webnovel

Second Love

Setelah tujuh tahun, akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Dengan status yang berbeda.

Yoelfu · Urban
Not enough ratings
372 Chs

(3). Seperti Penguntit

Davie

Hidup itu adalah sebuah pilihan, memilih jalan seperti apa untuk kita lalui. Hidup juga nggak akan terasa sulit, kalau kita nggak berpikir jika yang akan kita lalui itu sulit.

Tapi, ya, itu hanya sebuah teori, kenyataanya? Sulit akan tetap sulit meskipun otak terus mengatakan mudah. Yang terpenting adalah seberapa keras perjuangan agar sulit bisa menjadi mudah.

Aku masih duduk di sofa dengan mata menjelajah seisi ruangan. Masih tetap sama, tidak ada sedikitpun yang berubah, tidak ada yang bergerak seincipun dari tempatnya. Tidak ada kain putih yang menutup semua barang yang memberi kesan jika tempat ini memang kosong. Masih bersih dan tertata rapi, seperti tujuh tahun lalu. Bahkan saat aku mengusap meja di depanku, tidak ada debu yang menempel di telapak tanganku.

Aku tersenyum karena pasti Qiana begitu menjaga tempat ini agar selalu bersih dan rapi. Perempuan itu memang suka sekali dengan kebersihan. Dan inilah faktanya.

Setelah aku berdiri cukup lama di tengah ruangan tamu, aku kembali melanjutkan langkahku untuk pergi ke dapur. Unit ini memang lumayan besar. Jadi meskipun ruangan-ruangannya kecil, tapi masih ada sekatan-sekatan untuk memisah antara ruang tamu dan dapur.

Kembali berdiri di dekat meja makan, mataku kembali menyusuri tempat itu dengan mataku. Berjalan pelan dan kemudian berdiri di depan lemari es. Yang aku tidak menyangka adalah, note yang kami tulis beberapa tahun lalu masih menempel di sana.

Aku membacanya, tanpa bersusah payah untuk mengambilnya.

Aku ke supermarket dulu, aku sudah menyiapkan sarapan kamu... Itu adalah tulisan tangan milik Qiana. Aku memandang tulisan itu lama entah apa yang sedang aku fikirkan, akupun tak tahu. Beralih ke note yang lain, aku menemukan tulisanku di sana.

Aku berangkat lebih dulu. Dan ingatanku kembali melayang saat aku terburu-buru berangkat kuliah karena ada tugas kuliah yang harus aku kerjakan bersama kelompokku. Waktu itu memang sangat pagi karena memang interaksi kami memang hanya ala kadarnya saja.

Memang begitulah cara kami berkomunikasi satu sama lain jika memang tidak sempat untuk mengatakannya langsung. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sesak sekarang. Ingatan masa lalu yang terus mengusik pikiranku tak bisa aku abaikan. Semua perlakuanku terhadap Qiana seolah terputar di dalam otakku.

Mencoba membuka kulkas tersebut, ada banyak sekali makanan yang tersimpan di sana. Aku menelan salivaku ketika melihat beberapa minuman kesukaannku. Dia adalah susu berfermentasi atau yogurt. Ada banyak sekali di kulkas.

Dulu aku suka membelinya sendiri tanpa meminta Qiana membelikannya untukku. Namun setelahnya, dia tahu jika aku menyukai susu tersebut dan aku tak lagi kehabisan stok di dalam kulkas karena dia selalu membelikannya untukku. Menutup mataku, aku mencoba menenangkan pikiranku.

Ini sungguh sulit dipercaya. Seharusnya Qiana membenciku atas Tindakan yang aku lakukan kepadanya saat kami masih bersama waktu itu. Tapi hanya dengan melihat ini, aku bisa merasakan jika Qiana tidak ingin melupakanku. Tiba-tiba aku tersenyum mengingat kemungkinan tersebut.

Setelah mengambil satu botol susu tersebut, dan menenggaknya sampai habis aku kembali menyusuri tempat itu.

Namun suara seseorang menekan password pintu membuat aku bergerak secepat mungkin untuk beranjak dari sana dan mencari tempat untuk bersembunyi. Aku masuk di tempat cuci yang hanya ada mesin cuci dan ember. Aku mencoba untuk setenang mungkin agar aku tidak melakukan kesalahan dan ketahuan kalau aku ada di tempat ini.

"Iya, Yah, aku di apartemen..., iya aku akan pulang sore nanti ayah nggak usah khawatir...., oke, waalaikum salam." Itu suaranya, suara lembut itu miliknya.

Aku berusaha mengintipnya dari balik tembok hanya untuk melihat keberadaan Qiana. Jujur saja aku merasa gugup takut jika aku ketahuan. Karenanya, aku menempel di dinding seperti cecak agar Qiana tak menyadari keberadaanku.

°•°•°•°

Qiana

Ayah sudah sembuh dan beliau sudah pulang dari Kalimantan setelah beberapa hari menginap di rumah sakit yang ada di sana. Aku lega karena penyakit Ayah tidak menjurus pada penyakit parah lainnya yang akan mengakibatkan sakit berkelanjutan. Penyakit tua, kalau Bunda bilang.

Memang, usia Ayah sudah tak lagi muda namun beliau masih terlihat bugar. Tapi namanya penyakit, dia tak akan ijin terlebih dulu untuk mengganggu Kesehatan manusia.

Kedatangan Ayah dari Kalimantan sedikit membuat perubahan untukku. Ini tentang percakapan kami waktu itu. Sepertinya beliau memang sempat memikirkan banyak hal ketika sakit. Dan salah satunya adalah dengan pendamping hidupku.

Aku mengingat ketika beliau mengatakan jika aku diminta untuk menjalin hubungan dengan seorang lelaki. Dan beliau memilihkan aku seorang lelaki kerena benama Rado. Ya, Bang Rado. Karyawan Ayah yang keren itu.

Selama tujuh tahun ini, aku sudah pernah mencoba untuk menjalin hubungan dengan seserang tapi hasilnya sangat nihil. Karena itu aku berhenti dan memfokuskan diri untuk berkarir. Tapi setelah orang tuaku yang memintanya kemballi, aku akhirnya menyetujui. Berusaha mencoba terlebih dulu. Entah nantinya berhasil atau tidak, yang penting aku sudah berusaha.

Dalam kondisi yang banyak fikirkan seperti ini, apartemen adalah tempat yang paling cocok untukku menenangkan hati. Karenanya, aku datang kesana dan akan memikirkan banyak hal dan keputusan yang aku ambil.

Ayah bilang, Bang Rado sudah tahu masalah ini. Tentang rencana Ayah untuk 'menjodohkan' aku dengannya. Tapi, beberapa waktu ini aku belum bertemu lagi dengan lelaki itu dan tentu saja aku belum membahasnya.

Aku masuk ke dalam apartemen dengan langkah lelah. Aku selalu ngerasa kalau tempat ini bisa jadi pelepas penatku. Aku duduk dengan tenang di dapur dengan sekaleng soda, mengecap gelenyar aneh yang masuk ke dalam mulutku, segar.

Deringan telpon menyadarkanku dari lamunan. Aku membaca nama si penelpon. Dadaku kembali dilanda rasa gugup yang luar biasa. Baru saja aku mengatakan jika aku belum bertemu dengannya, dia sudah muncul saja meskipun itu hanya lewat sambungan telpon.

"Hai, Qi!" Sambutnya ketika paggilannya aku terima, dia tersenyum, punggungnya dia sandarkan di sandaran sofa. sepertinya dia sedang bersantai.

"Hai, Bang!" sebagai formalitas, aku juga mengembangkan senyumku.

"Dimana?"

"Di apartemen. Kenapa? Ada sesuatu?"

"Enggak, cuma mau ngobrol aja sih. Sibuk nggak?"

"Enggak. Nih, lagi nyantai di apartemen." Jawabku. Aku bisa melihat dia menegakkan tubuhnya untuk lebih dekat ke layar ponselnya.

"Kok kamu belum di rumah? Persiapan syukurannya?"

"Acaranya jam tiga, Bang, masih banyak waktu. Lagian semua udah beres kok, tinggal nunggu cateringnya datang aja nanti. Abang nggak lupa kan kalau aku ini ahlinya di bidang ini?" Bang Rado terlihat tertawa kecil mendengarkan aku menyombongkan diri. Ya, karena Ayah merasa bersyukur beliau bisa kembali sehat, kami mengadakan syukuran dan mengundang anak-anak yatim.

"Ya, aku selalu percaya sama kamu."

Aku ikut tertawa melihat dia menaik turunkan alisnya. Tampan sekali. Aku jadi berfikir, bisakah aku mencintai lelaki baik ini? Sedangkan aku tahu pasti siapa nama yang masih aku puji mati-matian di hatiku.

"Qi!"

Panggilan Bang Rado membuat aku tergagap. Saat aku memfokuskan mataku di layar ponsel, terlihat sekali keseriusan di wajah Bang Rado.

"Aku ingin bicara serius sama kamu." Lanjutnya.

Aku berusaha fokus untuk mendengarkan tanpa menyela sedikitpun. Dia mulai bercerita dengan mengatakan jika sebenarnya dia menyukaiku sejak lama. Dan tentu saja, orang tuaku juga sudah menyadari akan hal itu.

Karena dia memang sadar diri jika dirinya bukan siapa-siapa dan hanyalah seorang 'bawahan', Bang Rado hanya diam tanpa bergerak untuk mendekatiku.

Tetapi saat Bunda dan Ayah mengetahui dan memberinya kesempatan untuk berjuang, dia menerimanya.

"Aku nggak mau maksa kamu, Qi. Jadi, kalau memang kamu juga memberiku kesempatan untuk bisa berjuang mendapatkan hati kamu, aku akan lakuin. Tapi jika tidak," Bang Rado menjilat bibirnya dan menghela nafas sebelum melanjutkan. "Aku nggak bisa apa-apa. Karena aku nggak mau ngelakuin hal yang sia-sia berjuang untuk cewek yang nggak mau membuka hatinya untuk aku masuki."

Aku lagi-lagi hanya bisa diam dan memandang Bang Rado di layar ponselku. Sejujurnya aku nggak tahu apa yang harus aku katakan. Mendengar dengan jelas jika Bang Rado sudah menyukaiku saja sudah membuat aku tak enak hati. Aku takut nggak bisa membalas perasaannya. Dan aku nggak mau menjadi jahat dengan menolak lelaki baik sepertinya.

"Aku janda, Bang. Aku pernah gagal, aku nggak lagi utuh." Karena hatiku masih dimiliki pria yang berstatus mantan suami, meskipun tentu saja aku masih perawan, tapi aku yakin Bang Rado nggak tahu itu.

"Lalu kenapa? Aku nggak masalah dengan status kamu. Di luar sana, banyak perempuan yang punya status single tapi udah nggak perawan. Mereka bergaul dengan liar dan membiarkan diri mereka dijajah oleh lelaki yang bahkan hanya bertemu dalam satu malam. Dan menurutku, kamu lebih berharga dari mereka, Qia. Jadi, jangan pernah mengira jika status janda kamu bisa menghalangi kebahagiaan kamu. Bisa?"

Aku meminum sodaku untuk membasahi tenggorokanku yang tiba-tiba terasa kering. Entah kenapa ucapan Bang Rado seakan menonjokku agar aku bisa sadar jika nggak semua lelaki itu brengsek. Ada lelaki yang bisa menerima seseorang meskipun dia pernah gagal dalam rumah tangganya.

"Dari dulu aku nggak pernah menutup hati untuk siapapun, Bang." Aku menghela nafas untuk sedikit menjelaskan apa yang ada dalam pikiranku selama ini. "Setidaknya itu yang aku rasakan, aku merasa aku selalu welcome kepada siapapun yang memang ingin dekat denganku. Memang tidak sampai tahap pacaran atau apapun namanya, tapi...,

"Trauma, kamu trauma?"

Ucapanku terhenti karena pertanyaan Bang Rado. Aku menggelengkan kepalaku pelan.

"Nggak, Bang, sama sekali nggak. Hanya saja, aku merasa belum siap. Belum siap menjalin hubungan serius, belum siap berjuang untuk mendapatkan restu yang mungkin akan terhalang karena statusku. Aku belum siap." Ya. Janda bukanlah suatu hal yang patut dibanggakan di depan calon mertua 'kan?

"Kamu terlalu takut untuk melangkah, Qi. Kamu terjebak dengan ketakutanmu sendiri dan berasumsi kalau janda adalah sebuah kesalahan fatal."

Aku hanya bisa diam dan nggak bisa menyangkal apa yang dikatakan Bang Rado. Apa benar yang dikatakan olehnya? Tapi yang aku tahu, aku tidak merasakan trauma sama sekali.

"Bang!" aku memanggil pelan seolah tenagaku tersedot dan terbuang entah kemana. Membicarakan hal seperti ini benar-benar menguras tenaga.

"Kamu istirahat saja ya, kita memang harus membicarakan ini lain waktu dan tentu saja tidak lewat telpon."

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku lemas. Dia tersenyum sebelum mengakhiri video call kami. Dia benar, membicarakan masalah 'seberat' ini memang seharusnya langsung bertemu.

°•°•°•°

Yoelfu