webnovel

Second Love

Setelah tujuh tahun, akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Dengan status yang berbeda.

Yoelfu · Urban
Not enough ratings
372 Chs

(7). Cinta 

Davie

Aku melangkahkan kakiku dengan lebar ke arah mobilku yang terparkir di parkiran mall, amarah menguasaiku. Aku nggak bisa mengendalikan emosi yang siap meledak. Melihat Qiana bersama pria lain membuat hatiku bergejolak. Aku tidak tahan lebih lama melihat pemandangan menyesakkan seperti itu. Shit.

Aku masuk ke dalam mobil dan menelungkupkan wajahku diatas stir. Aku ingin memukul apapun yang ada di sekitarku, Tuhan bener-bener mengujiku. Pintu sebelah kiriku terbuka dan Devie duduk dengan gaya angkuhnya, seolah nggak pernah terjadi apa-apa.

"Abang kok tega ninggalin aku sih?" Dia ngomong dengan gaya elegannya. Aku nggak ingin menjawab dan membuat emosiku meluap. Kenapa dia bisa bersikap biasa saja. Tapi ya, disini hanya aku yang memiliki masalah karena melihat Qiana jalan dengan cowok lain.

"Abang mau nginap sini?" aku menengokkan kepalaku kesamping kiri, memicingkan mata ke arah Devie. Dia harusnya tahu kalau hatiku benar-benar kacau. Tapi dia malah menatapku dengan pandangan sebal.

"Kenapa Abang lihatin aku gitu? Abang bad mood gara-gara lihat kakak jalan bareng cowok lain? Wajar aja lah, Bang, Kakak kan single, nggak nyalahin aturan kalau dia mau jalan atau bahkan pacaran sama siapapun yang memang bisa buat kakak bahagia. Kenapa jadi Abang yang pusing. Heran." Sumpah, kalau seandainya dia bukan adikku, udah aku lempar dia dari sini. Omongannya malah bikin aku senewen sendiri. Biasanya kalau yang namanya adik itu, bisa nenangin kakaknya, tapi ini? Boro-boro nenangin, kalau bisa dia malah akan manas-manasin orang yang udah kegerahan. Kampret emang.

Tidak menjawab, aku menjalankan mobil untuk balik ke rumah. Biarkan Devie bicara semaunya. Aku hanya ingin segera sampai di rumah dan menenggelamkan diriku dalam gelap.

Dalam perjalanan, nggak ada yang mengeluarkan suara. Aku sibuk dengan pikiranku, berusaha tetap bisa konsentrasi meskipun kepalaku terasa berasap.

Apa aku akan benar-benar kehilangan Qiana? Aku nggak akan rela kalau itu terjadi. Aku akan mendapatkan dia kembali, bagaimanapun caranya.

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar, bahkan saat mama memanggilku saja aku menulikan pendengaranku. Moodku benar-benar terinjak-injak rasanya.

Bayangan Qiana bersama cowok itu selalu berputar di ingatanku. Apa cowok itu yang akan berjuang untuk mendapatkan Qiana? Apa cowok itu yang akan menggantikan posisiku untuk menjadi pendamping Qiana?

"Arghh!" aku melemparkan apa saja yang ada didekatku, berusaha mengalihkan pikiran-pikiran rumit yang bercokol di kepalaku. Apa yang harus aku lakukan Tuhan? Apa?

"Bang." itu suara mama, beliau pasti panik karena suara gaduh yang aku buat.

"Abang nggak papa kan? Buka pintunya, ya!" aku masih nggak ingin menjawab, aku ingin ketenangan, aku ingin sendiri. Please.

"Abang itu maunya dikasar, Ma, kalau mama halus gitu mana mau lah dia bukain pintu." kayaknya Devie nggak akan ngebiarin aku tenang barang sebentar saja. Bahkan suaranya sudah seperti pendemo yang minta kenaikan gaji. Rusuh.

"Abang! Kalau abang mau ngegalau ya ngegalau aja, nggak usah banting-banting barang yang buat mama khawatir. Lagian kalau hati abang kacau itu kan salah Abang sendiri, Abang nggak bisa nyalahin orang lain karena kekacauan hati Abang. Abang yang bertanggung jawab sendiri atas hati Abang." Devie benar, dia memang selalu benar. Memang aku yang memiliki tanggung jawab atas hatiku, bukan orang lain. Tapi emosiku bener-bener nggak bisa aku tahan.

"Abang buka ya." mama kembali bersuara.

"Aku nggak papa, Ma, Mama nggak usah khawatir." Akhirnya aku bisa sedikit meredam emosiku. Biarlah aku sendiri yang menanggung ini, berusaha tidak melibatkan Mama.

"Iya, tapi Abang buka ya, mama mau lihat Abang." Mama berusaha 'merayu'. Tapi, aku hanya ingin sendiri dulu sekarang.

"Kakak!"

Aku langsung membuka pintuku saat Devie menyebut kata kakak yang berarti adalah Qiana. Tapi bukan Qiana yang aku dapati, malahan senyuman mengejek ala Devie. Dia, Mengerjaiku. Shit. Dasar kampret.

"Abang kenapa?" Mama beneran terlihat khawatir. Bahkan dia meneliti tubuhku dari bawah sampai atas, balik lagi ke bawah. Bener-bener berlebihan.

"Aku nggak papa, Ma." aku berusaha menenangkan. Aku hanya nggak mau Mama merasa khawatir karena ulahku.

"Mama, kalau Mama mau ngecek Abang, bukan fisiknya yang harus Mama cek. Tapi di sini, di hatinya." Devie menunjuk bagian dada kirinya dengan wajah yang kelewat biasa, membuat Mama kembali memandangku.

"Nggak ada penyesalan yang datang didepan, Bang, itu namanya pendaftaran. Penyesalan ya datangnya belakangan begini. Di Bahasa Indonesia aja ada pelajaran 'sebab-akibat' bukan 'akibat-sebab' kalau akibatnya sekarang baru muncul ya Abang sendiri yang rasain. Kan dulu, 'sebabnya' Abang sendiri yang nyiptain."

"Kayaknya kamu seneng ya, Dev, Abang kayak gini?" ya, memang apalagi yang bisa aku fikirkan selain Devie yang memang seneng lihat aku hancur. Aku memandangnya lekat, ingin tahu ekspresi adik kandungku itu. Dan aku nggak lihat dia merasa ikut sedih, tapi dia memasang wajah seolah memiliki dendam kesumat ke aku.

"Sejujurnya aku nggak pernah ngerasa kayak gitu sih, Bang, tapi ya gimana lagi, dulu semua orang kan udah kasih pengertian, dan mengingatkan supaya Abang bisa berpikir ulang atas keputusan Abang. Dasar abangnya aja yang yang keras kepala dan nggak mau dengerin omongan orang, sekarang ya tanggung lah akibatnya. Coba waktu itu Abang sedikit menurunkan ego Abang, sekarang Abang mungkin bisa bersatu sama kakak. Ya memang kalian akan pisah lama, penuh perjuangan, LDR atau apalah itu, tapi paling enggak perjuangan berjauhan itu akan semakin nikmat saat kalian bertemu kembali...,

... Darah emang lebih kental daripada air, Bang, Abang dan aku emang memiliki hubungan darah, tapi itu bukan berarti aku membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Terus membela Abang padahal aku tahu, dulu kakak udah berusaha agar Abang tetap mempertahankan pernikahan kalian tapi Abang nggak mau. Sorry, Bang, aku nggak dilahirkan menjadi orang munafik, selalu membela Abang dan menutup mata untuk menyalahkan kakak. Karena aku tahu, dari awal Abang lah yang salah. Lagipula," Devie melipat tangannya di dada seolah bersiap untuk memarahi bawahan yang melakulan kesalahan.

"Dulu Abang kan nggak cinta sama Kakak. Kenapa sekarang kalang kabut sendiri, padahal kan Abang baru ketemu dua kali aja sama kakak. Bisa gitu ya, cinta tumbuhnya cepet banget?"

Aku tercengang mendengar kalimat panjang Devie, yang sialnya apa yang dia bilang adalah sebuah kebenaran mutlak. Dan aku tahu kalau aku udah kalah telak. Bahkan mama hanya bisa menenangkanku dengan mengelus bahuku, kemudian pergi dengan mata berkaca-kaca.

Dan, ucapan terakhir Devie membuat sekujur tubuhku kaku. Sebenarnya apa yang sedang terjadi sekarang? Aku merasa bersalah atau karena aku memang telah mencintainya?

Aku, nggak tahu jawabannya.

"Oh ya, Bang, aku punya saran buat Abang." Devie kembali memandangku, "Dulu, kakak yang berjuang untuk keutuhan rumah tangga kalian. Kalau emang abang mau memperbaiki berjuanglah lebih keras untuk ngedapetin hati kakak lagi, karena mungkin aja cowok yang sama kakak tadi adalah kandidat terbaik dan lawan yang tangguh untuk Abang. Jadi, semangat!" dia mengepalkan tangan kanannya seolah memberi 'support' ke aku, tapi seringaian bibirnya melambangkan hal lain. Devie benar-benar titisan lampir, dia bisa menenggelamkanku, tapi setelah itu dia memberiku jalan untuk bisa kembali bangkit.

°•°•°

Yoelfu