Pagi ini Sharon sudah bersiap siap dengan pakaiannya yang rapi dari atas sampai bawah.
Ya hari ini adalah sidang dimana penentuannya dia akan lulus atau tidak di universitasnya.
Sebetul nya di hati kecil Sharon ia ingin sekali melihat wajah Carl untuk penyemangat dirinya maju sidang nanti.
Namun sepertinya tidak mungkin bukan ?
Carl bahkan sampai detik ini belom terlihat sama sekali batang hidung nya, bahkan Sharon yang pernah mencoba menanyakan pada pihak kampus tak ada satupun yang tahu keberadaan Carl, yang di dapatkan oleh Sharon hanya lah pernyataan bahwa Carl Loranson sedang mengambil cuti nya.
Sharon menghela nafas panjangnya berkali kali seolah berusaha menghilangkan rasa cemas dan sesak yang melapisi dadanya.
"Carl ... tak bisakah kau berada di hadapanku kali ini ?" cicit Sharon pelan menanyakan pada dirinya sendiri yang ia sendiri juga tak yakin dengan jawabannya.
Dengan malas Sharon melangkahkan kaki nya keluar dari kamar nya.
Ia tahu sahabatnya itu pasti kini sudah berada di ruang tamu.
"Yak kau lama sekali !" pekik Kyra dengan suara nya yang sudah menggelegar di seluruh ruangan.
"Ishhh ... kupingku pengang dengan suaramu yang melengking itu," ucap Sharon sambil menggosok kupingnya.
Kyra memutarkan maniknya malas seolah tak setuju dengan perkataan Sharon.
"Sudah lah ayo jalan, nanti kita terlambat," ucap Kyra pada akhirnya.
Sharon tak menjawab perkataan Kyra melainkan hanya mendengung, mengiyakan perkataan Kyra yang menurut nya saat ini sahabat nya itu terlalu berisik.
Kyra kali ini tak membawa mobil nya sendiri, melainkan ada supir yang membawa mobilnya.
Untuk itu Kyra dan Sharon berada di kursi belakang.
Kyra menatap wajah Sharon sejenak menelisik wajah Sharon baik baik.
'Hah ~~ sepertinya ia masih memikirkan pemuda yang tiba tiba menghilang itu ...,' benak Kyra merasa kasihan pada Sharon.
"Shar, bagaimana jika setelah sidang kita berlibur ? Biar otak mu lebih fresh dari sebelumnya, dan bisa mendapat pencerahan," ucap Kyra antusias.
Sharon menatap Kyra sejenak, dan menatap baik baik wajah Kyra.
Sharon sadar pasti sahabatnya itu mencemaskan dirinya.
Ia mengambil nafas dalam dalam dan akhirnya mengangukan kepalanya pelan menyetujui ajakan Kyra itu.
Toh mungkin ucapan Kyra benar, bisa saja pikiran, dan hatinya jauh lebih baik.
"Terimakasih," cicit Sharon pelan pada Kyra.
Kyra tersenyum tipis, dan menggenggam tangan Sharon.
"Kau tak perlu berterimakasih padaku, kita sahabat bukan ?" ucap Kyra tulus.
Manik Sharon seketika berkaca kaca mendengar perkataan Kyra tersebut.
Sungguh hatinya merasa menghangat dan tersentuh atas ucapan Kyra tersebut.
Sharon spontan memeluk sahabat nya itu, ia bersyukur mendapatkan sahabat yang sangat menyayanginya dan mengerti dirinya.
"Sudah berhenti manja seperti ini, kita akan sidang kali ini, nanti apa yang kau ingat malah terbang semua dari ingatanmu itu," ucap Kyra menenangkan Sharon.
Sharon tak dapat berkata apa apa melainkan menganggukan kepalanya saja sebagai jawaban.
Bibirnya terkatup rapat tak berani mengeluarkan suaranya sedikit pun.
'Terimakasih,'
***
Seorang pria paruh baya tampak menghela nafasnya berkali kali, kantung manik nya yang menghitam, dan rambutnya yang berantakan.
"Carl ...," lirih pria paruh baya itu yang kini duduk di ruang tunggu rawat ICU.
Sungguh hatinya sakit, beberapa kali mendengar putranya dilakukan tindakan karena yang tiba tiba saja dalam keadaan kritis.
Seorang dokter dengan jas putih nya baru saja keluar dari ruangan Carl berada.
"Kau orang tua pasien atas nama Carl ?" tanya dokter tersebut.
Reynand menganggukan kepalanya pelan.
"Mari ke ruangan saya, ada yang harus saya bicarakan dengan anda," ucap dokter tersebut pada Reynand.
Dengan anggukan lemah Reynand pun mengikuti arahan dokter tersebut.
.
.
"Duduklah," ucap dokter tersebut pada Reynand.
Reynand pun langsung mendudukkan dirinya lemah dibangku yang sudah di persilahkan oleh dokter tersebut.
Dokter tersebut tampak menatap lekat wajah Reynand sejenak, dan setelah nya mengeluarkan sebuah kartu nama.
Reynand mengerutkan alisnya bingung.
Ia tak tahu maksud tujuan dokter tersebut mengeluarkan kartu nama tersebut.
Dokter tersebut menatap lekat wajah Reynand.
"Ini kartu nama sahabat saya yang sedang melakukan penelitian terapi baru mengenai penyakit yang di derita anak anda, siapa tahu anda berminat membawa nya kesana, saya telah berdiskusi dengannya, dan masih ada peluang untuk Carl," ucap Dokter itu panjang lebar pada Reynand.
Reynand menatap lekat manik sang dokter, perlahan cairan bening dari manik Reynand membasahi pipinya.
"Terimakasih kau sudah mencari alternatif untuk putraku," ucap Reynand sambil menggenggam tangan dokter tersebut.
"Jangan berterimakasih padaku, ini kewajibanku sebagai dokter untuk memberikan yang terbaik untuk putramu," ucap dokter tersebut.
Reynand tak peduli, melainkan ia terus mengucapkan terimakasih pada sang dokter.
Dokter tersebut hanya dapat menepuk pelan tangan Reynand, dan mengatakan pada Reynand mengenai prosedur yang harus dilakukan oleh Reynand.
Dengan antusias nya Reynand mengiyakan semua prosedur yang ada.
Reynand juga tak mempedulikan harus berapa banyak biaya yang keluar, di fikirannya hanya satu, yaitu putranya yang nanti nya akan kembali normal, dan beraktifitas layak nya anak anak lain.
'Carl ... kau harus yakin pada Dad ... kau akan sembuh, setelah ini kita kesana ya Carl,' benak Reynand.
———-
Leave Comment, and Vote