Melewati pos keamanan di depan gerbang yang diapit dua blok pertokoan mewah di tengah kota P, pengendara Alphard hitam itu menurunkan kaca jendela. Wajah Emily terlihat muncul dari balik jendela mobil, memberi senyum kepada petugas keamanan yang berjaga dan dibalas dengan senyuman kembali. Petugas keamanan membuka portal mekanis dan mempersilahkan Emily melanjutkan perjalanan.
Sistem keamanan perumahan cluster kecil di tengah kota ini memang tinggi. Semua kendaraan penghuni tercatat di database komputer petugas keamanan. Namun tetap saja para pemilik kendaraan wajib setor wajah sebelum melewati gerbang. Emily baru sebulan yang lalu menyewa sebuah rumah dalam cluster. Tapi para petugas keamanan sudah mengenali Alphard hitamnya.
Memasuki halaman sebuah rumah tanpa pagar, Emily memarkir Alphard di carport. Tanpa membuang waktu, Emily langsung keluar dari mobil dan membuka pintu belakang.
"Sini mas, biar aku aja yang bawa Abel." Gadis kecil itu masih tertidur nyenyak berbantal paha daddy-nya.
"Abel, yuk gendong Momily. Kita udah sampe sayang." Isabel yang kemudian terbangun mendengar suara Emily pelan-pelan duduk dan mengulurkan kedua tangannya dengan mata yang masih setengah tertutup. Emily langsung menyambutnya dengan cepat dan menggendongnya kedalam rumah. David pun menyusul keluar setelahnya.
"Ah, udah sampe nak? Kok lama? Macet tadi di jalan?" Seorang wanita paruh baya keluar dari rumah, menyambutnya. David langsung menghampiri dan memeluknya.
"Tadi Abel minta mampir ke mal dulu, Mam. Jadi kita agak lama di jalan." David menjelaskan alasan kenapa mereka baru sampai di rumah sore ini, sementara David sudah mendarat sejak siang tadi. Setelah mengambil kopernya di bagasi, David merangkul Sofie berjalan ke dalam rumah.
"Papi menyusul, Mam. Katanya dua hari sebelum ulangtahun Abel baru kesini. Papi masih beresin urusan di cabang kota B." Sofie faham betul, kedua pria kesayangannya –suami dan putranya, memang tidak pernah setengah-setengah dalam bekerja. Dan cenderung workaholic. Walaupun secara resmi, kepemimpinan perusahaan sekarang dipegang oleh David, suaminya tidak pernah bisa diam. Tetap membantu di belakang layar.
Sofie mengantar David ke kamar di lantai 2, tepat disebelah kamar Emily. Dilihatnya Isabel melanjutkan tidurnya di kamar itu. Sepertinya kejadian di mal tadi membuat gadis kecilnya itu kelelahan.
"Tadi di mal ngapain? Makan sama Abel?" terdengar suara Sofie yang masih penasaran kenapa anak-anak dan cucunya terlambat sampai di rumah. Ada perasaan tidak enak menggayut dalam benaknya setelah melihat wajah Isabel yang sembab dan tertidur dalam gendongan Emily.
David mengajak maminya duduk di tepi tempat tidur. Sambil memegang tangan ibunya, David menceritakan kejadian di mal tadi.
"Kita tadi kehilangan Abel sebentar. Tapi untungnya dia bisa ketemu dengan orang yang dikenal." David berusaha menceritakan dengan nada suara setenang mungkin. Tidak ingin membuat orangtuanya ikut merasa cemas.
"Abel hilang?! Kok bisa?" Sofie tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ah! Perasaan tidak enaknya ternyata benar. Memang ada hal buruk yang terjadi pada cucunya.
David mengusap-usap tangan ibunya, berusaha melenyapkan sedikit kecemasan beliau. Lalu melanjutkan ceritanya, "Abel ternyata lihat temannya dari jauh, trus dia ikutin. Gak sadar kalau terpisah dari kita. Tapi untungnya kita gak kehilangan Abel terlalu lama, dan syukurnya lagi Abel bisa ketemu dengan temen yang dia ikutin tadi, Mam."
Sofie mengurut dadanya, merasa sedikit lebih tenang karena Abel bisa cepat ditemukan. Tapi, 'teman'? Siapa ya teman Abel di kota P ini? Apa ada temannya yang juga sedang berkunjung kesini?
"Teman Abel? Anak siapa?"
"Aku juga baru ketemu tadi. Tapi Emil kenal, katanya teman Abel itu anaknya desainer yang bikin baju ulang tahun. Namanya Adit."
"Oooh, Adit." Wajah Sofie langsung berubah cerah mendengar David menyebut nama Adit. Anak laki-laki yang baru satu kali mereka temui itu memang berhasil merebut perhatian Isabel. Juga berhasil membuatnya dan Emily langsung merasa dekat dengannya.
"Mam, kok bisa Abel akrab sama anak yang udah besar gitu? Biasanya kan Abel gak gampang percaya sama orang baru?" Melihat wajah ibunya yang juga kelihatan senang mendengar nama 'Adit', David tidak bisa menahan rasa penasarannya. Sepertinya bukan cuma Isabel yang menyukai Adit, tapi juga ibunya.
"Iya, si Adit ini anaknya ramah banget. Dia juga pinter bawa diri ke Mami dan Emil. Walau cuma ngobrol sebentar, tapi rasanya ngobrol sama Adit itu seperti udah kenal lama. Dia juga pinter banget ngelayanin ocehan si Abel. Mami pun heran dia bisa main sama anak kecil. Padahal dia anak tunggal." Sofie mengungkapkan perasaannya terhadap Adit secara panjang lebar kepada putra satu-satunya ini.
"Hmmm, aku liat Abel tadi memang keliatannya lengket banget sama Adit. Waktu aku ketemu Abel, dia lagi digendong sama si Adit." Kata David lagi, nada suaranya masih terdengar sulit mempercayai fakta kalau anak gadisnya bisa dekat dengan anak laki-laki remaja. Padahal umurnya baru mau 4 tahun.
"Iya, mami bersyukur dia ketemu sama Adit. Bukan sama orang lain."
David mengingat kembali kejadian di mal, bagaimana Adit berusaha menenangkan Isabel yang sedang menangis karena kehilangan. Wajahnya terlihat cemas, tapi tetap berusaha untuk membuat Isabel berhenti menangis.
"Hei! Kok bengong? Mikir apa kamu?" Suara Sofie membuyarkan lamunan David.
"Gak, aku cuma heran aja. Kok bisa ya akrab begitu? Seperti udah sering ketemu."
"Kok mami dengernya kamu lagi cemburu ya? Gak rela anak perempuannya deket sama laki-laki lain?" Tiba-tiba Sofie berkomentar sambil tersenyum penuh arti.
"Cemburu? Gak lah, Mam. Cuma heran aja." Walau begitu perasaan David sebetulnya adalah kebalikan dari ucapan yang keluar. David mengakui memang ada sedikiiit rasa cemburu sih, apalagi selama empat tahun hanya dirinya laki-laki dalam hidup Isabel. Tapi selain rasa cemburu, sebenarnya David lebih merasa Adit tidak asing. Bertemu dengan remaja itu tadi, seperti bertemu dengan orang yang famliar. David tanpa sadar terus menerka-nerka, apakah dia pernah bertemu dengan Adit sebelumnya.
"Dave, kamu ngerasa gak sih?" Mendengar pertanyaan ibunya, David mengernyitkan alisnya.
"Ngerasa apa, Mam?"
"Waktu ketemu Adit, kamu ngerasa familiar gak?" Tanya Sofie lagi kepada putranya.
"Hmmm, aku emang ngerasa seperti pernah ketemu. Tapi gak tau dimana. Apa aku kenal orangtuanya?" David ingat saat bertemu dengan Dion tadi, kalau dia sedang bersama 'keluarga'. Dan saat itu Dion sedang bersama Adit. Apakah mereka punya hubungan keluarga?
"Gak, Dave. Kita belum pernah kenal dengan mereka sebelum ini." Jawab Sofie.
"Tapi buat Mami, melihat wajah Adit dan perawakan tubuhnya, melihat caranya interaksi dengan Abel,...dia bikin Mami inget sama kamu."
David terkejut mendengar kata-kata ibunya. 'Seperti aku?' tanyanya dalam hati.
"Mami dan Emil waktu pertama ketemu dia juga ngerasa kaget. Wajahnya kok mirip banget sama kamu?" Mendengar kata-kata ibunya, David berusaha mengingat-ingat kembali wajah Adit. Apakah mereka berdua semirip itu?
"Melihat Adit yang bisa melayani ocehan Abel pun mengingatkan Mami sama kamu. Kamu sama Emil waktu dia masih kecil dulu juga gitu."
Benarkah? Setelah beberapa saat, mengulang kembali kejadian di mal siang tadi dan membayangkan wajah Adit lagi. David jadi penasaran, apakah memang ada sepotong gambar dirinya pada diri Adit? Anak yang baru pertamakali ditemuinya.
===
Sementara di tempat tinggal barunya, Dion sedang mengusap-usap rambutnya yang basah dengan handuk. Dia sudah selesai membereskan belanjaan dan baru saja selesai mandi. Pikirannya kembali melayang kepada kejadian siang tadi.
Berjumpa dengan David tadi sungguh diluar dugaan, karena untuk membuat janji temu dengan orang super sibuk itu saja biasanya harus konfirmasi jadwal dengan asistennya terlebih dahulu.
Tapi sebetulnya yang lebih membuatnya jadi memikirkan terus kejadian di mal siang tadi adalah, bagaimana bisa Adit ternyata akrab dengan putri David?
Entah hanya karena komentar usil Alesya soal kemungkinan David yang juga mendekati Dyan lewat anaknya, atau karena matanya sudah dikaburkan oleh perasaan cemburu (?), Dion merasa sedikit gelisah mengingat suasana pertemuan David, putrinya, dan Adit. Kenapa dia merasa mereka bertiga terlihat .... Mirip?
"David dan Adit.... Kenapa mereka berdua mirip ya?" batin Dion bertanya.
Semoga kita semua bisa melewati keadaan ini. Berusaha untuk tidak keluar rumah, supaya kita terhindar dari paparan covid-19, melindungi diri kita sendiri sekaligus melindungi keluarga kita.
Walau dirumah saja, tapi kita habiskan waktu dengan hal bermanfaat. Misalnya dengan cara baca novel dan meninggalkan komentar ^_^.
Terima kasih masih setia mengikuti cerita ini.