webnovel

SECOND TIME

Mario Pratama, Mahasiswa UI yang meninggal terbunuh di rumahnya sendiri. Mendapat kesempatan kedua untuk menemukan siapa pembunuhnya karena polisi telah menutup kasus ini sebelum kasusnya selesai. Alifya Zahranti, salah satu siswi SMA PERMATA di Jakarta. Hidupnya menjadi berubah semenjak bertemu dengan pemuda aneh dan tampan yang meminta bantuannya untuk mengungkap kasus kematiannya.

dian_nurlaili · Teen
Not enough ratings
18 Chs

Part 1

Jika saja manusia, mungkin jam beker itu sudah kehabisan suara. Sudah lebih dari tiga puluh menit yang lalu jam beker itu berbunyi tapi gadis yang meringkuk dibalik selimut itu masih asik dengan dunia mimpinya.

"Allahu Akbar, Ify! Ini sudah jam berapa kamu belum bangun?" Seruan wanita paruh baya yang menjabat sebagai Ibunya itu hanya memberikan efek menggeliat untuk Ify.

"Kamu nggak sekolah, hah?" Gina selalu habis kesabaran jika menghadapi putrinya yang sedang tidur. Ibarat kata geledek dan guntur mengamuk, itu tak akan membuat Ify meninggalkan mimpinya untuk mengungsi.

Dengan cepat, Gina membuka tirai jendela hingga cahaya matahari mulai menyinari kamar Ify membuat sang empunya menggeliat karena silau. Saat Ify bermaksud untuk bersembunyi di dalam selimut, Gina segera menarik selimut hingga Ify terganggu dan membuka matanya.

"Apa sih, Ma. Ify masih ngantuk," gerutu Ify dengan mata yang masih setengah terpejam.

"Kamu nggak sekolah, hah? Lihat ini jam berapa!" Gina berkacak pinggang menatap putri sulungnya yang menggeliat malas lalu meraih jam beker dan melihatnya.

Dua detik dalam keheningan sebelum mata Ify terbelalak lebar. Jarum jam di beker menunjukkan pukul 06.40.

"Kyaaaaaaaa!!!!! Ify telat! Kenapa Mama nggak bangunin Ify, sih?" Dengan gerakan super cepat, Ify segera menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi, meninggalkan Ibunya yang hanya bisa mengurut dada melihat kelakuan Ify yang tidak pernah berubah sejak kecil.

Hanya dalam waktu sepuluh menit, Ify sudah turun dengan tangan yang masih menenteng dasi. Langkahnya terburu-buru karena waktunya tinggal sepuluh menit lagi sebelum bel berbunyi dan pagar sekolah di tutup.

"Fy, sarapan dulu!" teriak Gina saat melihat Ify sudah berlari keluar rumah. Sarapan yang sudah ia siapkan sama sekali tak dilirik oleh Ify.

"Nggak sempet, Ma!" Teriakan Ify sudah terdengar sayup dengan derum motornya.

****

"Plisss Pak, bukain pagarnya! Pak Sholeh kan baik," rayu Ify kepada satpam sekolah agar berbaik hati membuka pintu gerbang untuknya. Meski sudah melajukan kecepatan motor secepat yang ia bisa, tapi tetap saja masalah kemacetan menjadi faktor utama kenapa Ify tidak bisa datang tepat waktu. Padahal jika kondisi normal, Ify bisa sampai di sekolah hanya dalam waktu delapan menit, tak peduli meski jarum spedometer hampir menyentuh angka sembilan puluh.

"Maaf, Non. Tapi ini sudah sepuluh menit yang lalu bel berbunyi," sahut Pak Sholeh yang sepertinya sudah bosan dengan rengekan Ify.

"Ayolah, Pak! Hari ini Ify ada ulangan Fisika, Pak Sholeh tahu sendiri bagaimana jahatnya Pak Duta kalau menyiksa muridnya." Ify mengatupkan kedua tangannya di depan dada, memasang wajah memelas yang begitu meyakinkan.

Pak Sholeh mendesah pasrah, pada dasarnya Pak Sholeh terlalu baik untuk menjadi satpam. Apalagi untuk murid seperti Ify yang hobinya terlambat.

"Baiklah! Tapi ini untuk terakhir kalinya terlambat ya, Non!" ujar Pak Sholeh sambil membuka pagar.

"Makasih Pak Sholeh yang Sholeh," sahut Ify cepat lalu melesat masuk meninggalkan Pak Sholeh yang hanya mampu menggelengkan kepalanya.

Ify berhenti di ujung koridor, memeriksa keadaan siapa tahu ada guru piket yang sedang berkeliling. Saat merasa suasana sudah aman, Ify segera melanjutkan langkahnya menuju ke kelasnya yang  tinggal beberapa meter lagi.

Sampai di depan kelas, Ify mengintip dari kaca jendela untuk memastikan jika Pak Duta tidak memperhatikan dirinya yang sedang mengintip.

Dengan langkah hati-hati, Ify mulai masuk ke dalam kelas setelah sebelumnya memberi isyarat kepada teman-temannya untuk diam.

Satu langkah lagi Ify duduk saat sebuah tangan menjewer telinganya.

"Siapa yang menyuruh kamu masuk kelas, hah?!" Ify meringis dan membalikkan badannya melihat Pak Duta yang sudah melotot seseram yang ia bisa meski orang yang melihatnya seperti melihat badut Jepang. Matanya yang sipit tetap terlihat sipit meskipun Pak Duta melotot selebar yang ia bisa, belum lagi hidungnya yang agak bulat kembang kempis dan memerah menahan marah.

"Hehehe, Pak Duta ... apa kabar, Pak?" Ify meringis sambil memegang telinganya yang terasa panas. Terdengar cekikikan dari teman-temannya. Belum lagi Agni yang berada di sampingnya tengah berpura-pura membaca buku meski sangat terlihat jika ia menahan tawa.

"Kabar saya buruk karena murid yang sering terlambat seperti kamu, berapa kali Bapak bilang jangan terlambat? Ini sekolah bukan punya kamu Alifya Zahranti!"

Ify meringis dan mengumpat di dalam hati. Ia harus rela untuk menerima hukumannya nanti.

"Sekarang keluar dan bersihkan taman belakang sekolah, tiga puluh menit lagi bapak akan mengecek kesana, kalau sampai dalam tiga puluh menit hukuman kamu belum selesai, hukuman kamu akan bapak tambah."

Ify mengangguk lesu, kesialan untuk kesekian kalinya. Hampir setiap hari Ify selalu dihukum untuk keterlambatannya. Terkadang Ify berpikir untuk meminta gaji kepada kepala sekolah karena sudah berjasa membersihkan area sekolah dan meringankan pekerjaan tukang kebun.

"Satu lagi, jangan coba-coba untuk kabur atau orang tua kamu akan saya panggil ke sekolah," lanjut Pak Duta sebelum kembali ke depan kelas.

"Sabar ya, Fy! Aku bantu doa aja." Agni tersenyum geli melihat wajah Ify yang sangat kusut.

"Puas?!" sergah Ify lalu meletakkan tasnya dan berlalu keluar kelas diiringi dengan tawa tertahan dari teman-temannya. Jika saja mungkin, Ify ingin menyumpal satu persatu mulut temannya agar tidak bisa tertawa di atas penderitaannya.

Dengan sapu dan pengki yang ada di tangannya, Ify mulai berjalan ke taman belakang sekolah. Perutnya yang belum terisi keroncongan minta diisi. Langkah Ify berhenti di depan kantin, menimbang-nimbang haruskah ia sarapan dulu atau mengerjakan hukumannya. Harum bau masakan mbok Yanti membuat Ify semakin kelimpungan menahan perutnya yang keroncongan. Setelah melihat kanan dan kiri, Ify mulai menyelinap masuk dan menghampiri mbok Yanti.

"Mbok, soto ayamnya satu porsi  sama es jeruk, ya!"

"Loohh, Neng Ify! Terlambat lagi?" tanya Mbok Yanti yang sudah hapal dengan kebiasaan Ify yang sering terlambat.

"Hehehe ... ya gitu deh, Mbok," sahut Ify dengan cengiran lebarnya lalu memilih tempat duduk.

Tak lama kemudian, satu porsi soto ayam yang masih mengepul terhidang di depannya. Bau harum yang menusuk hidung membuat Ify semakin tak sabar untuk segera memindahkan soto itu ke dalam perutnya.

Hanya dalam waktu lima menit, soto itu sudah tandas. Setelah membayar, Ify segera menuju taman belakang sekolah yang secepatnya harus ia bersihkan sebelum ia terkena kesialan berikutnya.

Ify memandang taman belakang sekolah yang luasnya hampir selebar lapangan futsal. Cukup untuk memeras keringat.

"Tenang, Ify! Anggap saja ini olahraga pagi, semangat!!" Ify memberikan semangat untuk dirinya sendiri dan segera menyapu, mengumpulkan daun-daun kering yang berserakan untuk di bakar oleh tukang kebun sekolah nanti.

Dua puluh menit waktu yang dibutuhkan Ify untuk membersihkan taman belakang sekolah. Saat ini seragam sekolahnya sudah kusut dengan keringat yang membanjir. Rambutnya lepek sehingga Ify memilih untuk menggulungnya agar terlihat lebih segar.

Ify baru saja mendudukkan dirinya di bangku taman yang berada di bawah pohon yang rindang. Semua badannya terasa pegal sehingga ia memilih untuk sedikit bersandar. Angin sepoi yang sejuk membelainya, membuat mata Ify berat seketika.

Sebelum matanya benar-benar terlelap, ia bisa merasakan kursi di sebelahnya di duduki seseorang, tetapi kantuk yang menyerangnya tak bisa lagi ia elakkan sehingga tak membutuhkan waktu lama, ia sudah berada di alam mimpi.

****

Saat membuka mata, hanya satu hal yang ia lihat, yaitu warna putih yang tak berujung. Pakaian yang ia pakai bahkan berwarna putih. Otaknya berpikir keras tentang tempat dimana ia berada sekarang. Menatap ke atas hanya ada langit, kebawah tempat yang ia pijak bahkan tidak bisa disebut lantai, ia bukan berada di dalam ruangan. Entah dimana ia berada karena sejauh mata ia memandang hanya warna putih yang mampu ia lihat.

Otaknya memutar mundur ke belakang mengingat kejadian yang baru saja menimpanya. Suasana romantis dan suara tembakan, perlahan ingatannya kembali. Saat dimana ia merayakan anniversary hubungannya, bahagia yang ia rasakan hanya sekejap saat ia memeluk kekasihnya untuk melindungi dari seseorang yang berniat untuk melepaskan tembakan. Tak banyak yang bisa ia ingat, hanya rasa sakit yang teramat sangat saat sebuah peluru bersarang di kepalanya. Saat itu, ia merasa semua tulangnya rontok dan perlahan semua inderanya tak berfungsi. Suara kekasihnya yang memanggil-manggil pun terasa semakin jauh bersama kesadarannya yang semakin menghilang.

"Apa aku sudah mati?" Bisiknya pada dirinya sendiri.

Saat itu juga, tubuhnya melemah dan terduduk setelah menyadari kemungkinan yang ia alami. Berbagai kelebatan ingatan tentang keluarga, teman dan kekasihnya membuatnya semakin dalam menundukkan kepalanya.

Pemuda itu mendongakkan kepalanya saat merasa kepalanya diusap seseorang. Seorang pemuda yang sedikit lebih tua darinya tersenyum teduh.

"Jangan takut, Rio! Kita akan bahagia di sini." Pemuda itu berucap.

"Kak Axel," bisik Rio dengan suara serak menahan haru.

Pemuda bernama Axel itu mengangguk lalu memeluk adiknya yang mulai terisak.

"Rio kangen Kak Axel," bisik Rio di sela isakannya.

Kakaknya yang sudah berpulang lebih dulu sejak lima tahun yang lalu menyisakan luka yang mendalam bagi Rio. Selama ini, hanya Kakaknya yang selalu ada untuknya. Sementara orang tua mereka terlalu sibuk dengan urusan dunia. Keadaan itu diperparah dengan meninggalnya Axel, mereka saling menyalahkan, tak ada yang mau mengalah bahkan saat Rio hanya mampu terisak di pojok kamar, tak ada yang pernah peduli.

Sejak saat itu, orang tua Rio semakin jarang pulang ke rumah. Rio pun berubah menjadi pribadi yang dingin dan tak tersentuh sebelum Dea datang dan perlahan meruntuhkan sedikit demi sedikit dinding es yang ia bangun.

"Apa aku sudah mati?" tanya Rio setelah ia mampu menguasai dirinya sendiri.

Axel tersenyum dan membimbing Rio untuk berdiri. "Mulai sekarang, kita akan terus bersama, kita akan bahagia di sini. Sebelum itu, ada tugas yang harus kamu selesaikan di dunia. Temukan siapa orang yang sudah membunuhmu dan tolong buat Mama dan Papa akur lagi."

Belum sempat Rio berkata, Axel sudah menutup mata Rio hingga perlahan Rio merasakan kesadarannya mulai menipis.

****

See u next chapter 👋👋

Thanks

_Dee

Sidoarjo, 06 Maret 2020