webnovel

Pertengkaran

"Kamu itu enggak usah sok jadi pemberani, deh!" ucap Haris sembari duduk di sofa yang sudah digelar oleh Rahman tadi. "Kalau kamu jantungan gara-gara lihat hantu, gimana? Ini rumah sakit, loh!" Sengaja Haris semakin menakut-nakuti Hani. Ia paham sekali kalau Hani adalah seorang paranoid. Bahkan jika malam dan sendiri pada bayangannya sendiri pun ia bisa ketakutan.

"Aku enggak sepenakut itu," bantah Hani dengan nada ketus. Ia tak suka Haris dengan mudah membaca pikirannya.

"Yaelah, masih ngeles!" cibir Haris. "Pas dengar pintu dibuka aja langsung teriak, siapa?" Haris menirukan ucapan Hani tadi sambil tergelak. Membuat Hani semakin jengkel.

"Ish!" sungut Hani sambil memanyunkan bibirnya. Melihat tingkah Hani yang seperti itu membuat Haris merasa Hani semakin lucu. Ingin rasanya ia mengecup bibir Hani itu. Meskipun yang ia bisa saat ini hanya sebatas membayangkannya saja. Bagaimanapun Hani adalah kakak iparnya dan Haris tidak mau terlalu melunjak.

"Benaran enggak takut?" Sengaja Haris menggoda Hani.

"Enggak, lah," bantah Hani.

"Ya, udah. Aku pergi, ya?" tantang Haris.

"Iya," sungut Hani. Padahal dalam hati ia sangat takut kalau sampai Haris benar-benar pergi dari ruangan ini.

"Ya, udah. Aku pergi sekarang." Pemuda berhodie abu tua itu berdiri. "Awas di kolong ranjang ada ...."

"Ih, Haris!" seru Hani memotong perkataan Haris.

Pemuda itu malah tergelak lagi. Sepertinya, ia sangat menikmati mempermainkan kakak iparnya seperti itu. Saat Hani merajuk seperti itu memang di mata Haris, Hani semakin cantik dan lucu. Meski usia Hani susah menginjak kepala tiga, tetapi fisiknya sama sekali kelihatan sudah 30 tahun. Selain memang badannya yang mungil, wajahnya juga babyface.

"Gimana, mau aku temani apa berani sendiri?" goda Haris lagi.

Hani mendengkus kesal. Ia menyadari kalau pertanyaan Haris itu adalah pertanyaan jebakan.

"Terserah kamu!" ketus Hani pada akhirnya. Tak mungkin ia menahan Haris untuk terap ada di sini.

"Ya, udah, aku pulang," sahut Haris. Kemudian Haris mulai melangkah ke arah pintu.

"Iiih, Haris!" rajuk Hani pada akhirnya. Ia benar-benar takut kalau Haris sampai pergi betulan.

Haris pun menghentikan langkah dan berbalik ke arah Hani. "Katanya terserah aku?"

"Ih, kamu enggak peka!" sungut Hani.

Haris kembali tergelak. Ia begitu puas mengerjai Hani seperti ini.

"Ya ampun, Han! Kamu lucu banget, sih, kalau kayak gitu. Gemesin tau enggak?" ucap Haris sembari mendekat pada Hani. Bibir ranumnya kini tersenyum dengan lebar.

Hani memutar bola mata. Ia pura-pura malas menanggapi adik suaminya itu.

"Udah, ah! Aku mau tidur," ucap Hani dengan ketus.

Kemudian Hani menarik selimut agar lebih ke atas kemudian meletakkan kedua tangan di perut dan memejamkan mata.

"Ya, udah. Good night, nice dream!" ucap Haris.

Hani bisa merasakan Haris menepuk punggung tangannya. Pelan sekali. Terasa seperti dia takut melakukan itu, tetapi di sisi lain ia ingin melakukannya.

Sementara Hani memilih tak meresponnya. Karena disentuh adik suaminya seperti itu, membuat jantungnya seolah hendak melompat dari tempatnya.

"Jangan sentuh aku, Ris! Bisa-bisa aku tak bisa tidur karena sibuk menenangkan debaran yang tak tahu malu ini," batin Hani.

Setelah menunggu Hani beberapa saat tetapi Hani tak kunjung membuka matanya kembali, Haris pun memutuskan untuk tiduran di sofa yang sudah digelar di lantai.

Sementara Hani berusaha memaksakan diri untuk tertidur. Namun, ternyata tak semudah itu. Padahal ia masih sangat lemas.

Pikirannya justru melayang kemana-mana. Ada perasaan takut akan keberadaan Haris, tetapi juga tenang karena Hanj tak lagi menahan takut karena setan.

Namun, justru kini ia takut dengan perasaannya sendiri. Semakin kesini Hani merasa semakin nyaman dan membutuhkan Haris. Usahanya untuk menghindar darinya beberapa hari lalu, berbalik dengan apa hatinya rasakan. Apalagi saat sakit seperti ini.

Bagaimanapun Hani hanya wanita biasa. Ia pun butuh perhatian juga. Meskipun ia tahu, Rahman cinta kepadanya. Namun, sikap dingin dan acuh tak acuhnya membuat Hani akhirnya ada di sini sekarang.

Seandainya Rahman seperhatian Haris, tentu Hani akan lebih cepat sembuh. Tak akan sampai jatuh pingsan karena rumah yang berantakan.

"Ah, entahlah," gumam Hani dalam hati.

Hani pikir sudah pagi saat terdengar suara ribut-ribut. Matanya masih sangat berat untuk kembali terbuka. Karena baru saja beberapa saat ia akhirnya bisa tertidur.

"Cepat sekali pagi datang," batin Hani. Ia kemudian membuka mata dan sangat terkejut dengan kehadiran Rahman.

"Apapun alasanmu, kamu benar-benar lancang, Ris!" hardik Rahman pada Haris.

Mata Hani pun terbuka lebar saat melihat suaminya sedang memarahi Haris.

"Aku hanya ingin menemani Kak Hani, Bang. Aku tahu dia sepenakut apa. Aku yakin dia enggak akan bisa tidur kalau di sini sendiri," jelas Haris.

"Kamu suka istriku?" tanya Rahman tanpa berbasa-basi lagi. Karena ia merasa adiknya itu terlalu perhatian pada istrinya. Bahkan Rahman merasa itu sudah tidak wajah sebagai adik ipar.

Dada Hani berdegup kencang mendengar pertanyaan Rahman. Ia takut dengan jawaban yang akan Haris katakan. Hani takut mereka berdua menjadi bermusuhan hanya gara-gara dia yang sudah jelas lebih memilih Rahman suaminya. Karena bagaimanapun pernikahan itu bukan sesuatu yang bisa dengan mudah ia permainkan.

"Bang ...." Suara Haris melemah.

"Jawab, Ris! Kamu suka sama Hani? Kalian ada main di belakangku?" tuduh Rahman sembari menunjuk wajah Haris dengan jari telunjuknya.

"Bang, kamu salah paham," jawab Haris.

"Sejak kapan kalian main curang di belakangku? Sejak kapan?" pekik Rahman.

"Bang, sekali lagi aku bilang. Aku hanya kasihan sama Hani di sini sendiri. Aku tahu dia penakut sekali. Apa Abang enggak peduli?" Suara Haris meninggi.

Hani melihat jam di dinding masih jam dua pagi. Ia kemudian menegur Rahman dan Haris.

"Bang, Ris, ini masih dini hari!" tegur Hani. "Kita di rumah sakit, jangan bikin ribut!"

Rahman masih menatap Haris dengan tajam. Rahman masih tidak bisa menerima penjelasan adiknya. Ia merasa sangat marah saat berniat menemani Hani karena berpikir Haris sudah ada di kamarnya agar di rumah bisa menjaga Dinda tetapi malah berada di sini satu ruangan bersama istrinya.

"Kalau memang kamu cuma kasihan sama Hani, kenapa pergi diam-diam? Seolah mencuri-curi kesempatan seperti ini?" tanya Rahman lagi tak puas dengan jawaban Haris.

"Dengar baik-baik, ya, Bang! Semalam aku putuskan pulang karena kamu salah paham. Aku pikir, kamu bakal nginep di sini. Tapi, kamu malah pulang, Bang," ucap Haris dengan kecewa.

"Karena Dinda enggak boleh nginap di sini," jelas Hani. Ia tidak ingin Rahman dan Haris sampai bertengkar gara-gara salah paham.

"Alasan!" sinis Haris. "Emang kamu enggak bisa, Bang, setelah antar Dinda pulang balik lagi ke sini? Toh, aku di rumah."

Rahman hanya diam. Ia pun merasa telah salah.

"Tadinya aku pikir kamu bakal balik ke sini, Bang. Karena di rumah ada aku. Tapi, aku tungguin, kamu malah tidur di depan tivi. Gimana aku mau pamit? Terus sekarang seenaknya kamu nuduh aku ke sini diam-diam? Aku nutup pintu kamar dengan keras aja kamu enggak dengar!" geram Haris.

Rahman pun masih diam karena apa yang dikatakan Haris memang benar. Bahkan ia baru saja terbangun kemudian langsung ke sinu.

"Kalau emang aku punya niatan buruk sama Hani, sudah dari dulu, Bang. Aku kasihan liat Hani jadi istri kamu. Enggak tega ngeliat dia enggak pernah kamu bikin bahagia. Kalau kamu emang udah enggak sanggup jadi suaminya, serahin tugas itu padaku, Bang! Aku siap." Haris akhirnya mengeluarkan apa yang selama ini dipendamnya.

Hani dan Rahman pun sama sekali tidak menyangka kalau Haris akan mengatakan hal kurang ajar seperti itu.

"Maksud kamu apa?" Rahman pun semakin emosi.

"Kamu instrospeksi diri aja, Bang!" ucap Haris seolah tidak merasa bersalah dengan apa yang telah diucapkannya itu. Tanpa memedulikan Rahman, Haris akhirnya pergi begitu saja dari kamar rawat Hani.