Dirga menghindari lemparan Amel, wanita itu terlihat berkacak pinggang di ruang tamu, wajahnya merah menahan amarah.
"Ngapain kamu pulang? Sekalian nggak pulang saja!" Amel masih mengomel, Dirga masih diam, dia tidak mau membalas Amel yang marah-marah.
Dirinya sudah terlalu pusing, di tambah rasa bersalah kepada wanita itu.
Dia hanya menunggu sampai Amel berhenti mengomel dan melangkah masuk kedalam kamar. Namun, sepertinya Amel belum mau berhenti, dia mulai mengomel seperti biasa, bahkan kini Dirga mendengar suara istri pertamanya seperti suara petasan yang meledak-ledak.
"Sudah omelannya?" tanya Dirga, ketika Amel berhenti untuk menarik napas, terlihat tubuh wanita itu juga bergetar karena menahan marah.
"Kamu yah, bukannya minta maaf, malah diam saja, apa kamu nggak punya hati?" tanya Amel.
Dahi Dirga mengkerut, dia tak terima jika di bilang tak punya hati. Seandainya dia memang nggak punya hati, sudah sejak lama dia meninggalkan Amel. Buktinya, dia masih bertahan dengan wanita itu, bahkan dia masih mencintainya.
"Kamu ngomong apa sih? Aku nggak ngerti, orang baru datang, kamu langsung marah-marah." Dirga mulai berbicara, dia bosan diam terus.
"Ya, bagaimana aku nggak marah-marah, kalau aku pulang, suamiku nggak di rumah, terus pas aku telpon, aku dengar suara wanita, terus hapenya di nonaktifkan, sampai sekarang!" Amel mengeluarkan unek-uneknya.
"Hem, cuma gara-gara itu kamu marah? Apa kamu nggak bisa nanya baik-baik ke aku?" tanya Dirga. Dia memang orang paling tidak suka kalau ada orang yang marah tidak jelas.
"Cuma katamu?" Amel berteriak, dia maju dan menarik tangan Dirga.
"Apa kamu tidak ingat kalau kemarin itu hari apa?" tanya Amel, urat berwarna biru mencuat dari lehernya yang putih.
"Memangnya kemarin hari apa?" tanya Dirga balik.
"Kamu memang, brengsek! Kemarin itu ulang tahun pernikahan kita! Aku sengaja pulang lebih awal, supaya kita bisa merayakan nya bareng, ternyata kamu malah nggak ada!" Amel berteriak, suaranya bergetar, tak lama air mata turun membasahi pipinya.
Mata Dirga membulat, dia lupa, padahal dia sudah menyiapkan sebuah cincin untuk Amel pas perayaan ulang tahun pernikahan mereka. Namun, cincin itu yang di berikan kepada Aisyah, sebagai mas kawin.
"Sebenarnya, kamu masih sayang nggak sih?" tanya Amel lagi, kini wajahnya terlihat sangat menyedihkan.
"Ya, bagaimana aku bisa ingat, kalau kamu aja jarang di rumah. Jangan salahkan aku dong, kalau aku tiba-tiba ada kelas mengajar di luar daerah!" Dirga memberi alasan, dia tak ingin di salahkan.
"Mas, kamu ini memang terlalu, bukannya minta maaf, malah kamu nyalahin aku. Kamu tau sendiri, aku ini wakil rakyat, ingat wakil rakyat, jadi mau tidak mau, aku harus lebih banyak berinteraksi dengan rakyat yang membutuhkan." Amel mengelak dengan alasan yang tidak masuk akal menurut Dirga.
"Dengar yah, kamu memang wakil rakyat. Tapi, yang kamu harus ingat baik-baik, pekerjaan utama kamu itu mengurus suami, bukan mengurus rakyat! Tugas mengurus rakyat itu sudah ada presiden. Apa kamu nggak mikir, ngurusin aku seorang diri aja kamu nggak bisa, ini sok-sokan ngurusin rakyat!" Dirga meninggalkan Amel setelah mengatakan itu.
Emosinya benar-benar diuji, bukannya di sambut dengan pelukan dan ciuman, Dirga malah di sambut dengan pas bunga terbang.
Dia lalu mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi, dia ingin merilekskan badannya dengan mandi air hangat.
Dirga masuk kedalam bathub, dia memejamkan mata, menikmati air hangat yang menyentuh tubuhnya, pikirannya melayang, memutar kembali kenangan bersama Amel.
Lelaki itu tak bisa memungkiri, kalau rasa cinta di hatinya untuk Amel masih sangat besar, dia hanya muak dengan sikap dan tingkah istrinya itu.
Aroma terapi yang menguat dari dalam air, membuat tubuh dan pikiran Dirga rileks, setelah hampir satu jam berendam, dia kini sudah lebih segar.
Saat keluar, dia mendapy Amel sudah tertidur, nampak napasnya teratur. Dirga mendekati istrinya itu, dia menatap wajah cantik Amel, bekas air mata masih meninggalkan jejak di pipi dan sekitar matanya.
Tangan Dirga menyentuh pipi istrinya, lalu mengusap lembut bekas air mata tersebut. Perasaan bersalah mulai menderanya, selama menikah, dia tak pernah melupakan tanggal lahi dan tanggal pernikahan mereka. Bari kali ini saja, Dirga sama sekali tak mengingatnya.
Dirga segera menjauhkan tangannya ketika Amel menggeliat, dia tidak mau ketahuan kalau sedang memandangi wajah istrinya. "Sayang, apa kamu tidak mengerti, kalau aku merindukanmu!" bisik hati Dirga.
Sisi kelelakian Dirga mulai terusik, entah sudah berapa lama dia menahan hasrat yang seharusnya di salurkan, Dirga bangkit, segera berpakaian dan meninggalkan rumah dan Amel yang sedang tertidur.
Dirga mendatangi rumah istri keduanya, saat dia datang, pak Imran sedang menerima tamu, sehingga Dirga hanya mengucapkan salam, berbasa-basi dengan menyapa mertuanya dan tamunya, lalu langsung naik ke kamar istrinya.
Dirga mengetuk pintu, namun tak ada jawaban, dia memutar grendel pintu, ternyata tidak di kunci, dia membuka pintu, lalu masuk dan duduk di tepi tempat tidur. Terdengar suara gemericik air dari kamar mandi.
Tak berapa lama, terdengar bunyi pintu di buka dan Aisyah hanya keluar memakai handuk. Mata Dirga membulat, mulutnya mengangga dan senyum terbersit dari bibirnya, ketika melihat istri keduanya hanya menggunakan handuk yang panjangnya di atas lutut.
Aisyah yang tidak menyadari kehadiran Dirga, melangkah dengan santainya ke depan lemari, dia membuka lemari memili pakaian yang akan di pakainya.
Dada Dirga bergemuruh, ketika Aisyah menjatuhkan handuk yang membelit tubuhnya, lalu mengenakan pakaian.
"Ayo, dekati dia, peluk dari belakang, kmau berhak, itu istri kamu!" bisikan terdengar di telinga Dirga, wajahnya tak bisa berbohong jika dia menginginkan tubuh mulus yang sedang terpajang di depannya itu.
Namun, entah karena apa, Dirga hanya menyaksikan Aisyah melakukan aktivitas sehabis mandi, dia sesekali tersenyum ketika melihat Aisyah melakukan tingkah yang menurutnya lucu.
"Astaghfirullah!" teriak Aisyah, ketika dia berbalik dan melihat Dirga sudah duduk di tempat tidur dan sedang memandangnya.
"Se— jak, sejak kapan Om ada di situ?" tanya Aisyah, wajahnya berubah pucat, apalagi ketika melihat ekspresi Dirga.
Dirga tak menjawab kata-kata Aisyah, dia malah bangkit dan mendekat ke arah istrinya itu.
Aisyah gemetar, wajahnya semakin pucat. "Om, mau apa?" tanya Aisyah ketika Dirga sudah berada di depannya, Aisyah mundur hingga dirinya tak josa lagi mundur karena di belakangnya ada lemari.
"Om, jangan macam-macam yah, Om. Aku bisa teriak," ucap Aisyah panik.
Dirga tersenyum, dia berusaha setengah mati menahan tawanya, melihat ekspresi ketakutan Aisyah.
Lelaki itu mengurung Aisyah dengan kedua tangannya yang bertumpu di lemari, Aisyah menunduk, ketika wajah Dirga semakin dekat kepadanya.
"Om, jangan Om, aku mohon!" ucap Aisyah lirih.
Dirga mendekatkan bibirnya di telinga Aisyah, membuat gadis itu mematung.
"Plis, jangan Om!"