webnovel

Selaras Rasa (The Same Love)

Viona Laila Indrayan adalah pewaris paviliun utama dan museum yang didirikan oleh keluarga Indrayan. Tentunya tidak sebanding dengan perusahaan besar yang akan diterima oleh para paman dan bibinya. Meski begitu paman dan bibinya tetap mencari cara untuk merebut paviliun dan museum karena keduanya merupakan icon dari keluarga Indrayan. Hidup Viona berjalan dengan lancar dengan kekayaan dan pandangan iri dari kerabatnya, hingga ia bertemu dengan kekasih pertamanya di usia 27 tahun, seorang pengacara junior yang tampan dan hebat. Viona sangat menyukai kekasihnya hingga semua perhatian ia curahkan kepadanya. Namun secara perlahan, kebenaran tentang kehidupan Viona mulai muncul satu demi satu termasuk kebenaran tentang pria yang sangat ia cintai. Apa sebenarnya yang terjadi di dalam kehidupan Viona? Dan bagaimana rahasia yang terungkap dapat merubah kehidupan Viona? . Ikuti terus kisah Viona dan pria yang sangat ia cintai! Jangan lupa voting dan tunggu update selanjutnya yaaa... note : kesamaan nama tokoh dan cerita hanyalah kebetulan semata. kecuali kalau aku searching sedikit di internet. peace.

Alwayssunrise · Urban
Not enough ratings
22 Chs

0.1

Ah, tempat ini lagi. Untuk kesekian kalinya aku berada disini. Ruang tanpa batas, hanya kegelapan dan kabut putih pekat mengelilingi diriku. Aku berjalan maju, berharap menemukan ujung dari kegelapan ini. Cahaya ya, aku melihat cahaya. Akhirnya aku bisa keluar dari tempat mencurigakan ini. Aku harus cepat, cepat, cepat...sebaiknya aku berlari...tapi dadaku sangat sesak, whHHHAPPP...sakit.

.

.

.

"A...."

"Na..."

Sayup-sayup terdengar suara.

Aku membuka mata. Seperti ada yang memanggilku. Tapi benarkah dia memanggilku?

"Ona..."

Suara itu semakin jelas. Aku memaksakan tubuhku bangun dan refleks memegang dahiku. Benar saja, aku merasakan nyeri dan cairan gelap mengalir sampai ke mataku. Bagaimana aku bisa berdarah?

"Ona..."

Suara itu lagi. Cahaya yang kulihat tadi berubah menjadi bola sinar yang cukup besar. Ah, itu bukan jalan keluar yang kuharapkan. Aku bangkit dan mendekati bola yang bersinar itu.

"Apa kau yang memanggilku?" tanyaku hati-hati.

" Mengapa kau lama sekali, Ona. Disini sangat sesak, aku tidak tahan lagi..."

"Kau berada di dalam bola ini?"

"Kau masih bertanya. Cepat pikirkan cara dan keluarkan aku dari sini!"

"Tapi bagaimana? Tidak ada apapun disini yang bisa kugunakan untuk menghancurkan bola ini?"

"Ah, salahku mencoba mengandalkanmu."

"Hei, kau sangat tidak sopan. Apa itu caramu meminta tolong."

"Lupakan, kau tidak akan bisa melakukan apa-apa. Hanya bisa tertawa seperti orang bodoh dihadapan lelaki bernama Gibran. Wanita egois."

"Apa yang kau katakan? Hentikan omong kosongmu!!!"

"Marah lagi, huh..."

.

"Viona..."

 "Viona, aku tidak bisa menemukan dasiku. Dimana kau menyembunyikannya kali ini?"

Mimpi?

Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui jendela yang terbuka lebar di ruangan dengan nuansa warna putih. Viona membuka mata dan melihat ke sekeliling, ah rupanya dia ketiduran kemarin malam. Perlahan ia mendudukkan tubuhnya di kasur empuk tempat ia tidur semalam.

"Kamu membongkar isi koperku juga...come on Viona, apa yang kamu lakukan???" pria bertubuh tinggi besar dengan kemeja warna putih sedang merapikan isi koper dengan terburu-buru. Viona tersenyum dan bangkit mengambil sesuatu dari balik televisi disudut ruangan. Ia mendekati sang pria dan menggantungkan dasi di leher pria itu. Pria itu tersenyum kemudian berbalik melihat Viona.

"Menunduk..." pinta Viona.

Sang pria tertawa, "kamu bisa melakukannya?"

"Tentu, aku mempelajarinya semalaman."

Pria itu menurut dan merendahkan bahunya. Viona menyimpul dasi yang mengelilingi kerah pria itu. "Ingat, begitu sampai di sana kamu harus beristirahat terlebih dahulu...kamu akan sangat sibuk jadi berhenti melakukan hal-hal yang tidak penting. Jangan telat makan, kondisi perutmu bisa sangat sensitive di tempat baru...oh ya kamu bawa obatmu kan?"

Pria itu menghela napas, Ia mengenakan jas hitam dibantu Viona.

"Aku hanya pergi ke konferensi selama beberapa hari kenapa kamu sangat khawatir? Semua kebutuhanku disana telah disiapkan."

"Aku kekasihmu, tentu saja aku harus khawatir. Itu tugasku..."

Pria itu menutup kopernya. Dan bergerak menuju pintu..

"Gibran..." Viona memanggil nama pria itu lembut sambil menatap punggung lebar  dibalut jas hitam yang sedang membelakanginya. Gibran berbalik.

"Kenapa lagi, aku sudah sangat terlambat."

"Kamu melupakan sesuatu?" tanyanya manja. Entah sejak kapan Viona melupakan rasa malunya di depan pria itu.

Gibran mengecek arloji ditangannya kemudian melangkah lebar menghampiri Viona. Ia merengkuh pinggang wanita itu kemudian mengecup keningnya beberapa detik.

"Misi selesai," bisiknya. Viona melingkarkan tangannya ke leher Gibran.

"Kapan kamu akan mencium bibirku?"

"Itu misi yang sulit, aku perlu mempertimbangkan banyak hal untuk melakukannya."

"Sangat sulit?" ulang Viona.

Gibran mengangguk, Ia menyentuh bibirnya sendiri dengan jari telunjuk.

"Ini hanya milik istriku."

"Jadi aku bukan istrimu?"

Gibran menggeleng

"Kau belum memenuhi syarat..."

"Kau yakin?" Viona mencondongkan wajahnya ke atas. Riiiiinnnnggg.

Gibran terkesiap dan serentak melepaskan Viona. Ia merogoh saku celananya...

"Ya...Steve?" Gibran meraih kopernya dan keluar dari kamar. Ia mengangkat lengannya yang tegas dan panjang kebelakang, mengisyaratkan bahwa ia harus buru-buru pergi. Klak, suara pintu depan tertutup.

.

.

.

"Astaga...jam berapa ini??" Viona melompati sofa menuju kamar mandi.

Lima belas menit kemudian ia keluar dari kompleks perumahan tempat tinggal  Gibran sambil mengendarai mobilnya.

Viona Laila Indrayan, 27 tahun, manager dari museum kerajinan tradisional di pusat kota. Wanita cerdas yang menjalani hari-harinya dengan optimis. Segala macam pekerjaan dan permasalahan dapat ia selesaikan dengan mudah. Supel dan baik hati, itu yang teman-temannya katakan tentang dirinya. Teman-temannya yang sedikit.

Nada dering diponselnya berbunyi. Viona menoleh sebentar kemudian mengenakan earphone nya.

"Ya, ma?"

"Bagus kamu masih mengenali suara mamamu..."

Viona menutup sebelah matanya.

"Jam berapa kamu pergi tadi malam?"

"Ma, Ona bukan anak kecil lagi..."

"Orang dewasa tidak akan kabur dari rumah tengah malam untuk menemui pria nggak jelas."

"Gibran orang baik, ma. Dia pengacara. Dia pacar Viona, hargain sedikit dong, ma..."

Lama mereka terdiam. Viona menghela napas.

"Ok, Viona salah...Viona pergi nggak ijin sama mama. Mama jangan kesal terus ya...nanti Viona pulang tepat waktu. Sudah ya, ma. Ini sudah hampir sampai di tempat kerja...bye. Love you!" Viona melepaskan earphone nya. Begitu selesai memarkirkan mobilnya, Viona melangkah menuju museum.

"Pagi, Bu Viona!" seorang security membukakan pintu kaca untuk Viona.

"Pagi," balasnya ramah sambil terus berjalan masuk, seorang gadis muda bercelana hitam panjang, blezer hitam dan rambut dikucir kuda menghampirinya. Viona menerima tablet dari asistennya.

"Keramik dari gudang sudah datang kemarin sore, pihak penyelenggara sedang memeriksa nya dan jika tidak ada masalah kita bisa memamerkan pada event besok lusa."

"Persiapan event?" Viona membuka pintu ruangannya. Gadis berkucir kuda yang tidak lain adalah asistennya mengikuti Viona memasuki ruangan dan menutup pintu.

"Sudah hampir siap." Kata asisten ragu. Viona menatapnya.

"Apa ada masalah?"

"Seniman yang akan mengisi acara utama mengalami kecelakaan kecil. Sie acara sedang mencoba menghubunginya."

"Dan kamu bilang sudah hampir siap?"

Gadis itu menunduk. Viona meraih telpon yang ada dimejanya. "Rani, suruh Fajar menyiapkan mobil dan tunggu aku di gerbang sekarang."

Viona menutup telponnya dan kembali keluar dari ruangannya. "Aku akan pergi selama dua jam, handle museum selama aku pergi. Telpon aku atau Fajar bila ada masalah."

"Baik, Bu.."

Viona keluar dari museum menghampiri mobil hitam yang terparkir disamping gerbang, dibawah sinar mentari pagi yang mengintip melalui dedaunan beringin di halaman. Ia duduk di samping kemudi. Ia menatap Fajar.

"Kenapa tidak meneleponku?"

Fajar meletakkan tangannya dikemudi.

"Tante melarangku, kau baru pulang dari luar kota kemarin sore dan baru saja tertidur." Jawabnya bergetar seolah menahan tangis.

"Ck," Viona melepaskan tas dari bahunya. "Kita ke rumah om Rudi sekarang,"

Fajar mengangguk. Mobil mereka berjalan keluar dari gerbang museum.

Berbeda dihadapan Gibran yang manis. Berbeda dihadapan mamanya yang manja. Berbeda pula dihadapan para pegawainya. Viona menjadi atasan yang profesional dan dihormati.

Museum Indrayan adalah museum swasta milik keluarga besar Viona. Indrayan merupakan nama kakeknya yang kini tinggal di paviliun keluarga di pinggiran kota. Menetap dalam suasana yang damai setelah berhasil membesarkan nama museum dan beberapa perusahaan pendukungnya. Semenjak kematian ayahnya sepuluh tahun yang lalu, Viona belajar sangat giat agar layak menjadi manager museum. Hal itu ia lakukan agar para pamannya tidak memandang rendah posisi mamanya di dalam keluarga. Meski begitu, ia tetaplah seorang gadis kecil dimata mamanya. Peran menjadi seorang ibu tunggal membuatnya sangat terobsesi dengan apa saja yang Viona lakukan dan dengan siapa ia bergaul.

Hingga dua tahun yang lalu dokter mendiagnosanya memiliki penyakit jantung. Berdua dengan Viona beliau menyembunyikan penyakit itu dari keluarga besar. Ia tidak mau kakek Viona yang sudah tua terlalu mengkhawatirkannya.

Untuk itu seberapa obsesive mamanya, Viona selalu memaklumi dan bersifat manja dengannya. Selalu tersenyum kepadanya. Selalu melaporkan setiap tindakannya.

Lalu enam bulan yang lalu, sahabat baiknya yang bernama Pinkan mengenalkannya kepada Gibran. Mereka seperti three Musketeers yang berjuang melawan kerasnya kehidupan sejak kecil Pinkan, Gibran dan Steve. Seperti pahlawan super yang tidak dapat terpisahkan dan tiga pengacara hebat itu berhasil membuktikan persahabatannya dengan sama-sama memasuki law firm yang sama. Viona dapat dengan cepat akrab dengan Gibran dan Steve hingga tiga bulan setelah perkenalan mereka, entah angin musim dari mana Viona dan Gibran mulai berkencan hingga saat ini. Hubungan yang berjalan lancar. Tanpa masalah, tanpa hambatan karena sifat acuh Gibran yang tak pernah mempermasalahkan hal-hal kecil dan sifat manis Viona yang bisa ia tampilkan dihadapan Gibran.

Apakah ini cinta sejati, yang ketika Viona menatap ke dalam mata Gibran seolah ia bisa melihat masa depan bersamanya. Viona suka menatap mata pria itu. Ia suka mencuri pandang seperti remaja yang sedang kasmaran bahkan saat Gibran sedang sibuk bekerja.

Ia jatuh cinta saat pertama kali bertemu pria itu. Gibran...yang menyatukan keharmonisan. Semua kisah berawal sejak Viona menyatakan cintanya kepada Gibran.

***

"Viona tidur dirumahmu semalam?" bisik Steve. Gibran menutup bagasi mobilnya. Ia melihat Pinkan melewati mereka dan membuka pintu belakang mobil untuk meletakkan beberapa berkas.

"Sebaiknya kau diam saja..." Gibran berjalan ke depan.

"Dasar..." Steve bergumam sambil kembali ke dalam kantor.

Pinkan menghampiri Gibran. Ia tampak ragu.

"Viona dirumahmu semalam?" tanyanya pelan. Gibran berbalik.

"Apa aku harus melapor padamu juga?" tanya pria itu ketus.

"Tidak...hanya..."

"Semua sudah siap? Bisa berangkat sekarang?" Ketua dan Steve keluar dari kantor. Gibran dan Pinkan menoleh kearah mereka yang mulai memasuki mobil. Keduanya mengikuti dan mesin mobil mulai dinyalakan.

Gibran merasakan tatapan cemas Pinkan dari sudut matanya. Tetapi ia pura-pura tidak peduli dan terus membaca berkas yang justru membuat dadanya terasa nyeri. Ia mengerutkan kening dan berusaha mengalihkan pikirannya.

Selaras Rasa...

Semua kisah berawal sejak Gibran jatuh cinta terlalu dalam.

Viona dan Gibran - pasangan

Gibran - Pinkan - Steve - sahabat sejak kecil. mereka dibesarkan di panti asuhan bersama-sama

Fajar - sepupu Viona

Museum Indrayan - museum tradisional swasta milik kakek Viona

Rani - resepsionis museum

asisten Viona - ?

Om Rudi - ?

Alwayssunrisecreators' thoughts