webnovel

Selembar Surat Kontrak

Rara sangat putus asa mengenai masalah keuangannya. Demi kelangsungan hidupnya, Rara bersedia menjual Ginjalnya kepada Seorang Kakek yang kaya raya. Namun, bagaimana jika kakek tersebut meminta Rara untuk menikahi cucunya? Rey yang putus asa mencarikan donor ginjal untuk kakek mendapatkan sebuah harapan dari seorang wanita yang mau memberikan ginjalnya. Namun kakek meminta Rey untuk menikahi wanita itu sebagai permintaan terakhir dari kakek. Rey dan Rara pun setuju untuk menikah namun Rey sudah menggaris bawahi pernikahan ini. Bahwa pernikahan ini hanya Sebuah Kontrak. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta. Namun jauh dalam hati, Rey sudah memiliki cinta untuk Rara.

An_Autumn · Urban
Not enough ratings
311 Chs

Penyerangan (3)

Ajun Inspektur Mondy sedari tadi hanya mengangguk-angguk kan kepalanya mendengar Kei dan Beno bercerita. Rey hanya diam saja, sesekali berbicara jika diperlukan. Sedangkan Lola, juga diam saja mendengarkan mereka bercerita. Lola merasa bersalah kepada Rey, karena menamparnya. Padahal Rey tidak bermaksud untuk membiarkan Rara begitu saja.

"Jadi sekarang kita hanya perlu menunggu si Raditya ini membawakan sebuah kotak dari Kediaman kakek Rey di Purwokerto." Ajun Inspektur Mondy bertanya lagi untuk memastikan. Rey, Beno dan Kei mengangguk bersamaan.

Terdengar helaan napas Ajun Inspektur Mondy. Antara capek, letih karena pekerjaannya namun penasaran dengan sebuah kotak yang dimaksud itu.

"Semua penyelidikan yang telah dilakukan memang menunjukkan bahwa Satria lah pelakunya. Namun tidak ada bukti yang benar-benar valid, jadi sulit untuk menangkap Satria. Tapi apa kotak yang dimaksud ini benar-benar memiliki bukti yang selama ini kita cari?

"Ya, setidaknya begitulah kata kakek." Beno menjawab sambil meneguk kopinya. Entah sudah berapa gelas kopi yang diminumnya sedari tadi.

"Jadi bagaimana, apa bapak mau bertaruh dengan kami? Jika memang benar kotak itu adalah kuncinya, maka bapak bisa jadikan ini sebagai batu loncatan untuk naik jabatan lagi." Kei menawarkan kesempatan pada Ajun Inspektur Mondy.

"Bagaimana ya. Kalian juga tau, ketika ingin menangkap tersangka haruslah melampirkan surat tugas dan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejadian yang dipersangkakan serta tempat Ia diperiksa." Ajun Inspektur Mondy mengambil napas sebentar dan melanjutkan lagi perkataannya.

"Dan tembusan surat perintah itu haruslah diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. Namun kami juga bisa menangkap seseorang tanpa surat perintah penangkapan dalam hal tertangkap tangan dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat." sesaat Ajun Inspektur Mondy berhenti sejenak dan melihat satu persatu anak-anak itu.

"Jika memang benar bahwa kotak itu adalah barang buktinya. Maka saya bersedia menerima pertaruhan ini." Ajun Inspektur Mondy memberikan jawabannya. Mereka yang mendengar itupun, menghembuskan napas lega seraya mengelus dadanya.

"Lalu kapan akan datang si Raditya ini."

****

Kini Raditya tengah berada di jalan pulang menuju Semarang. Ditangannya sudah ada sebuah kotak yang dimaksud Rey.

Awal ketika Raditya sampai di kediaman kakek, terlihat seorang paman yang mengurus rumah tersebut. Sejujurnya ini adalah kali keduanya datang kesini, namun sepertinya paman itu tidak mengingatnya. Paman itu sempat mencegah Raditya untuk masuk namun karena Raditya meyakinkan bahwa dirinya adalah sekretaris Direktur Utama HNS Company dan datang karena perintah dari Reygan Samudra. Akhirnya paman itu pun mengalah dan membiarkan Raditya masuk.

Bahkan paman itu juga menunjukkan jalan menuju gudang yang dimaksud. Setelah sampai, Raditya melihat semua barang-barang di gudang tersusun sangat rapi. Butuh waktu agak lama bagi Raditya mencari kotak itu. Akhirnya Raditya menemukannya, sebuah kotak kayu vintage berukuran 16 x 21 x 8 cm. Didalamnya terdapat sebuah buku catatan, tape recorder dan flashdisk.

Setelah mendapatkan kotak kayu itu, Raditya segera pergi dan menuju Semarang. Selama perjalanan pergi tadi dirinya baik-baik saja karena sepertinya kelompok gangster suruhan Pak Satria tidak ada yang mengikutinya. Semoga saat perjalanan pulang ini mereka juga tidak mengikuti. Batin Raditya.

Selama perjalanan yang panjang itu, Raditya memikirkan kembali pertemuan pertama dengan Rey. Awal dirinya bekerja di HNS Company. Raditya yang mengirim lamaran untuk bagian pemasaran justru diminta oleh Pak Agus, HRD HNS Company untuk menjadi sekretaris Rey. Pak Agus mengatakan bahwa selama ini yang bekerja dengan Rey selalu saja tak tahan dengan sikap dinginnya itu. Raditya pun yang waktu itu tak mau kehilangan pekerjaan, menerima begitu saja dirinya menjadi sekretaris walaupun tak punya basic sekretaris.

Awal-awal bekerja terasa sangat sulit beradaptasi dengan Rey. Namun setelah melewati waktu yang panjang itu, akhirnya baik Raditya maupun Rey lebih membuka diri mengenai hubungan kerja mereka. Raditya pun langsung mendapatkan kepercayaan Rey, dan dalam sekejap saja Raditya dan Rey mampu bekerjasama dengan baik.

Walaupun Rey terlihat dingin dan tak berbelas kasihan, namun sebenarnya Ia tak seperti itu. Kadangkala Rey mengerti tentang pekerjaan Raditya yang cukup berat dan bahkan memberikannya libur beberapa hari. Saat itu pun, apa yang orang-orang pikirkan tentang Rey yang dingin itu bisa dipatahkan oleh Raditya. Karena Raditya bisa merasakannya sendiri bahwa bersikap dingin dan berbicara ketus adalah kedok bagi Rey untuk menutupi dirinya yang sebenarnya.

****

12 jam setelah penculikan Rara

Rara merasa kepalanya masih sangat pusing dan berputar-putar. Kuat sekali obat biusnya. Pikir Rara.

Rara masih mencoba untuk menyadarkan dirinya, menggelengkan kepalanya perlahan namun tetap saja rasa pusing itu masih ada. Ditambah dengan lampu ruangan ini yang berkedip-kedip menambah sakit di kepala Rara.

"Ah sial. Dimana aku sebenarnya. Pukul berapa ini, sepertinya sudah malam." Rara berbicara kepada dirinya sendiri. Seketika dirinya menyadari bahwa kedua tangannya terikat kuat bahkan kedua kakinya pun juga. Dirinya pun terikat dalam kondisi berdiri. Rara mencoba meronta-ronta namun gerakannya itu membuat tangan dan kakinya yang terikat semakin sakit. Rara meringis. Sepertinya kulit ditangannya tekelupas karena bergesekan dengan tali tambang yang mengikat tangannya.

Rara bukan hanya meringis menahan sakit namun juga meringis menahan lapar dan dahaga yang menyerangnya. Rara pun mencoba untuk berteriak dan memanggil siapapun yang berada di luar.

"Heii, aku sangat lapar. Berikan aku makan dan minum. Apa kalian tidak punya sopan santun menyekap orang tanpa memberikannya makan dan minum." Rara sudah berteriak sekencang yang dia bisa, namun tidak ada tanda-tanda dari mereka untuk memberikan yang Rara mau.

"Hei, sialan. Cepat kalian kemari, berikan aku makan dan minum." Rara pun mengeluarkan umpatannya. Ternyata memang benar, kelaparan adalah hal yang menakutkan. Rara tak ingin mati disini, tidak sebelum Rara mendapatkan semuanya kembali. Rara berusaha untuk kembali berteriak namun tiba-tiba pintu ditendang dengan kerasnya.

Terlihatlah siapa yang menendang pintu itu. Seorang pria yang mungkin umurnya sepantaran dengan Dokter Alex. Memiliki janggut dan kumis tipis. Sekilas terlihat mirip dengan Rey. Dengan postur tubuh yang hampir sama. Rara sampai mengerutkan dahi melihat pria itu.

"Kenapa melihat ku sampai begitu? Apa karena aku terlihat mirip dengan Rey walau hanya sekilas." Pria itu menebak isi pikiran Rara dengan benar.

Lalu tiba-tiba dirinya tertawa. Entahlah bagi Rara tawanya itu sangat mengerikan, bahkan Rara sampai menutup sebelah mata dan mengernyitkan dahinya. Jika saja tangannya tak terikat pasti Rara sudah menutup kedua telinganya. Mungkin tawa pria itu bisa menjadi mimpi buruk bagi Rara.

"Sepertinya aku benar. Kau sangat mudah sekali ditebak." Pria itu berjalan mendekati Rara. Sampai Rara bisa melihatnya dengan jelas. Terlihat bibirnya yang tak berhenti menyeringai memperlihatkan gigi putih yang tersusun rapi, rambutnya terlihat gondrong, dan tatapan matanya siap menerkam siapapun yang menghalanginya. Pria itu berdiri tepat di depan Rara. Lalu tangannya itu mencengkeram pipi Rara. Cengkeramannya tidak terlalu kuat, namun dingin tangannya membuat Rara sampai merinding dan gemetaran.

"Bagus juga ternyata selera Rey." ucap pria itu seraya melepaskan cengkeramannya. Rara kira sudah berhenti sampai disitu, namun ternyata tidak. Jari pria itu membelai wajahnya. Mulai dari kedua alisnya, hidungnya dan terakhir berhenti di bibir Rara. Seketika pria itu menyeringai. Sangat mengerikan. Batin Rara.

Kemudian ibu jarinya mengusap pelan bibir Rara.

"Apa Rey sudah pernah mencicipi bibir mu yang lembut ini. Sepertinya terlihat sangat manis" tanyanya seraya terus menerus mengusap bibir Rara dan menjilat bibirnya sendiri. Rara yang melihat pria itu pun menjadi ketakutan, seketika rasa lapar dan dahaga nya menguap berganti rasa mual yang mulai mengaduk-aduk perutnya, karena melihat seringaian pria itu.

Rara tak menjawabnya. Justru apa yang Rara lakukan selanjutnya malah membuat pria itu marah. Rara menggigit keras jari pria itu yang berada dibibirnya. Pria itu pun mengadu kesakitan. Terlihat darah mengucur deras dari gigitan pada jarinya.

"Dasar cewek sialan." kata pria itu sambil menendang paha Rara dengan tendangan yang powerfull. Tangannya yang masih bergerak bebas itupun menarik rambut Rara dengan sangat kuat. Rara berpikir bisa saja rambutnya rontok semua jika pria itu menarik rambutnya sekuat yang baru saja dilakukannya.

Rara berteriak kesakitan. Tapi pria itu tak ingin melepaskan rambut Rara begitu saja. Apa yang dia lakukan selanjutnya justru membuat Rara tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Pria itu kemudian melakukan hal yang sama pada leher Rara. Menggigitnya sampai berdarah dan menjilati lehernya. Rara hanya bisa menggertakkan giginya kuat-kuat menahan tangisannya. Napas nya naik turun, jantungnya berdegup sangat kencang. Rara hanya berharap semoga Rey cepat datang menolongnya.

"Sangat lezat sekali." ucap pria itu menjilati bibirnya dan melepaskan tangannya yang menarik rambut Rara. Saat itu Rara merasakan jijik yang amat sangat pada pria itu. Tapi Rara juga jijik pada dirinya yang membiarkan pria itu melakukan hal seperti tadi. Rara juga tak bisa berbuat apa-apa, ingin sekali rasanya Rara memberontak. Tapi Rara tau itu hanya usaha yang sia-sia.

"Sialan kau, beraninya kau melakukan hal ini pada ku." Teriak Rara pada pria itu, namun pria itu hanya tertawa mengerikan.

"Aku baru saja mau memulai apa yang ingin aku lakukan padamu."

Pria itu dengan tangannya yang bebas membuka baju Rara lalu mengelus perut Rara perlahan. Rara menangis seraya meminta pria itu untuk berhenti memperlakukannya seperti ini. Tapi pria itu tak ingin berhenti, tangannya terus menelusuri perut Rara hingga ke punggungnya.

Rara menggigit bibirnya, seraya memohon kepada pria itu untuk berhenti.

"Kumohon, tolong berhentilah. Tolong lepaskan aku. Jika kau tak ingin Rey menjebloskan mu ke penjara." Rara berkata sambil menutup kedua matanya, berharap pria itu menjauhkan tangannya dari punggung Rara.

Tapi pria itu justru tersenyum licik seraya berkata

"Aku tidak peduli. Rey tak kan pernah bisa mengalahkan ku." Pria itu mengatakannya perlahan namun tepat ditelinga Rara, membuat bulu kuduk Rara berdiri dan Rara merasakan hawa pembunuh pada pria itu. Seketika Rara menjadi amat sangat ketakutan. Tubuhnya serasa lemas dan dirinya frustasi karena tak bisa berbuat apa-apa.

Pria itu pun menjauhkan tangannya dari punggung Rara dan melepaskan ikat pinggang yang dipakainya. Saat itu Rara berpikir semua ini mimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk bahkan lebih buruk dari menyaksikan malam kematian orang tuanya. Rara benar-benar tak bisa memaafkan dirinya, jika pria itu berani menodai dirinya. Rara mulai menangis lagi.

Pria itu berjalan perlahan ke arah Rara dan mengambil gunting yang ada disana lalu menggunting bajunya. Rara yang melihat itupun seketika berteriak

"Berhenti. Jika kau melakukannya lebih dari itu kau akan mendapatkan balasannya dua kali lipat dari ini." Rara berteriak sejadi-jadinya. Namun pria itu tak mendengarkan nya.

Dan pria itu berhasil merobek bajunya. Kemudian pria itu berjalan ke belakang Rara dan mengayunkan ikat pinggang itu ke punggung Rara yang bebas dengan sekuat tenaga yang pria itu punya. Tak pelak hal itu membuat Rara amat sangat kesakitan. Mungkin kulit di punggung nya langsung memerah akibat dari ayunan ikat pinggang itu.

Rara menahan sakit yang amat luar biasa, dan ternyata pria itu melanjutkan permainannya lagi. Terus menerus pria itu mengayunkan ikat pinggang ke punggung Rara dan Rara merasakan darah mulai mengalir dari kulit punggungnya.

Rara pun kehilangan kesadarannya.