webnovel

Second Love

Setelah tujuh tahun, akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Dengan status yang berbeda.

Yoelfu · Urban
Not enough ratings
372 Chs

(9). Belum Melupakan

Qiana

'I love you.' kalimat itu rasanya seperti kaset rusak yang terus berputar tanpa henti. Aku mengeluh pada hatiku, kenapa dia harus lemah dengan tiga kata yang terdengar sederhana. Bahkan ini sudah terhitung beberapa hari berlalu, tapi kepalaku seolah terus mengingatkan hari dimana Davie mengatakan kalimat itu dengan mudahnya.

Bahkan setiap aku tidak melakukan apapun, otakku seperti di setting secara otomatis untuk mengingatnya. Sedangkan Davie? Entah dimana dia sekarang. Karena dia tidak muncul lagi setelah kejadian itu. Ada sedikit rasa penasaran dan juga rindu yang nyelinap di hatiku sekarang. Ternyata cintaku bisa menghapus rasa benciku kepadanya.

Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi, kembali lemah karena perlakuannya yang seenaknya sendiri. Bahkan sekarang aku sering menginap di apartemen karena berharap dia akan tiba-tiba datang. Bodoh, itulah satu kata yang pantas aku sandang sekarang. Aku ngerasa menjadi perempuan gampangan yang mudah luluh hanya karena ucapan cinta.

Aku hanya bisa berusaha mengendalikan hatiku agar perasaan 'kurang ajar' itu nggak berkembang semakin dalam. Aku harus bisa menjaga perasaan Bang Rado, karena keputusan untuk 'mencoba' menjalin hubungan 'lebih baik' dengannya.

"Qi!" aku tersadar dari lamunanku karena panggilan yang begitu familiar itu. Bang Rado udah ada di depan mejaku dengan wajah seperti biasa, tampan.

"Ngelamunin apa sih? Dari tadi aku panggilin nggak nyahut-nyahut." Dan ucapan dari tadi yang ditakatakan oleh lelaki itu menandakan jika Bang Rado sudah datang sejak tadi di sini dan kegiatan melamunku juga sudah lama terjadi. Benar-benar.

"Sorry, Bang. Lagi banyak pikiran." Aku tersenyum berusaha terlihat baik-baik saja. "Kenapa? Apa ada masalah?" tanyaku lagi.

"Nggak kok. Pengen dateng aja keruangan kamu. Eh ternyata kamu malah nggak konsen." Aku meringis sedih karena ucapan Bang Rado, ngerasa berdosa karena aku memikirkan orang lain.

"Kamu udah selesai dengan kerjaan kamu?" dia kembali bertanya karena lagi dan lagi pikiranku nggak fokus sama sekali.

"Belum kok, Bang, masih ada sebagian yang belum aku kerjain."

"Oh! Ngomong-ngomong, Qi, besok malam kamu ada acara nggak?"

"Sejauh ini belum ada acara. Kenapa?"

"Besok ulang tahun mama. Memang tidak mengadakan acara besar, tapi untuk sekedar makan malam, kamu bisa datang kan?

Aku menganggukkan kepala untuk menjawab ucapan Bang Rado. "Boleh." Kataku. Kemudian aku berfikir untuk membelikan kado untuk perempuan tersebut. Tidak mungkin aku datang dengan tangan kosong bukan?

"Kalau gitu aku keruanganku dulu ya, banyak kerjaan. Jangan lupa makan siang." Dia berdiri dan membenarkan kemejanya yang sudah rapi dan memberiku hadiah senyuman manisnya kemudian keluar dari ruanganku. Dia nggak bahas lagi masalah di mall tempo hari.

Bang Rado, apa usaha kita yang masih tahap awal ini bisa berjalan dengan baik, sedangkan ada orang lain yang kembali mengobrak-abrikkan hatiku yang masih tahap pemulihan. Aku takut aku menyakitinya. Aku takut mengecewakannya.

°•°

Setelah pulang kerja, aku menyeret kakiku untuk bisa pergi ke Mall dan membeli kado untuk mama, Bang Rado. Sekalian memanjakan mataku melihat beberapa pakaian atau barang-barang yang disukai kaum perempuan.

Aku melihat-lihat beberapa barang yang kurasa cocok dipakai oleh wanita paruh baya dan jelas tidak terllihat norak. Tapi bahkan aku sudah berkeliling belum juga memantapkan pilihan akan membelikan apa. Sepatu? Aku nggak tahu ukuran kakinya. Baju pun sama. Tas? Udah biasa.

Niatnya akan membeli kado malah aku sendiri yang membeli barang-barang untuk diriku sendiri. Aku masih melangkahkan kakiku berusaha mencari dan berfikir kado apa yang tepat saat mataku melihat toko perhiasan. Aku kembali mencoba peruntungan dengan melihat di dalam sana.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" Aku langsung disuguhi pertanyaan saat aku baru datang di toko tersebut oleh salah satu karyawan di sana.

"Mau mencari sesuatu, Mbak, untuk kado." karyawan tersebut tersenyum sopan.

"Silahkan. Untuk pernikahan, ulang tahun, atau... "

"Ulang tahun tante." Aku menyela sebelum dia menyelesaikan ucapannya.

"Ini barang baru, Mbak." Dia mengeluarkan beberapa perhiasan mulai dari giwang, cincin, sampai bros baju yang terlihat cantik. "Ini model baru di toko kami, Mbak." Tunjuknya pada perhiasan-perhiasan tersebut, "kalau menurut saya, biasanya perempuan paruh baya lebih suka giwang atau bros." Katanya melanjutkan.

Aku mengangguk dan melihat lebih detail beberapa perhiasan yang sudah dikeluarkan dari etalase toko tersebut. "Bagaimana kalau ini?" karyawan itu menyerahkan bros berukuran sedang dengan bentuk yang sederhana tetapi elegan. Ya, mungkin aku bisa memberikan itu kepada mama bang Rado.

Dan juga Bunda, aku sudah lama tidak memberikan hadiah untuk perempuan yang telah melahirkanku itu. Kado sudah dapat, saatnya aku berisitirahat terlebih dulu sebelum malam nanti aku datang ke kediaman Bang Rado.

°•°

Dan malam ini akhirnya tiba. Aku dijemput oleh Bang Rado di apartemenku. Dia bilang 'cewek cantik nggak boleh pergi sendirian' dan itu buat aku tersenyum. Cowok cakep ini memang bukan tipe pria yang suka ngegombal ke sembarang cewek. Dia pernah bilang 'hati cewek itu mudah baper, jadi sekali digombalin bisa-bisa galaunya berhari-hari' jadi itulah alasannya dia selalu menjaga sikapnya supaya nggak sembarangan.

"Qiana!" panggilan heboh dari seorang perempuan itu langsung tertangkap oleh telingaku ketika aku sudah datang ke tempat tujuan. Seorang perempuan cantik itu mendekatiku dan tersenyum lebar.

"Hai, Kak." Sapaku. Kami berpelukan sebentar.

"Kok makin cantik sih aja sekarang?" tatapan perempuan itu langsung mengarah ke mataku.

"Terima kasih, Kakak juga makin cantik." Kami saling memuji setelah lama tak bertemu. Sungguh, dua bersaudara itu memang memiliki visual yang luar bias.

"Loh, udah dateng?" Sebuah suara membuatku menoleh dan tersenyum ketika mendapati ibu Bang Rado mendekati kami.

"Malem tante." Aku mengambil tangannya dan menciumnya. Beliau mengusap pelan pundakku dan memujiku seperti yang dilakukan oleh putrinya.

"Masakannya belum diselesakan semua, Tante selesaiin semua dulu ya." Aku mengangguk dan membiarkan beliau pergi ke dapur. Seharusnya meskipun hanya basa-basi, aku mengatakan untuk membantunya, tapi aku tidak melakukannya.

"Lea, salim sama Ante Qi dulu." Kak Rida menginterupsi Lea yang masih asik dengan mainannya. Kami sudah duduk di sofa, dan mulai mengobrol. Lea datang dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman kepadaku.

"Hai cantik," sapaku. "Lea main apa sih? Kok ante nggak diajak?" aku berusaha membuka percakapan dengan gadis kecil itu dan disambut dengan baik oleh Lea. Dia bukan bocah yang pemalu terbukti dengan jawaban yang diberikan.

"Main boneka." Jawabnya, Aku mengajak gadis kecil itu untuk ku pangku dan dia sama sekali tak berontak. Aku suka dengan bocah yang seperti itu. Bahkan ketika kami mengobrol saja dia tak sibuk dengan kerewelannya.

Keluarga Bang Rado adalah keluarga yang hangat. Dan rasa nyaman berdekatan dengan keluarga tersebut memang akan wajar terjadi.

"Qi!" kami sudah selesai makan malam.

"Ya tante." Kami hanya berdua karena Bang Rado pamit ke kamar entah melakukan apa. Sedangkan Kak Rida menidurkan Lea.

"Terima kasih ya kadonya, cantik banget." Aku tersenyum menanggapi ucapan tante yang sedang melihat bros yang aku berikan kepadanya.

"Tante suka?"

"Suka banget." Sebuah kebangggaan ketika apa yang kita berikan kepada seseorang disukai oleh orang tersebut. Kami mengobrol tentang banyak hal. Dan tidak ada kecanggungan sama sekali.

"Aku antar sekarang?" Suara Bang Rado terdengar dan ternyata lelaki itu menuruni tangga dari lantai atas.

"Boleh." Aku menyetujui, "Aku pulang dulu ya, Tante." Kataku meskipun belum beranjak dari sofa.

"Terima kasih sudah datang, Nak. Kalau memang ada waktu luang, sempatka lah main-main kesini." Katanya. Aku mengangguk.

"Iya, Tante." Jawabku.

"Qi!" panggilnya lagi, "Rado sudah mengatakan semuanya kepada Tante tentang rencana orang tua kamu." Sejak tadi memang tidak ada pembicaraan masalah ini. Aku kira kami tidak pernah membahasnya dulu. "Jalani saja pelan-pelan. Tidak usah terburu-buru." Aku tak tahu harus mengatakan apa selain senyum yang aku berikan kepada beliau.

°•°•°

Yoelfu