webnovel

Sempiternal Partner [Jungkook FF]

"Bersiaplah. Sebentar lagi jodohmu akan datang," "Apa maksudnya Ma?" "Kau akan segera dijodohkan" Mampus. Satu kata yang tersirat dalam benak Nala. Ia akan segera dijodohkan. Bahkan para tetua sekaligus nenek leluhurnya itu menggeleng tidak paham. Apakah lelaki yang dijodohkan itu sesuai dengan apa yang ia impikan? Bagaimana bisa seorang gadis indigo yang mempunyai bakat seperti orang pintar ini dijodohkan dengan seseorang yang bahkan dia dan bundanya sendiri tidak mengetahui jelas asal usul pria yang dijodohkan dengannya.

salshafm · Teen
Not enough ratings
12 Chs

bagian sembilan.

"Mari pak, bu, nak Heru. Silahkan masuk dan silahkan duduk dulu," ujar mama Nala mempersilahkan para tamunya untuk segera masuk.

"PAPAAAA!!!! teriak mama Nala dari arah ruang tamu, kemudian menyunggingkan senyuman manisnya kepada para tamunya.

"Mau minum apa pak? bu? Nak Heru?" ujar mama Nala menawarkan minuman.

"Ibunya ini, ibunya Nala kah?" tanya ibunya Heru.

"Iya bu. Saya mama-nya Nala," jawab mama Nala.

"Masih keliatan muda bu. Malah saya kira kakaknya Nala ibunya ini," ucap ibu Heru.

"Hahahaha, engga ah bu. Saya udah tua gini. Yasudah bapaknya udah dateng. Saya mau buatin kalian minuman dulu," ujar mamanya Nala kemudian pamit menuju dapur untuk menyiapkan minum.

"Waahh dah pada rapi. Gimana kabarnya, bapak? ibu? mas Heru?" ucap papanya Nala.

"Alhamdulillah pak. Kami semua baik-baik saja. Omong-omong bapak ni namanya siapa ya? Masa mau jadi besan kita ga saling memperkenalkan diri," ujar bapaknya Heru.

"Nama saya Eko Wahyudiono pak, panggil aja pak Wahyu. Bapak namanya siapa?" tanya pak Wahyu bergantian.

"Saya Syarif, nama lengkapnya Muhammad Syarif Zulfikri," jawab pak Syarif tertawa renyah setelah saling memperkenalkan diri satu sama lain.

Pak Wahyu menengok ke arah Heru yang menampakkan muka tegang dan seriusnya. Ia mengulas senyum manisnya dan menyapa ramah si Heru.

"Gimana perasaannya mas Heru?" tanya pak Wahyu.

Heru tersenyum canggung. Ia mencoba menetralisir perasaannya yang kini berdegup kencang tak karuan.

"Deg-degan pak," jawab Heru cengengesan.

"Sante ae mas. Hari ini kita cuma perkenalan aja sama tujuan mas dan keluarga mas datang kesini untuk apa," jelas pak Wahyu.

"Nggih pak. Daritadi kok dek Nala-nya ga keliatan ya pak?" tanya Heru celingak-celinguk mencari keberadaan Nala.

"Palingan masih di kamar, bentar lagi pasti turun kok,"

🐣

"Kak,"

"Hmm,"

"Kaaakk!"

"Apasih,"

"KAKAK SIALAND! BANGUN NJIR!"

BUGH!

"APESI YAAMPUNN," teriak Nala yang terbangun dengan wajah kesalnya.

Atha menatap tajam ke bilik mata Nala.

"Apa?" tanya Nala bingung.

"Udah ditungguin noh sama papa dibawah," ujar Atha.

Nala mengerlingkan matanya malas kemudian kembali lagi menjalankan aksi tidurnya.

"KAAAAKKK!" teriak Atha. Suaranya kini bisa terdengar sampai ke lantai bawah.

"APAAAA???!!!" teriak Nala tak kalah serunya.

"IH TAU AH!" ujar Atha sebal lalu menjejakkan kakinya pergi keluar dari kamar kakaknya.

"Apesih bocah gaje!" sungut Nala dengan kesal.

Nala melirik jam yang berada di atas kasurnya. Jam masih menunjukkan pukul 8 pagi, masih terlalu dini baginya untuk bangun dari kasurnya.

Ceklek

Pintu kamar terbuka. Mama Nala yang sudah berpakaian rapi membuat Nala mengernyitkan dahinya.

"Dah bangun kak?" tanya mama Nala.

"Kok rapi banget ma? Mau kemana emangnya?" tanya Nala balik.

"Lah. Kamu ga inget ini hari apa?"

"Eung? Jumat? .....??!" ujar Nala membalalakkan matanya lebar-lebar.

"Mandi sono. Anaknya udah nunggu dibawah tu," suruh mama Nala.

Nala bangun dengan cepat. Ia mengambil handuk beserta baju seadanya terlebih dahulu menuju kamar mandinya.

Sepuluh menit Nala mandi, ia keluar dengan keadaan segar. Meletakkan handuk di atas kasur dan segera duduk di meja belajarnya.

Nala mengambil kaca kecil dan pouch bag berisikan make up. Ia menyapu rambut bergelombangnya menggunakan sisir agar tampak terkesan rapi.

Nala membuka pouch bag miliknya. Dirasa perlengkapan dan peralatan make up nya terlalu banyak dan pemasangan yang berbelit, Nala lebih memilih make up natural saja.

Setelah selesai merias wajahnya, Nala menuju lemari pakaian. Ia memilih pakaian casual yang terkesan sopan menurutnya kemudian ia mengganti baju yang sekarang dipakainya dengan pakaian pilihannya.

🐣

Nala berjalan dengan anggun menghampiri keluarganya yang sudah berkumpul di ruang tamu.

Heru tertegun menatap kehadiran Nala yang berbeda. Nala kini jauh berbeda dengan Nala yang ia jumpai dua hari yang lalu.

Nala melontarkan senyuman manisnya kepada Heru dan kedua orang tua Heru. Heru membalas senyuman Nala dengan menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman.

"Maaf om tante, atas keterlambatan saya hadir disini," ujar Nala.

"Ini yang namanya mbak Nala?" tanya pak Syarif sambil menyunggingkan senyum ciri khasnya.

"Iyaa om," jawab Nala sopan.

"Jangan panggil om. Bentar lagi bapak sama ibu kan jadi orangtuamu juga. Panggil bapak sama ibu aja ya mbak Nala," ujar pak Syarif.

"I-iya pak," ujar Nala kikuk.

"Nala, bantuin mama sebentar sini. Mama kerepotan bawain ini semua," ujar mama Nala dari arah dapur.

Nala sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah pak Wahyu kemudian mendekatkan kepalanya ke arah telinga kanan pak Wahyu.

"Papa coba ngomong apa gitu kek ke mereka. Kan papa pinter basa-basi. Nala mau bantuin mama dulu ya pa," bisik Nala di depan telinga papa-nya.

Papa Nala memberikan jawaban 'ok' melalui jari tangannya. Nala bangkit dan tersenyum ramah kepada orang tua Heru.

"Saya mau bantuin mama saya dulu ya pak bu," ujar Nala mengambil ancang-ancang untuk segera pergi dari ruang tamu.

"Bentar. Saya mau ikutan bantuin dek," ucap Heru tiba-tiba membuat Nala terlonjak kaget.

"Y-ya?" tanya Nala bingung.

"Saya mau ikut bantuin juga. Ke dapur kan?" tanya Heru balik.

"Eh-eh? Masnya gausah ikut-ikutan!" seru Nala.

"Kenapa?"

"So-soalnya... tugasnya berat. Nah! Iya bener, berat banget. Mas Heru kan lagian juga sebagai tamu disini, ga ena dong moso bantuin urusan rumahnya kita. Dahlah sono gausah bantuin!"

"Justru karena berat itu saya mau bantuin kamu. Oiya, jangan anggap saya sebagai tamu dong, bentar lagi kan saya juga bagian dari keluarga kamu, apalagi nanti status saya jadi suami kamu," ujar Heru sambil mengedipkan sebelah matanya jahil lalu pergi mendahului Nala.

Mulut Nala menganga lebar mendengar tutur kata Heru. Pikirannya beradu dan debaran jantungnya semakin berdegup kencang.

Heru menghentikan langkahnya. Ia tidak mengetahui letak dapur berada dimana. Heru menoleh ke belakang menatap Nala yang tengah termenung ditempatnya.

"Dek, Dapurnya ke arah mana?" tanya Heru.

Nala tersadar dari lamunannya kemudian menatap canggung Heru yang tengah mengernyitkan dahinya bingung.

"Lurus aja dulu tros nanti ke kanan," jawab Nala.

"Oke," sahut Heru semangat lalu berjalan sesuai dengan arahan Nala menuju dapur.

🐣

Setelah Nala dan Heru membantu membawakan makanan dan minuman untuk dihidangkan di ruang tamu. Mereka kembali mengisi kekosongan waktu dengan menceritakan kehidupannya.

Tampak ketidak hadiran pak Wahyu saat mereka sedang sibuk menceritakan kehidupannya masing-masing. Nala menatap khawatir ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari keberadaan papanya.

"Ma, papa mana?" bisik Nala di kuping kiri mamanya.

Mama Nala hanya mengedikkan bahunya mengatakan 'tidak tahu'. Nala menaruh ke samping bantal yang sedari tadi berada di pahanya.

"Pak, bu. Nala izin cari papa sebentar ya," izin Nala.

Setelah mendapat anggukan izin dari semua orang yang hadir disitu, Nala segera mencari letak keberadaan papanya.

"Pa?" panggil Nala, tetapi tidak ada sahutan jawaban dari papanya.

"Pa??" panggil Nala lagi untuk kesekian kalinya.

Nala melangkahkan kakinya menuju sebuah taman kecil yang berada di belakang rumahnya. Lambat laun terdengar suara pak Wahyu yang tengah berbincang dengan seseorang.

"Pa-?" ucapan Nala terhenti ketika ia mendengar kalimat yang sebenarnya tidak ingin ia dengarkan.

"Iya mama sayang. Habis acara dirumahnya Nala selesai, nanti aku kesana kok... nginep? Tentu dong, kan aku harus momong si Sekar juga, ya pokoknya kamu sabar dulu nanti tunggu aku ya disana!"

Air mata Nala seketika berjatuhan mengenai pipi Nala. Hatinya mengatakan 'hancur' atas pondasi kokoh yang selama ini dibangunnya. Dikala hari setenang dan sebahagia ini, tak disangka akan mempunyai suatu kejadian buruk juga.

Nala tersenyum miring menatap punggung pak Wahyu sambil terus meneteskan air matanya.

"Pergilah sesuka hatimu, aku bahkan sudah terbiasa hidup tanpa seorang ayah!"