webnovel

Bab 1 - Senandika Hujan

Siang itu panas terlalu terik, tetapi ia munafik. Menjatuhkan air matanya membasahi lapangan. Seragam olahraga super besar yang menenggelamkan tubuh lenjangnya mulai dihiasi noda air. Rambut jagung—cokelat kemerahan—diikatnya dengan karet gelang.

Seorang gadis tomboi berpotongan rambut sebahu yang diikat setengah membawa bola basket ke tengah lapangan. Dari kejauhan tampak gadis cantik yang berdiri menatap wajah langit sambil mengusap-usap seragamnya yang basah. “Rea, mending kamu masuk kelas. Hujan, nanti kamu sakit!” San—gadis yang kini menggiring bola basket hingga membobol ring di atas kepalanya itu berteriak pada si gadis di seberang. Dia Renjani Amartisya.

“Rea!” panggil San lagi.

“Iya, iya!” Si empunya nama lari terbirit-birit. Sementara San masih sibuk dengan bola di tangannya.

Waktu terus berlalu, hujan pun turun semakin deras. Mau tidak mau San harus kembali kelas. Tampak Rea tengah duduk menatap jendela bersama bulir hujan yang berjatuhan. Kelas hari ini tidak terlalu ramai, sebab anak-anak tengah sibuk dengan dunia masing-masing. San ikut duduk, mendaratkan kepalanya pada bahu Rea. Bola basket di tangannya jatuh, menggelinding hingga membentur meja depan.

“Rea kamu pernah jatuh cinta nggak?”

“Pernah.”

“Sama siapa? Cowok ganteng yang lebih ganteng dari aku?” San tertawa. Wajah cantik itu tampak maskulin, potongannya yang tegas memberi kesan tampan. Meski di satu sisi bisa jadi begitu cantik adanya. San yang khas dengan predikat model androgini—ia yang maskulin dan feminin secara bersamaan.

“Seseorang yang mungkin orang tuanya akan marah padaku atau padanya.”

San hanya tertawa, gadis itu beranjak dari kursinya. Tangan San memungut bola basket, keluar gadis itu dari kelas meninggalkan Rea yang memandang punggungnya.

Harus San akui, Rea begitu cantik. Dia layak mendapatkan apa yang dirinya inginkan. Meski ada perasaan lain yang timbul dari pengakuan kecilnya tersebut. Khas yang timbul entah sejak kapan; yang pasti San sendiri tak tahu apa itu. San masih mencoba merenungkannya sebagai seorang wanita utuh. Meski gejolaknya memaksa untuk bersikap. San mencintai Rea, lebih dari apa pun yang ada.

Rea masih asyik mengamati hujan di langit, sementara jendela sudah semakin penuh dengan bulirnya. San di koridor tengah menikmati angin yang dingin, seragam olahraganya mulai basah di bagian lengan sebab tak terhalang langit-langit, tetapi langkahnya tetap tak berhenti. Tampak gadis tomboi itu menoleh pada jendela kelas yang dihiasi bulir air hujan juga siluet wajah Rea yang cantik. Kinerja seluruh syaraf dalam tubuh San tidak karuan ia bekerja.

Senandika Purnama, nama yang melekat dalam diri San sejak lahir. Nama yang Paman Atma berikan sebab kedua orang tua San tewas ketika hendak pergi ke rumah sakit guna persalinan. Beruntungnya, Tuhan masih berbaik hati menyelamatkan San, menjadikannya anak asuh Atma si bujang kolot yang begitu tergila-gila pada lukisan dan nirmana.

Senandika, ia berarti pengungkapan perasaan seorang tokoh dalam sebuah wacana guna diperdengarkan atau diperlihatkan pada orang-orang. Senandika dari nama San adalah perasaan yang nyata dari si empunya jiwa agar orang-orang bisa menerimanya dengan baik. San, ia yang apa adanya. Sementara Purnama diambil dari bulan yang saat itu menaungi.

San duduk memandang wajah Rea yang menjadi lock screen ponselnya. Wajah yang tak pernah murung, Rea yang cerewet dengan segala keingintahuannya, tetapi ia yang paling penyayang, ia yang paling baik dan ramah di mata San setelah Paman Atma. Rea yang menarik atensi dan cinta San setiap saatnya.

Rea di dalam kelas tengah duduk membaca novel setelah bosan memerhatikan bulir-bulir hujan yang memenuhi jendela. Seorang siswi laki-laki menghampiri. Ia Arbain Erwin, biasa disapa Abi.

“Pulang sekolah pulang sama aku, ya?!” ajak Abi terkesan memaksa, meski dirinya tersenyum manis.

“Aku pulang dengan San.”

“San terus. Kapan kamu membuka hati untuk aku, Rea? Sejak semester satu aku menantikan kamu dan ini udah semester akhir. Sebentar lagi kita lulus.”

“Aku nggak suka kamu, Bi. Lagi pula emang kenapa dengan San kalau aku selalu bersamanya?” balas Rea menatap tersinggung. Tangannya mengepal erat tatkala jemari Abi memasuki bilik-bilik jemarinya yang terkepal.

“San miskin sedangkan kita kaya raya. Nggak sebanding. Dia masuk sekolah karena beasiswa miskin.”

Rea menggebrak meja. “Abi, kamu benar-benar keterlaluan. Nggak ada orang miskin di dunia ini—”

“Mereka hanya kekurangan, ‘kan?”

Rea naik pitam, tetapi tiba-tiba saja San muncul dengan tatapan mata dingin. Mendekati Rea, menarik tubuhnya keluar dari kelas. Arbain yang merasa diacuhkan menatap marah. Bibirnya komat-kamit mengumpat, tetapi San tidak peduli. Dibawa Rea menjauh dari suasana kelas yang pengap.

“Jangan pernah dengerin kata-kata orang, Rea. Itu nggak baik untuk kinerja jantung dan otakmu.” San memantul-mantulkan bola basket di tangannya ke batang pohon mangga yang berada tak jauh dari halaman belakang bangunan sekolah.

“Kamu paling istimewa, San.” Pujian itu membuat si empunya nama menoleh, wajah perpaduan cantik nan tampan itu membuat Rea bersemu merah jambu. Rea memalingkan wajahnya ke sembarang arah.“Apalagi lukisan dan nirmana yang kamu buat. Aku suka, San. Selalu menggetarkan hatiku,” ucap Rea dengan lirih. Tatapan dari bola matanya yang sayu menyendu membuat San tersenyum samar. Berdiri San di sebelah Rea yang menghadap langit sementara tangannya dijulurkan menjadi alas jatuhnya bulir hujan dari ranting pohon.

“Kenapa suka? Kan, kamu nggak suka seni? Kamu sukanya musik.” San menatap lekat-lekat wajah Rea yang masih bersemu merah jambu.

“Aku suka melukis, kok.”

“Masa?” goda San mendekatkan wajahnya pada wajah Rea.

“Ih udah ah, nggak seru!”

“Aku suka kamu kalau lagi nyanyi, Rea. Aku suka mencari suaramu di antara anak-anak paduan suara yang menyanyi, Rea.”

Pernyataan San menawan langkah Rea, gadis itu menoleh pada San yang berdiri berkacak pinggang dengan bola basket dikepit di tangan kiri. Bola mata San yang hitam sempurna begitu berbinar, ada kehangatan yang Rea tak dapatkan dari orang lain. Sesuatu yang membuat dadanya menyembulkan debaran bergemuruh. Pandangan sederhana yang misterius nan magis. Selalu menghipnotis Rea, membuat seluruh tubuhnya mati kutu.

“Tapi kalau kamu mau masuk sekolah seni, sih, nggak apa. Kalau aku lagi kekurangan uang bisa pinjam cat akrilik punyamu, atau minta kanvas sisa dari kamu,” seloroh San seraya melangkahi Rea, tangan kanan San yang kosong mendarat di pusat kepala Rea. Diacak-acak rambutnya jagung yang tebal itu dengan mesra.

Rea merasakan dadanya berdebar semakin brutal, memancing sesuatu di bawah jantung matanya berkedut. Rea segera melepaskan tangan San dari pusat kepalanya. “Siapa takut!” balas Rea sembari menjulurkan lidahnya mengejek San yang tersenyum tipis.

Di mata San, tindak tanduk Rea selalu menggelitik jiwanya. Munafik jika menolak rasa jatuh cinta itu. San tergila-gila pada hujan dan renyah tawanya. Rea berlari menyusuri koridor, tawanya yang lepas membuat San yang berjalan di belakang punggungnya bahagia. Mengamati bagaimana kaki lenjang Rea melangkah, rambut yang dikacaukan angin, sampai wajah yang tak berhenti berseri itu candu yang meresahkan. San berjalan seraya men-dribble bola basket hingga tak sadar ada seseorang yang memandang tak suka. Siapa lagi jika bukan Arbain Erwin, yang selalu memaksa agar Rea mau menjadi kekasihnya. Seseorang yang namanya San blacklist dari daftar laki-laki yang boleh mendekati Rea.