"Kenapa kalian menatapku seperti itu? Apa ada yang salah dengan kedatanganku?"
Suara berbalut nada sedikit menekan itu membuat Kenan dan Willona masih mengerjab-ngerjab tak percaya dengan apa yang mereka lihat saat ini.
Willona yang baru saja datang dari dapur mendadak dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba duduk manis di kursi makan, sementara Kenan yang ingin mengambil minum, pun tak kalah terkejut.
"Sudah satu tahun lamanya tapi, aku tidak melihat perut Willona membesar. Apa kalian kembali pisah kamar?"
Todongan pertanyaan itu masih tak membuat Kenan dan Willona tersadar dalam lamunan mereka berdua.
BRAK!
Sebuah gebrakan meja seketika membuat Kenan dan Willona berjengit terkejut lantas memanggil kompak panggilan dari sang pemilik gebrakan.
"Kakek!" panggil mereka berdua, sangat kompak.
Lelaki berusia hampir mendekati enam puluh tahun itu mengangkat satu alis tuanya mendengar nada keterkejutan dari cucu serta menantunya.
"Ada apa, kenapa kalian begitu terkejut dengan kedatanganku?" tanya Bimo sekali lagi. Ia menoleh ke arah sang asisten pribadinya. "Apa aku salah rumah, Hardi?"
Hardi, asisten pribadi Bimo membalas dengan senyum simpul tanpa mengatakan apa pun pada sang Tuan Besar.
Kenan berdehem untuk mencairkan rasa gugupnya dan juga sang istri, Willona. Dan dalam hitungan detik lelaki itu meraup pinggang ramping Willona dengan posesif, tampak terlihat mesra di depan Bimo.
"Ehem, Kakek. Aku dan istriku sedikit terkejut, tapi tidak masalah. Aku sangat senang melihat Kakek bisa data—"
Belum juga Kenan berhasil menyelesaikan kalimatnya, Kakek Bimo sudah memotong dengan sengaja. Kemesraan yang ditampilkan Kenan dan Willona seakan tak berarti di mata tua Kakek Bimo.
"Hardi aku mau sarapan, tolong siapkan," perintah Bimo.
"Baik, Tuan Besar."
Hardi mengangguk lantas membungkukkan tubuh hormat setelah itu, dengan cekatan seluruh alat makan telah terbuka dan kursi juga telah ditarik agar lelaki separuh baya itu bisa duduk kemudian menikmati sarapan pagi dengan nyaman.
"Kalian duduklah, kita bicara dari hati ke hati. Aku perlu mengatakan sesuatu pada Willona ... aku tidak bisa seperti ini terus," ucapnya seraya mengambil berbagai makanan yang tersaji di atas meja.
Kenan dan Willona pun menurut, dengan sikap manis lelaki tampan itu menarik kursi yang akan ditempati Willona, mempersilahkan sang istri duduk. Tak lupa memberi kecupan hangat di pipi putih Willona.
"Selamat makan, Istriku," ujar Kenan lembut.
WIllona membalas dengan senyum cantik, menoleh ke arah Kenan. "Selamat makan juga, Suamiku."
Kenan membalas ucapan Willona dengan anggukkan, lantas mengarahkan pandangan tajamnya ke arah lelaki separuh baya yang diam-diam sedang menatap dirinya lekat.
"Bicarlah, Kek. Kau mau apa ke sini? Aku dan istriku harus segera berangkat kerja," tanggap Kenan seraya mengambil satu lembar roti di depan piring.
Kini gantian Kakek Bimo mengarahkan pandangan ke arah Hardi, dan asisten pribadinya pun paham, ia mengkode anggukkan yakin pada sang tuan besar.
"Kalian masih tidak mau memberi cucu padaku? Atau memang kalian tidak menginginkan itu?"
Pertanyaan itu mendadak membuat Willona tersedak dan dengan cepat tanggap Kenan memberi minum pada sang istri sembari mengelus punggung penuh perhatian.
"Kami masih sibuk bekerja, Kek. Tidak memikirkan anak terlebih dulu," kilah Kenan berucap dengan penuh keyakinan.
Kakek Bimo menghela napas panjang. Dirinya ke sini bukan tanpa sebab karena Kakek Bimo begitu kecewa dengan pernikahan cucunya yang sudah berjalan hampir satu tahun, tapi tak ada pertanda dirinya mendapatkan cicit.
"Katakan yang sejujurnya apa kalian masih berpisah kamar?" Ulang Kakek Bimo kembali semakin bertanya menelisik. Lelaki separuh baya itu ingin mengungkap kebohongan pasangan suami istri di depannya.
Tiga bulan lalu saat Bimo mengunjungi rumah ini tanpa memberitahu siapa pun. Kakek Bimo menemukan fakta mencengangkan yang hampir membuat jantungnya bermasalah lagi. Lelaki separuh baya itu melihat Kenan dan Willona bangun tidur dari pintu kamar yang berbeda.
Dan mulai saat itu, Kakek Bimo meletakkan mata-mata di rumah ini. Hanya untuk membuat Kakek Bimo tenang.
"Kami sekamar, Kek. Jangan membahas masa lalu, waktu itu kami tidak saling mengenal satu sama lain," jawab Kenan kembali berbohong.
Sebenarnya sejak malam itu mereka berdua hanya tidur bersama selama satu malam. Dan itu pun mereka memberi pembatas dengan sebuah guling, yah meski pada akhirnya guling itu berganti menjadi guling bernapas.
Tiba-tiba sendok sengaja diketukan Bimo di pinggiran piring, sehingga membuat pasangan suami istri itu mengangkat pandangan, lantas melepas lamunan mereka masing-masing.
"WIllona Sayang, kenapa kamu sedaritadi diam saja? Apa suamimu terlalu jahat?"
Willona yang mendapati namanya dipanggil pun mengulas senyum simpul, kemudian menggeleng.
Mana mungkin Willona jujur kan?
"Tidak, Kek. Willona hanya sedang kebingungan mau makan yang mana," jawabnya berbohong.
Meskipun Willona sudah satu tahun menjadi bagian dari keluarga Argadinatha, tapi tetap saja masih tidak bisa terlalu akrab dengan Kakek Bimo meski lelaki separuh baya itu mencoba mengakrabkan diri dan sangat baik terhadap Willona dan keluarganya.
Rasanya batas sosial mereka berdua sangat tinggi, Willona bahkan tak pantas menyentuh tembok itu, apalagi sampai memanjat.
"Baiklah, Cucuku yang cantik. Jadi kalian kapan ingin memberi cicit padaku? Atau kalian tidak akan mendapatkan apa pun dari warisanku. Bagaimana?"
Kalimat yang paling Kenan hindari sekarang terucap. Haruskah dirinya menghamili sekretarisnya terlebih dulu untuk membuat warisan itu jatuh di tangannya?
"Jangan melucu, Kek. Ada ataupun tidak adanya anak di antara kami, harusnya warisan itu tetap jatuh pada kami. Kakek 'kan tau aku selalu mengurus perusahaan," sahut Kenan tak terima.
Lelaki tampan itu benar-benar tak terima, ia yang sudah merelakan masa bebasnya terkukung dalam sebuah ikatan pernikahan hanya demi mempertahankan warisannya, kini justru seorang anak dari buah pernikahan ini yang harus Kenan pusingkan dengan ancaman yang sama. Ini gila!
"KENAN!" Nada tinggi Kakek Bimo melengking tajam seketika menyeruak masuk ke gendang telinga Willona dan Kenan hingga membuat mereka berdua menutup mata terpaksa.
"Kendalikan emosi Anda, Tuan Besar," ucap asisten pribadi Kakek Bimo, mencoba menenangkan sang tuan.
Kakek Bimo menurut pada sang asisten pribadi, lelaki separuh baya itu menghela napas panjang kemudian menghembukan dengan sangat pelan.
Tatapan berkilat dari manik hitam Kakek Bimo langsung menatap ke arah Kenan.
"Cek seluruh kamar, tanpa terkecuali!" Satu perintah itu membawa rombongan lelaki berjas hitam dengan kaca mata warna senada menyebar tanpa bantah.
Kenan dan Willona dibuat ternganga saat melihat beberapa anak buah Kakek Bimo sudah menghilang tanpa jejak.
Tamat sudah riwayat Kenan dan Willona, akankah mereka berdua diminta bercerai?
"Kakek! Kenapa kau menyuruh mereka sembarangan masuk ke rumahku? Itu sangat tidak sopan, aku membeli rumah ini dengan uangk—"
"Uangku! Kau bekerja di mana? Apa yang kau lakukan saat bekerja? Dan kau masih mengatakan itu uangmu?!" sahut cepat Kakek Bimo dengan satu kali helaan napas.
Kenan terbukam seketika. Ia menyadari jika dirinya selama ini telah menggunakan uang gajinya untuk menyewa wanita bayaran guna memuaskan gairahnya di kantor.
Dan rumah ini, memang menggunakan uang Kakeknya. Tak berselang lama suara asing mendadak masuk dan membuat Kenan dan Willona semakin membuatkan mata.
"Tuan Besar ... Tuan dan Nyonya telah idur di kamar yang berbeda."
"Kami menemukan dua kamar dengan fasilitas serta barang-barang yang berbeda, dan itu semua milik Tuan dan Nyonya." Lanjut salah satu anak buah Kakek Bimo memberi laporan.