1 Episode 1

jangan terlalu tergesa gesa, santai saja dulu. nikmati semuanya. karna kau tak akan tahu, bisa saja ini hari terakhirmu.

****

Hujan gerimis sudah turun membasahi kota sejak pagi. Awan hitam berat yang gelap berarak arak menaungi kota dengan seram dan jahanam. kesiur angin disertai kilat tampak berlomba lomba adu kehebatan untuk menunjukkan kekuatanya. Air yang turun sangat meraja memenuhi segala tempat. Dinding Dinding bangunan terlihat lembab dibeberapa sisi karena air yang menyeruak mencoba untuk menembus lapisan Dinding batu.

Pepohonan semakin melambai lambai mengikuti arah angin yang menyerbu menyapu. Lubang lubang dan saluran air panjang dan dalam tak lagi kuat menampung air yang turun dengan brutal. Burung burung tampak gusar, berlindung merapatkan diri dari tempias yang kian berani. Semut semut sudah jauh pergi lebih dalam mencari aman, dari kemungkinan mati terseret arus yang mendominasi.

Tak ada yang ingin dan berani keluar dari rumah rumah besar ataupun kecil. Semua orang merapatkan diri mencari kenyamanan dibalik selimut tebal nan hangat. Suara dentingan air yang beradu dengan atap atap rumah memanjakan telinga membuat siapa saja terlena dan kebanyakan sudah terbuai dalam arus mimpi.

Seorang anak perempuan tengah tenggelam dalam buku tebalnya di perpustakaan sentral kota. Bangunan yang dibangun tinggi dengan tiang tiang kokoh mengkilap dan atap tebal membuat suara hujan tak terdengar dari luar. Suasana perpustakaan sentral terlihat sepi pada hari dimana hujan tak kunjung berhenti. Penjaga perpustakaan yang sudah tua tampak mengantuk mengangguk angguk diatas meja kerjanya. Kaca mata minusnya terluncur turun dari hudungnya yang beberbentuk jambu.

Anak perempuan tadi benar benar tak sadar bahwa dirinya sudah duduk dilantai pualam beralas karpet beludru lembut sejak lima jam yang lalu. Mata hijaunya mengalir beraturan mengikuti tiap tiap kata yang tercetak dalam buku yang ada dipangkuanya. Kepala kecilnya menunduk fokus pada titik diatas paha. Sesekali dia membetulkan rambut kerinting panjang berwarna coklat tua yang menjuntai mempermainkannya yang tengah fokus membaca.

Bibir kecil ranum nya terlihat menukik keatas beberapa kali. Barangkali berimajinasi, mengenai kalimat kalimat yang terpampang dalam kertas coklat kusam dengan beberapa debu yang menempel diujung ujungnya. Dia tidak peduli pada lorong lorong perpustakaan yang sepi. Dia tidak peduli dengan perutnya yang berbunyi mintak diisi.

"Astaga, aku tidak menyangka sang bibi itu ternyata pengikut necromancer" ujarnya dalam hening perpustakaan yang mendominasi.

"Ah.. tapi pantas saja, dia sudah ditandai oleh penjahat gila itu sejak lahir" sambungnya.

Bunyi ketukan terdengar mengintrupsi. Sera, anak kecil yang sejak tadi sibuk dengan buku tebal menengadah melihat penjaga perpustakaan tua yang menatapnya malas.

"untung saja aku mendengar suara mu barusan nak. jika tidak, kau mungkin akan tertinggal disini hingga besok pagi" ujarnya.

Sera tersenyum kaku. "Maaf, apakah anda akan menutup perpustakaannya?" Sahut sera.

Sang pustakawati mengangguk membenarkan. Melihat itu, sera mendesah kecewa. Lambat lambat ia menutup buku yang ada dipangkuannya.

"Padahal aku masih ingin membaca buku ini" ujar sera kecewa.

Sang pustakawati tersenyum geli melihat raut wajah sera yang benar benar lucu itu.

"Besokkan perpustakaannya masih buka. Kau bisa kesini dan menududiki sudut kecil ini lagi. Memangnya, buku apasih yang kau baca?" Ujarnya penasaran.

Sera memperlihatkan buku tebal bersampul kulit yang telah usang ditangannya. Dia mengeja judul yang tertera pada sampul buku kepada pustakawati yang kini tengah menyipit berusaha membaca judul buku yang sudah samar.

"The New Necromancer" eja sera.

Sang pustakawati mengernyit bingung. Matanya berputar keatas, mengingat tentang buku yang tengah dibaca sera. Setaunya, selama dua puluh lima tahun ia menjaga pustaka sentral kota, dia tidak pernah melihat atau mengetahui tentang buku itu.

"Kau dapat dimana buku itu?" Tanya pustakawan.

"Aku menemukanya dirak misteri luar negri yang ada disudut terbawah sudut itu" sera menunjuk tempat yang ia sebutkan tadi.

"Begitu, tapi kenapa aku merasa tidak pernah melihat buku itu ya? Coba sini sebentar aku periksa dulu"

Sera menyerahkan buku tersebut kepada pustakawati. Selama semenit membolak balikan halamanya, pustakawati tak menemukan apapun yang bisa ia ingat akan buku ini. Dia akhirnya menyerah dan memberikan kembali buku tersebut kepada sera untuk ditaruh kedalam rak nya seperti semula.

Selesai meletekkan segala buku yang sudah ia keluarkan kedalam rak sesuai jenisnya, sera dan pustakawati berjalan menuju pintu keluar. Sera merasa bersyukur ketika pustakawati mendengar suaranya dari balik rak rak tinggi yang terletak dibagian tersudut pustaka. Sebab, hampir seluruh lampu di lorong lorong perputskaan sudah dimatikan.

Sera diam diam menghela nafasnya lega.

Namun, saat melewati jam dinding besar yang terpampang didekat pintu masuk membuat sera merasa heran karena waktu yang saat itu masih terlalu muda untuk menutup perpustakaan yang setahu dirinya, perpustakaan akan tutup pukul delapan malam. Sedangkan saat ini bahkan hari baru akan beranjak sore.

"Madam, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya sera.

"Tanya apa?" Jawab sang pustakawati

"Kenapa anda menutup perpustakaan cepat sekali? Setahu ku perpustakaan biasanya tutup pukul delapan. Apa ada masalah?" Sarah bertanya cepat.

"Hmm..,"dia melirik sera dari sudut matanya. "Masalahnya adalah, hujan turun terlampau deras hari ini. Aku takut tidak bisa pulang jika aku menutup pustaka seperti biasa. Air sudah naik beberapa senti" jelasnya.

"Diluar hujan? Wah, pantas saja sejak tadi aku merasa sangat nyaman" sahut sera.

"Memang asyik sekali membaca buku disaat hujan. Saat aku berumur seperti dirimu. Aku selalu memfavoritkan waktu hujan yang dipadu dengan buku" balasnya.

Sera mengangguk setuju.

Sesampai dilobi depan, kedua perempuan tersebut tampak gusar terhadap hujan yang disertai angin kencang. Keduanya terdiam cukup lama ketika setelah setengah jam menunggu, hujan tak kunjung reda.

sang pustakawati menoleh kearah sera.

"Nak, apa rumah mu jauh? Aku berencana akan menembus hujan saja. Kebetulan aku membawa payung, kita bisa berbagi hing-"

"Tidak usah madam," sera tersenyum sopan kearahnya. "Rumah ku tidak jauh, hanya lima blok dari sini. Madam duluan saja, tidak apa apa kok" sahut sera.

"Sebenarnya aku tak enak meninggalkan mu sendiri disini. Tapi rumah ku cukup jauh, aku harus segera pulang sebelum malam" balasnya.

Sera mengangguk yakin sebelum menjawab.

"Sungguh, tak apa madam. Lagi pula, aku ini masih muda. Bisa berlari kencang walaupu dalam hujan " ujarnya diselingi tawa.

"Yasudah kalau begitu. Aku duluan, lebih baik jika kau pulang juga sekarang. Sepertinya hujan tidak akan reda hingga besok pagi" sang pustakawati mengembangkan payungnya.

"Aku akan menunggu setengah jam lagi, jika tidak juga reda apa boleh buat. Aku akan pulang menembus hujan"

"Baiklah. Aku pergi, jaga dirimu nak." Pustakwati berjalan dibawah payung menembus hujan yang semakin lebat.

Sera menengadah, melihat langit gelap yang tak kunjung menghilang. Tumpahan air dari atas malah semakin besar dan rapat. Sera berdecak saat tempias air mengenai ujung celananya basah.

"Haduh.. kalau begini aku benar benar harus berlari pulang kerumah" ujar sera kesal.

Sudah lewat setengah jam sera berdiri dilobi depan perpustakaan yang sepi. Dan seperti dugaan sang pustakawati, hujan memang tidak berhenti bahkan tidak juga berkurang. Sera memutuskan untuk menembus hujan seperti rencana awalnya.

Dia mengambil ancang ancang. Tas selempang kecil yang ada disisi bahunya ia peluk kuat kuat, kemudian dia menunduk dan lari sekencang mungkin dengan tangan yang melindungi sisi atas kepalanya dari air hujan.

Merasa tidak ada gunanya ia meletakkan tangan diatas kepala sebab kepalanya tetap basah, sera akhirnya benar benar membiarkan air hujan menghujam penuh kepalanya. Dia baru saja melewati satu blok namun dirinya sudah benar benar basah kuyup.

Sera berhenti diteras sebuah swalayan untuk mengatur nafasnya. Kepalanya mulai pusing akibat air hujan yang mentotok kepalanya dengan cara mengeroyok. Ditekan tekan pelipisnya pelan untuk menghilangkan denyut dikepalanya.

Hari sudah mulai malam. Lampu lampu jalan sudah mulai menyala disepanjang jalan yang sepi kendaraan. Sera kembali berlari ditengah tengah air yang menghujam tubuhnya tanpa ampun. Dinginya air hujan beserta angin yang lewat dengan ribut membuat sera mengigil dan mengumpati waktunya saat itu.

Dia akhirnya tiba diperempatan jalan yang sepi. Karena jalan saat itu benar benar tidak dilalui kendaraan, sera yang ingin cepat sampai kerumah berlari saja melewati perempatan tanpa melihat lihat.

Hingga saat hampir didekat trotoar seberang, sebuah truk besar pengangkut limbah melaju dengan kencang menghantam tubuh mungilnya kuat.

Sera terpelanting keatas. tubuhnya mengambang beberapa detik hingga akhirnya jatuh terhempas dengan keras diatas jalanan yang basah. Kepalanya menghatam lebih dahulu bagain tepi jalan sehingga membuat darah mengucur deras dari kepalanya, hidungnya dan juga telinga.

Sera tak bisa merasakan apa apa pada tubuhnya hingga menit menit saat orang orang yang melihat kejadian tersebut mengerubunginya dengan pandangan syok. dia juga tak dapat mendengar apa apa saat orang orang yang mengerubuninya bersorak sorak memanggil. Yang dia dengar hanyalah dengungan keras dan melengking yang membuat ia menangis.

Mobil ambulance datang dua menit setelah itu. Sera yang ajaibnya masih kuat menahan kesadaranya merasa benar benar akan mati saat dirinya diangkat keatas tandu. Dia ingin sekali berteriak agar mereka mengangkatnya pelan pelan. Namun yang bisa ia keluarkan hanyalah air mata yang terasa hangat diantara dinginya hujan .

Sekelebat bayangan ibunya muncul diingatan terakhir sera. Dia melihat dirinya dan sang ibu tengah bergelut manja sambil membuat hidangan untuk sang ayah yang sebentar lagi akan pulang bekerja. Sera semakin menangis saja saat ia merasakan dirinya mendadak tertarik menjauh dari sang ibu. Tanganya menggapai gapai, meminta sang ibu untuk menahan dirinya agar tak tertarik semakin jauh. Namun, ibunya hanya menggeleng dengan tangis yang menjadi jadi.

sadarlah ia bahwa hari ini adalah kematiannya. Sadarlah ia bahwa dirinya tidak akan selamat. Sera mendadak mengkhawatirkan dosa dosanya, dia belum sempat meminta maaf kepada ibunya, ayahnya, bibi sendi, paman jill, tetangganya dera dan guru yang selalu ia jahili disekolah.

Dia semakin menangis ketika teringat buku yang belum sempat ia tamati. Makanan yang belum sempat ia cicip, tempat tempat yang belum ia kunjungi dan masih banyak hal yang belum ia lakukan.

"Aku tidak ingin mati hari ini.." ujarnya menangis dalam hati. "Tolong siapa saja, selamatkan aku"

"Aku belum pernah makan satu ayam utuh.."

"Aku belum pernah memanjat pagar sekolah untuk bolos.."

"Aku ingin memeluk ibu lebih lama lagi.."

Tapi matanya semakin terasa berat. Nafasnya semakin sesak. Dan tubuhnya yang merasa teramat lelah. Didalam ambulance yang tengah melaju itu, sera memejamkan matanya.

****

jangan lupa vote dan comment untuk mendukung cerita ini.

salam, Alfa

avataravatar
Next chapter