webnovel

Panik

Naira baru saja terbangun dari alam mimpinya. Dengan aturan nafas tersenggal-senggal tak karuan. Keringat bercucuran dari setiap bagian tubuh Naira.

"Kenapa mimpi itu datang kembali?"

Naira menangis di atas ranjang, tangannya mencengkram kuat-kuat sprei kasur. Naira mengacak-acak rambutnya. Bahkan Naira tidak segan-segan untuk berteriak sekencang-kencangnya.

"Aku benci mimpi itu!! Aku benci perpisahan, aku benci!!" Naira bergegas dari atas ranjang untuk segera berjalan menuju ke arah kamar mandi.

Rumah peninggalan kedua orang tua Naira itu bisa dibilang masih sederhana sehingga jika ingin ke kamar mandi, harus keluar dari kamar dulu. Namun tempat ini sangat nyaman ditinggali.

Naira menatap cermin yang ada di wastafel kamar mandi. Ia meratapi dengan sangat jelas setiap sudut wajahnya. Matanya bengkak, akibat terlalu banyak menangis tadi malam.

"Farel... Kenapa kamu tega ninggalin Aku sendirian di sini?"

Dengan tekanan yang kuat, hati Naira berdenyut lebih kencang dari biasanya. Ada rasa sesak dirasakan Naira.

"Kenapa kamu tega menghukumku dengan perpisahan yang tiada hentinya ini?"

Tangis Naira terus saja pecah. Tidak ada satu orang pun yang mengetahui masalah Naira saat ini. Bahkan di dalam rumah ini tidak ada orang lain selain Naira sendiri.

"Kenapa semuanya harus aku yang merasakan? Apakah Tuhan tidak kasihan kepadaku? Apakah dia tidak puas memisahkan aku dari orang-orang yang aku sayang?"

Tangisan Naira benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Mimpi itu terus mengusik tidur Naira, bahkan hampir setiap hari Naira bangun tidur selalu menangis seperti ini hanya gara-gara kejadian beberapa bulan lalu masuk ke dalam bunga tidurnya sebagai mimpi buruk.

Kejadian di mana Naira trauma dengan hal itu. Naira trauma dengan perpisahannya bersama Farel beberapa bulan lalu.

Naira sudah beberapa kali ingin melupakan kejadian itu, namun hasilnya nihil. Kejadian itu terus mengusik Naira, bahkan hampir setiap hari kejadian itu masuk ke dalam mimpi Naira.

"Argh!!"

Naira kesal dengan takdir yang ada. Ia benci semua orang sekarang. Bahkan bisa dibilang jika Naira enggan bertemu atau berkenalan dengan orang baru setelah ini. Naira trauma dengan perpisahan. Naira yakin jika dirinya bertemu dengan orang baru, tentu saja perpisahan cepat atau lambat akan datang menemuinya.

Naira menarik nafas dan menghembuskannya. Naira melakukan itu berulang-ulang kali agar hatinya bisa merasa ketenangan. Bahkan Naira berusaha menahan tangis untuk saat ini..

"Untuk apa aku menangis? Toh jika aku menangis semuanya tidak akan kembali kepadaku, lalu untuk apa aku membuang-buang air mataku?"

Ya, kata itu yang selalu digunakan Naira ketika ingin mendapatkan ketenangan. Ia berusaha menyadarkan dirinya dengan sebuah kata-kata itu.

Naira hanya berharap bahwa dirinya bisa hidup meskipun tanpa bantuan orang terdekat atau support dari orang tersayang. Naira hanya ingin dirinya berdiri sendiri dan menjalani hidup ini tanpa mengingat kembali masa-masa itu.

"Huft! Sepertinya aku harus siap-siap pergi ke kantor." Naira memilih untuk mandi agar bisa siap-siap pergi ke kantor.

Pagi yang cerah namun tidak dengan suasana hati Naira. Meskipun cuaca memperlihatkan keindahan di pagi hari, hati Naira masih saja tetap mendung tertutup bayangan masa lalu.

Setelah bersiap-siap, Naira hendak menuju ke dapur untuk memasak untuk dirinya sarapan. Namun setelah mendapatkan mimpi buruk itu membuat selera makannya menjadi hilang.

"Langsung berangkat ke kantor saja lah..." Naira saat ini sudah siap untuk berangkat ke tempatnya bekerja dengan sebuah seragam yang ia kenakan.

Naira berangkat menggunakan taksi yang siap mengantarkan ke mana pun Naira mau. Bahkan memesan taksi untuk di zaman sekarang tidaklah susah, hanya main tombol-tombol saja sudah bisa.

Akhirnya Naira sampai di tempatnya bekerja. Naira bekerja di perusahaan internasional yang namanya cukup terkenal di kota tempat Naira tinggal.

Naira terpaksa berkerja di sini untuk membiayai uang kuliah sekaligus uang makannya setiap hari. Meskipun pekerjaan Naira di kantor ini bisa dibilang pas-pasan setidaknya gaji masih cukup untuk Naira hidup.

"Selamat pagi..." Sapa Naira memasang wajah ceria menatap ke arah semua orang yang ada di setiap langkah Naira menuju ke tempat kerja.

"Eh Naira akhirnya kamu datang juga," tiba-tiba saja ada seseorang yang datang menghampiri Naira dengan raut wajah panik dan heboh.

"Rina? Ada apa?" tanya Naira kebingungan.

"Gawat! Kamu dipanggil sama Bos di ruangannya."

"A-apa?" Naira pun tidak kalah panik dengan Rina, bagaimana Dirinya bisa dipanggil atasan sedangkan Naira merasa tidak melakukan kesalahan apa pun.

"Kamu ngelakuin kesalahan apa sih, Nai? Sampai-sampai Bos memanggil kamu?" tanya Rina.

Rina adalah sahabat Naira berkerja. Jabatan Naira dan Rina tidak jauh berbeda. Naira sebagai karyawan biasa sedangkan Rina sebagai Karyawan tetap di perusahaan ini.

Naira menggelengkan kepalanya. "Ti-tidak, aku tidak melakukan kesalahan apa pun kok, Rin."

"Lalu kenapa kamu bisa dipanggil Bos?" tanya Rina bingung sekaligus takut. Setahu Rina jika ada seseorang yang dipanggil khusus di ruangan Bos perusahaan itu tandanya orang itu bikin masalah di perusahaan ini.

"Ak...-

"Naira, kamu dipanggil Bos Nathan di ruangannya sekarang juga."

Tiba-tiba saja ada seorang wanita berpakaian rapi datang menghampiri Naira dan Rina. Dia adalah Diva, sekretaris dari Bos Nathan.

"Iy-iya Mbak." balas Naira mengangguk.

"Ta-tapi kalo boleh saya tahu, ada apa ya Bos memanggil saya?" tanya Naira sedikit gemetaran.

Diva menggelengkan kepala, ia tidak tahu apa-apa mengenai masalah ini. Tugas Diva di sini hanya menjalankan perintah dari Bos Nathan saja.

"Maaf, Naira saya kurang tahu mengenai hal itu, alangkah baiknya kamu segera datang ke ruangan Bos." Diva mempersilahkan.

Naira melirik sekilas ke arah Rina dengan raut wajah takut sekaligus panik. "Kamu yang tenang, positif thinking saja tidak terjadi apa-apa." Rina berbisik.

Naira berusaha bersikap normal meskipun jantungnya sedang tidak baik-baik saja. Ia berjalan menuju ke ruangan Bos Nathan. Sesampainya di ruangan itu, Ia lalu mengetuk pintu itu.

"Silahkan masuk!"

Mendengar perintah dari dalam ruangan itu membuat Naira masuk ke dalam. Jantungnya semakin tidak membaik jika sudah begini.

Naira melihat jelas bahwa di sana ada Bos Nathan sedang duduk di kursi kuasanya dan menatap ke arah Naira dengan tatapan datar. Sedangkan Naira masih terus menundukkan kepala.

"Silahkan duduk..."

Mendengar perintah itu, membuat Naira menuruti saja. Naira duduk namun matanya masih saja terus menunduk. Kini aura tegang dirasakan Naira.

"Kamu tahu kenapa saya memanggil kamu datang ke sini?" tanya Bos Nathan.

Naira menggelengkan kepalanya sebagai jawaban bahwa Dia tidak tahu mengenai kenapa dirinya dipanggil untuk datang ke sini.

"Tidak, Bos." dengan rasa takut Naira akhirnya menjawab pertanyaan itu.

"Baiklah... Akan saya tanya sekali lagi."

Entah kenapa dari sini perbincangan ini semakin serius dan menegangkan bagi Naira yang sedang panik sejak tadi.

"Apa yang terjadi sama kamu belakangan ini, Naira?" tanya Bos Nathan.

Naira cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Naira tidak berpikir aneh-aneh usai mendengar pertanyaan itu. Karena Bos Nathan bertanya dengan wajah datar.

"Saya kecewa sama kamu!!"

Deg...

Naira terkejut. Kecewa? Kecewa dalam hal apa? Kenapa Bos Nathan bisa kecewa kepadanya? Itu yang ada di dalam pikiran Naira saat ini.

Bersambung....