webnovel

Senja - Keindahan Sementara Menuju Kegelapan

Seperti halnya arti senja bagi sebagian orang. Hidupku sangatlah indah bersama Papa dan Mama yang selalu mendukungku. Malaikat kecil yang selalu manja padaku. Teman-teman aneh di sekolah yang memaksa si pemalas sepertiku menjadi Ketua OSIS. Yah, hidupku sangatlah indah. Tapi semua itu hanya sementara, sama halnya dengan keindahan senja. Sejak ingatanku kembali, aku mengerti arti sesungguhnya senja bagiku. Itu adalah momen perpisahan tragis antara aku dan keluargaku. Dan itu kembali terulang.

Beebotime · Teen
Not enough ratings
132 Chs

Chapter 2 - Sniper vs Marksman

"Gila lu ken, baru kali ini ada siswa bawa sambutan di apel pagi." Seru Arvin dengan wajah kagumnya disertai tawa teman sekelas.

"Emang kalo soal mengkritik, Kenzie ini jagonya." Jesica menyikut lenganku

"Jadi kejutan apa lagi sebentar?" Arvin menyergah tidak sabar menunggu jawabanku.

"Gue nggak punya persiapan yang matang, berbeda dengan Rahel dia sudah menyiapkan jauh sebelumnya, sedangkan gue baru membuat visi dan misi sebelum berangkat kesekolah. Yah itu juga penyebab aku lambat." Aku mengerutkan kening. Sebenarnya sarapan pagi tadi yang membuatku telat.

Tampak kekaguman di wajah teman sekelasku atas sikap tenangku. Rasanya lucu melihat perbedaan aku dan Rahel yang sangat kontras.

"Rahel itu seperti marksman yang menggunakan senjata assault rifle, dia bisa menyerang dengan serbuan otomatis." Aku suka menganalogikan sesuatu, tapi terkadang nggak ada yang paham kalau aku sudah ngomong seperti ini.

Marksman adalah Seorang penembak jitu terlatih untuk menembak secara tepat dan akurat dengan menggunakan senapan tipe tertentu.

Assault rifle atau senapan serbu adalah senjata otomatis yang merupakan senjata laras panjang atau karabin yang berfungsi untuk menembak secara full-otomatis atau bisa memilih pilihan tembakan (selective-fire). Rahel tipe orang yang menghabiskan waktu menyiapkan rencana terperinci, dan siap menembak secara full jika kamu adalah lawannya.

"Sedangkan gue seperti sniper, tipe yang hanya sesekali menyerang dengan menunggu momentum yang tepat. Dan terkadang gue tidak menembak, hanya mengintai." Aku berbicara sambil melihat pemandangan di luar jendela.

Sniper menguasai teknik bersembunyi, ahli berkamuflase, keahlian pengintaian dan pengamatan. Sangat sesuai dengan aku yang kurang tertarik dengan tampil di depan seperti Rahel, sedangkan aku tipe yang suka mengamati saja.

"Lu ngomong apa sih, Ken?" Arvin menyengir dengan ocehanku.

Tapi ada satu orang yang mengerti maksudku, terpampang jelas di wajahnya. Sebenarnya aku tidak melihat wajahnya, hanya menebak dari sudut mulutnya. Dia adalah Farrel yang duduk di depan Arvin. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik bertanya padaku ataupun memberi pujian, tapi dia orang yang selalu mengerti ketika aku sudah mulai ngomong nggak jelas seperti sekarang.

Guru kami memasuki ruangan kelas. Kami kembali dengan rutinitas. Duduk pada bangku masing-masing untuk mendengar pelajaran hari ini. Biasa, jika pelajarannya hal yang baru dan menarik aku memperhatikan. Tapi jika pengulangan materi, yang hanya berbeda kasus, aku selalu tidak memperhatikan apa yang dibahas, walau mata ini terlihat mengamati. Sebenarnya aku sedang berimajinasi dengan fantasi dalam pikiran, mereka-reka akan sesuatu hal yang nyata seperti pidato dan debat kami, atau bisa juga hal-hal yang bersifat abstrak maupun tidak logis.

***

Bel istirahat berbunyi, 30 menit setelah ini akan ada penyampaian visi dan misi, serta debat antar calon Ketua OSIS.

"Ken, ayo ke kantin." Arvin mengajakku serta teman-teman yang lain.

"Sekalian bicara tentang strategi nanti." Matanya dibakar dengan api semangat, padahal Arvin bukanlah tipe pemikir.

Beberapa orang mulai beranjak ke kantin, aku bersama Arvin, Jesica dan Farrel. Sebenarnya Farrel itu teman baiknya Rahel, tapi dia tipe orang yang netral.

Saat di perjalanan kami melewati kelasnya Rahel. Mereka masih pada ngumpul dan tidak menuju kantin mungkin mereka fokus untuk bahas apa saja yang akan dibawakan Rahel sebentar. Aku tersenyum, mungkin kelasku lah yang paling santai. Santai atau tidak peduli, mungkin.

"Kalian pesan apa?" Tanya Arvin, sudah menjadi kebiasaannya untuk sekalian memesankan makanan kami.

"Gue nasi campur, pakai ikan dan telur." Sahutku.

"Gue sama, ikut calon pemimpin kita." Jesica memberikan senyum miring kepadaku, aku membalas dengan seringai miring.

"Lu Farrel?" Tanya Arvin.

"Mmm aku bakso." Sahutnya.

Arvin memesankan pesanan kami dan duduk di samping Farrel.

"Jadi apa rencanamu?" Arvin dengan wajah penuh semangat.

"Kayaknya kamu nggak punya rencana spesial." Tatapan mata konsisten selalu di perlihatkan Farrel ketika dia bertanya atau memastikan sesuatu.

Aku memutar bola mataku, "Yah sesuai tebakanmu."

"Berarti kita harus susun rencana sekarang?" Arvin terdengar khawatir.

"Tenang saja, nanti ada lampu yang muncul di kepalanya, Kenzie. Di saat dia terdesak." Jesica menepuk kepalaku.

"Visi-misi kamu?" Farrel tidak terpengaruh dengan obrolan di sekitar tapi fokus pada objek yang akan dibahas.

"Ini di catatan kecilku." Aku melemparkan catatanku ke tengah-tengah kami berempat "Kalian baca sendiri aja."

Arvin terkejut melihat catatanku, visi-misi yang kubuat tidak terkesan 'wow' atau spesial, tapi hanya biasa saja bahkan seperti tidak niat.

"Lu serius ini, Ken?" Arvin langsung menyergah, "Jangan bilang lu hanya jadikan ini bahan permainan, jika kita kalah dengan hal konyol seperti ini, lebih baik dari awal lu tidak mencalonkan." Ia tampak kesal.

Jesica terdiam, dia tidak ingin ganggu suasana Arvin yang kesal. Farrel juga diam tapi tidak kesal. Dia hanya ingin bertanya itu saja dan selesai.

"Dari awal gue nggak niat ikut ini. Kalian yang maksa kan? Tapi ingat satu hal, gue tidak pernah berniat untuk kalah. Jadi lu nggak perlu kesal seperti itu, gue tidak akan bertingkah konyol kok, walau persiapanku hanya sebatas ini."

Arvin tetap tampak kesal.

"Permisi ya, ini dek pesanannya." Mbak kantin mengantarkan pesanan kami di meja.

"Terima kasih Mbak." Jesica mengatur pesanan kami.

"Ayo kita makan dulu. Soal nanti, percayakan saja sama Kenzie. Karena yang bertarung kan dia." Jesica mencoba mengatur suasana.

***

"Selamat datang teman-teman di acara penyampaian visi-misi calon ketua OSIS kita, sebentar lagi acara akan dimulai.

Dimohon untuk calon ketua OSIS duduk di tempat yang telah disediakan." Seren Aletha, dia adalah ketua panitia pemilihan umum ini. Dia berbeda kelas dengan aku dan Rahel, sosoknya dianggap pantas sebagai ketua panitia karena tidak satu kelas dengan calon ketua OSIS dan juga dikenal sebagai sosok yang tegas.

"Sebelum acara penyampaian visi dan misi calon Ketua OSIS, mari kita dengarkan sambutan dari Ketua OSIS sebelumnya."

"Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Sejahtera untuk kita semua. Hari ini adalah hari penting untuk kita semua, karena kita akan memilih pemimpin untuk para siswa di sekolah ini. Perlu diketahui bahwa OSIS sebagai titik sentral untuk semua organisasi dalam sekolah. Semoga teman-teman sekalian memilih pemimpin yang bisa adil untuk semua, karena dampak kepemimpinannya akan dirasakan oleh teman-teman sendiri." Ketua OSIS sebelumnya Rendi, menyampaikan sambutan dengan wajah yang santai. Aku kurang menyukai kepemimpinannya, terlalu kaku dan membuat OSIS bersifat eksklusif. Tidak memiliki terobosan baru, hanya melakukan rutinitas biasa. Bahkan dia terlalu menuruti keinginan guru dalam membuat peraturan. Di sekolah kami ini dalam membuat peraturan baru, selalu mengajak OSIS. Karena OSIS adalah organisasi siswa tertinggi di sini, maka mereka dapat dikatakan sebagai wakil semua siswa. Sehingga peraturan-peraturan baru di sekolah dianggap sesuai kesepakatan bersama oleh siswa dan guru-guru. Yah bagus kalau OSISnya merepresentasikan apa yang diinginkan semua siswa, tapi kalau tidak, gimana? Itu juga yang mendorong teman-temanku agar OSIS di angkatan kami tidak dikuasai oleh siswa-siswa penurut.

"Carilah pemimpin yang dapat mengayomi semua, agar kebutuhan semua siswa di sekolah kita dapat terpenuhi. Seperti Organisasi Ekstrakurikuler yang baru maupun lama dapat terbentuk sesuai kebutuhan siswa." Kenapa pidatonya bertentangan dengan cara kepemimpinannya. Aku menyeringai dan tertawa dalam hati, ini pidato bersifat antonim dengan kenyataan di lapangan. Tapi aku tidak peduli semua itu, tujuanku simple, tidak tinggi, hanya ingin agar tidak dipimpin orang yang akan membuat peraturan makin ketat, makin menyulitkan siswa. Aku tau sifat Rahel, dia bisa membuat kita seperti di penjara, alasan Pak Raka menyukainya mungkin karena itu. Bisa lebih mendisiplinkan siswa mulai dari pakaian, rambut dan lain-lain.

"Dan saya harap siapapun yang terpilih bisa lebih baik dari kepengurusan saya. Demikian sambutan saya terima kasih."

"Terima kasih buat sambutan dari ketua OSIS sebelumnya saat ini kita akan menunggu selama 10 menit, sebelum masuk pada acara. Untuk calon ketua OSIS diharapkan melakukan persiapan." Seren duduk di kursi dan melihat ke arahku, aku sempat bertanya dalam hati, apa maksud tatapannya ini. Ternyata dia hanya sekedar melihatku tanpa maksud apa-apa, karena setelah itu dia melihat ke arah Rahel.

Berselang waktu semenit, Rahel keluar dari ruangan, dan Farrel juga ikut keluar ruangan. Aku sebenarnya tidak tahu posisi Farrel, apakah dia mendukungku ataukah Rahel? Karena Rahel sendiri adalah teman baiknya. Apakah mereka sedang berbicara di luar atau hanya kebetulan ingin ke toilet? Yah aku nggak tahu.

Aku sedikit terkejut dengan pukulan Jesica di bahuku, "Calon pemimpin kita nggak gugup kan?"

"Jangankan gugup, untuk pidato bentar saja, aku nggak tau mau ngomong apa." Aku memberi seringai miring.

"Lu yakin, Ken? Dengan visi-misi kamu yang di catatan tersebut?" Arvin mengernyitkan wajahnya.

"Yah sederhana saja sih, sebenarnya visi dan misiku lebih fokus kepada kebebasan semua siswa dalam berkreasi dan mengemukakan pendapat. Gue juga bosan dengan sistem belajar di sekolah kita yang monoton. Tapi untuk memenuhi visi-misiku itu lumayan rumit. Makanya saat ini gue lagi riset tentang sistem pendidikan di Finlandia."

"Lu gila ya Ken, mana bisa ubah yang begituan." Arvin terkejut dengan perkataanku tadi.

"Gue serius, tapi gue nggak tahu apakah itu bisa kita capai jika terpilih nanti. Mmmm dan tujuan utamaku itu tidak akan gue sampaikan sebentar kok." Wajahku berseri-seri, membayangkan apa yang akan kukatakan nanti.

Jesica tampak cerah setelah mendengar ucapanku, entah itu ekspresi atas tujuanku, atau hanya ekspresi karena aku serius untuk mencalonkan.

"Oh jadi lu bingung mau pidato apa, karena lu nggak akan bilang tujuanmu itu?" Arvin mulai mengerti maksudku.

"Tapi yang di catatanmu itu?" Rasa cemas terlukis di wajah Arvin.

"Itu hanya jaga-jaga kalau gue tiba-tiba jadi bego di panggung." Aku tertawa.

Rahel kembali ke ruangan disusul dengan Farrel, kayaknya mereka memang sedang ngobrol sesuatu, tapi aku gak enak nanya ke dia. "Ehm Habis ngobrol sama Rahel ya kamu?" Jesica memecah keheningan dengan bertanya seperti itu, nada menggodanya dan sifat dari Jesica membuat pertanyaan itu terkesan ringan tanpa maksud mencurigai.

"Iya, Aku nggak bilang apa-apa tentang visi-misi maupun rencana dari kita, yah karena memang kita juga nggak tahu apa-apa." Mulutnya melengkung membentuk senyuman "Tapi aku hanya memberitahukan penilaianku tentang Kenzie."

-------------------------------------***------------------------------------

"Kenzie itu serius apa gak sih?" Tanya Rahel ke Farrel.

"Aku bingung mau jawab serius atau tidak." Jawab Farrel.

"Penilaianmu sendiri terhadapnya gimana? Kan kamu sekelas dengan dia, Aku nggak bermaksud untuk mencari tau informasi tentang persiapannya. Yang ingin ku tau hanya tentang keseriusan lawanku." Wajah Rahel tampak kesal.

"Kalau soal serius atau nggak, aku kurang tau. Tapi soal penilaianku terhadapnya dalam pencalonan ini sederhana." Farrel tampak diam sejenak. "Kenzie tidak berniat untuk menang, tapi dia juga tidak ingin kalah. Itulah yang membuat Kenzie sangat sulit untuk kamu kalahkan." Alis Farrel tersentak bersama-sama.

"Apa? Apa maksudmu itu membuat dia sulit dikalahkan?" Rahel bingung dengan pernyataan Farrel.

"Aku mengerti apa yang kamu pikirkan. Wajarnya, orang yang bertekad menang lebih kuat, bukan? Memang tak ada yang salah dengan itu, tapi dengan bertekad seperti itu membuatmu mudah ditebak. Itu sering terjadi. Sedangkan Kenzie, pergerakannya sulit untuk ditebak." Farrel menyentuh hidung Rahel tanda ejekan. "Kalian berdua temanku, jadi bagiku tidak penting siapa yang akan menang."