya. Matanya masih ia picingkan, menahan pusing yang ada dikepalanya. Dirinya tidak sadar bahwa ini adalah hal yang paling kuat yang tubuhnya rasakan setelah dirinya mati.
Dia terlalu fokus pada rasa pusing dan dengingan kepalanya. Dia tidak sadar bahwa apa yang tengah ia halau kuat kuat adalah sebuah pertanda dari jawaban yang ia cari cari. Sera memang seperti itu. Bukan, manusia memang seperti itu.
"Sera?" Sebuah suara yang tadi menyapanya kini kembali bersuara.
Sementara sera masih tidak bergeming, wajahnya masih mengernyit tidak enak.
"Sera? Kau baik baik saja nak?" Tanya nya lagi.
Sera bersusah payah membuka matanya. Dengingan telinga dan rasa pusingnya sudah sedikit berkurang.
Namun, perutnya masih merasa mual.
Seseorang tersebut terkekeh melihat wajah sera yang berekspresi aneh.
"Kau berlebihan sekali. Itu hanya kabut tipis nak" ujar seseorang tersebut.
"Sebentar.." sera mengeluarkan suaranya susah payah. Dia mengangkat tanganya kearah depan untuk memberi tanda bahwa dia butuh waktu sebentar lagi.
"Hehehe.. silahkan. Waktu tidak dibutuhkan disini. Jadi, ya.. santai saja." Balas suara tersebut.
Sera masih susah payah menyesuaikan tubuhnya. Dia bersumpah untuk tidak akan pernah memasuki kabut apapun didunia antah berantah ini lagi. Rasanya benar benar seperti saat menaiki wahana roller coster didunia. Mual, pusing, ingin muntah, ditambah dengingan ditelinga yang amat menganggu serta sengatan sengatan kecil yang bukan hanya ditelapak kakinya. Namun,diseluruh tubuhnya.
"Kabut itu, benar benar menelanku" ujar sera akhirnya. Dia kemudian bisa melihat dengan baik setelah beberapa lama. Dan dirinya terkejut. Mendapati der yang tampak sangat berbeda dihadapanya.
"Hahaha.. kau benar benar berlebihan. Itu hanya kabut tipis biasa. Murid lain bahkan terbang melewati kabut itu nak" jelas der tertawa.
"Kau! Astaga, kau der?! Beda sekali!" Sera berujar antusias melihat der yang kini berlagak bak seorang model.
Der terlihat sangat menawan dengan
Pakaian putih bersih berupa jubah. Panjang jubah tersebut hanya hingga betisnya. Ukiran ukiran dengan benang emas menghiasi sisi tepi tiap jubahnya. Sabuk yang juga terbuat dari emas dengan beberapa batu zamrud yang tertanam ditengahnya melingkari pinggang der.
Dia kini juga memakai sebuah sendal yang bertali banyak dengan panjang hingga mata kaki. Sebuah gelang perak melilit kedua lenganya.
Tak hanya pakaian dan aksesoris yang merubah penampilan pria tua tersebut. Wajah der juga tampak berubah. Dirinya sedikit kelihatan lebih tua dari terakhir yang ia lihat. kerutan kerutan diwajahnya kian bertambah. Matanya terlihat lebih sayu dan tidak fokus. Dan, saat ia berbicara tadi. Suaranya terdengar lebih lemah dan serak.
"Bagaimana, kau kagum dengan penampilan ku?" Der berujar sekaligus bergaya.
"Sedikit. Aku suka dengan kau yang
Sebelum ini. Kau telihat lebih.. tua" ujar sera.
"Kau benar benar murid kurang ajar. Aku ini gurumu nak!" Sahut der ketus.
"Aku hanya berpendapat. Kan kau yang tadi bertanya. Harusnya kau bangga, aku murid mu yang jujur" balas sera tak mau kalah.
Der terlihat sebal dan memalingkan wajah. Sera juga demikian. Namun, wajahnya berubah ketika pandangannya tak lagi menemukan kabut tebal hijau yang tadi ia tembus susah payah.
"Aneh," sera mengernyit. "Kabutnya hilang" ujar sera seraya menunjuk arah dimana kabut tersebut tadi berada.
"Kabutnya bukan hilang. Semua yang sudah menembusnya tidak akan bisa melihat kabut itu lagi dari daerah yang sudah disebrangi" jelas der.
"Aku tidak akan melewati kabut apapun lagi. Kabut itu membuat tubuhku merasa aneh" ujar sera bergidik.
"Memangnya kau merasa seperti apa? Murid yang lain tidak bereaksi seperti mu" ujar der.
"Kepala ku pusing dan kupingku berdenging. Seluruh tubuhku seperti kena sengatan listrik kecil. Dan,.." sera berhenti. Dia tidak melanjutkan.
"Dan..?" Der bertanya.
"Tidak. Hanya itu saja" kilah sera.
Sera melihat ekspresi der yang sedikit aneh ketika mendengar penuturan dari sera. Der telihat Susah payah mengendalikan raut wajahnya.
"Itu mungkin karena kau yang paling akhir melewati kabut diperiode ini."
"Maksudmu itu hukuman keterlambatan ku?" Tanya sera.
"Semacam itu." Ujar der seraya mengangguk.
"Bahkan didunia yang seperti ini pun hukuman keterlambatan tetap saja ada. Menyebalkan" sera berujar kesal dan melipatkan tangan.
Der mendelik. "Yang salah tetap harus diadili. Kau memang pantas untuk hukuman itu. Kau kan suka sekali mengeluh dan keras kepala. Satu lagi, kau akan melewati jembatan demi jembatan serta kabut demi kabut setelah ini. Jangan berekspresi sepertu itu. Kau akan terbiasa melewatinya" jelas der kemudian berjalan berbalik.
Sera memasang wajah putus asa mendengar jawaban der mengenai dia yang akan terus menembus kabut dan jembatan. Wajahnya seperti tidak terima sekaligus trauma. Sera mengikuti der berjalan. Kabut tipis masih menyelimuti mereka sehingga membatasi jarak pandang, dan membuat sera belum bisa melihat jelas bagaimana dataran baru yang kini dipijaknya.
Mereka berjalan beberapa lama dengan keadaan saling diam. Der dengan pikirannya sendiri. Dan sera dengan ketidak inginannya untuk melewati kabut lagi. Dirinya masih benar benar belum bisa menerima fakata tersebut. Dirinya benar benar tidak ingin merasa mual dan pusing lagi.
Der sesekali melihat kebelakang. Memantau sera bahwa dia mengikutinya.
"Cepat nak. Jangan menunduk seperti itu. Kau seperti sedang menggerutu" der berujar dari depan.
"Ya ampun. Belum mengajar ku kau sudah bawel sekali mengatur ku untuk ini itu" balas sera.
"Kau lamban sekali. Sudah terlambat dan lamban. Pembelajaran dan pelatihan sudah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu. Kau nanti akan benar benar tertinggal."
"Iyaa.. iyaa.. baiklah" sera menurut. Kini dirinya sudah berada disebelah der.
"Wanita cantik yang terakhir berbicara dengan kita itu bilang bahwa kau adalah guruku. Untuk aku bisa naik level. Bisa kau jelaskan maksudnya? Aku belum sepenuhnya mengerti" sera bertanya memecahkan keheningan mereka.
"Didataran ini. Semua yang sudah mati akan menyebrang ketanah mulia. Sebelum menyebrang, mereka mereka itu akan menjadi murid dan melewati tingkat demi tingkat hingga dataran level sepuluh. Semua murid memeliki guru untuk membimbing mereka. Dan kau adalah muridku. Aku gurumu" ujar der menunjuk dirinya seraya menjelaskan bahwa dirinya ada guru sera.
"Tanah mulia itu, surga maksud mu?" Tanya sera.
"Iya. Manusia manusia yang masih hidup menyebut tempat tanah mulai sebagai surga."
"Lalu, bagaimana dengan guru guru yang mengajar? Apakah mereka juga akan bisa pergi ke tanah mulja?" Tanya sera lagi.
"Tentu. Setiap guru yang berhasil mendidik anak muridnya hingga naik ke level yang lebih tinggi. Guru tersebut akan juga naik level dengan sendirinya"
"Bagaimana jika gagal?"
"Sejauh ini belum ada yang gagal. Tapi, setahuku. Semua murid harus bisa melewati ujian tiap tingkatnya. Dan jika ada yang gagal. Ya.. dia akan tetap tinggal didataran tersebut. Sampai dirinya benar benar bisa melewati ujian itu" jelas der.
"Begitu.. lalu, kenapa kau bisa menjadi guruku? Maksud ku. Kita kan sama sama terdampar didataran gersang sebelum ini"
Pertanyaan sera membuat langkah kaki der berhenti. Dia menoleh pada sera. Wajahnya mengeluarkan ekspresi yang membuat sera tidak mengerti sekaligus curiga.
"Kan sudah ku bilang. Kau itu tidak ada penjamin. Makanya kau tidak memiliki tanda untuk menemukan jembatanmu. Aku," der menunjuk diri sendiri. "Aku menjadi penjamin mu. Menjadi gurumu. Makanya setelah itu kau baru bisa memiliki tanda dan menyebrang ke dataran level pertama." Ujarnya. Dia kemudian kembali berjalan. Meninggalkan sera yang tengah menatapnya dengan raut wajah tidak percaya.
"Semudah itu menjadi penjamin?" Tanya nya lagi seraya berjalan menyusul der.
"Hahh.. kenapa kau menjadu bawel dan tidak semenyenangkan ini nak? Pertanyaan mu itu sangat tidak penting. Ditanah ini, misi semua orang ada ketanah mulia. Dan mereka akan banyak berlatih. Bukan banyak bertanya seperti ini" kata der tidak suka.
Apa salahnya bertanya sih? Lagian, pertanyaan itu sangat penting untukku! Kata sera dalam hati.
"Baiklaah.. aku tidak akan bertanya padamu tentang apapun lagi. Aku akan mencari tau sendiri" sahut sera ketus.
"Aku ragu dengan itu" jawab der.
Mereka terus berjalan, untuk beberapa waktu lagi. Sera dan der berjalan dalam hening dan berjarak setelah pembicaraan mereka yang terakhir. Sera yang masih kesal sesekali menggerutu.
Langkah mereka akhirnya berhenti. Dihadapan keduanya kini terdapat sebuah pohon tua besar yang daun daunya tidak kelihatan. Hanya ranting ranting rapuh bercabang berwarna hitam. Batanya pohon tersebut terlihat seperti hangus terbakar. Anehnya, pohon pohon ini memiliki banyak sekali akar gantung yang terjulur meliuk liuk kearah tanah. Akar akar gantung tersebut tumbuh subur dan sehat dan menutup rapat.
Der menoleh kepada sera. Melihat sera yang tengah memandang pohon tersebut tidak suka.
"Nah nak. Dataran level pertama ada dibalik tirai akar akar ini. Begitu kita menyibak tirai dan masuk kedalamnya. Kau sudah resmi menjadi pejuang tanah mulia. Kau siap?" Tanya der seraya mengulurkan tangan kearah akar akar tersebut.
Sera masih memandang kearah akar akar tersebut. Dia merasa gugup dan cemas hingga ingin menangis.
"Aku akan menyibak akar akar ini setelah kau berujar siap sera. Kita memang tidak membutuhkan waktu tapi setidaknya lebih cepat akan semakin baik" der mengingatkan.
Sera menatap der dengan wajah terpaksa yang teramat tidak enak dilihat. Dia tersenyum getir.
"Aku tidak pernah menyangka akan menghadapi hal ini sendiri. Dan diumur yang tidak cukup besar" ujar sera.
"Semua orang akan menghadapi ini nak. Kau hanya dianugrahi untuk lebih cepat saja"
Sera menghela nafasnya. Dia tidak bisa lari dari ini bukan? Dia sudah mati dan tidak akan hidup lagi.
"Bagaimana? Kau sudah siap?" Tanya der lagi.
Sera kali ini mengangguk. Wajahnya datar dan terlihat sangat amat terpaksa.
"Siap tidak siap. Aku tidak punya pilihan lain der." Sahut sera.
Der mengangguk, kemudian membuka tirai akar gantung yang menjadi gerbang masuk mereka. Silau cahaya yang teramat terang menerpa wajah keduanya setelah tirai benar benar disibak. Sera dan der menyipit, dan melangkah masuk menuju dataran level pertama dibaliknya.
****
jangan lupa vote dan comment.
selamat membaca!
salam, Alfa ;)