Sudah lewat jam 9 malam saat Emily dan kedua orangtuanya sampai kembali di kota P. Isabel yang tidak bisa tidur karena menunggu Oma dan Opa-nya pulang, langsung menuruni tangga dengan cepat saat terdengar suara mobil berhenti di carport.
"Abel! Turun tangganya jalan biasa aja ya." Suara David terdengar dari belakang Abel. Mendengar kata-kata Daddy-nya, gadis kecil itu otomatis mengerem kecepatan jalannya. Yang awalnya nyaris berlari sekarang menuruni anak tangga dengan hati-hati. "Ya Daddy." Jawabnya sambil terus menuruni anak tangga.
Pintu dibuka dari luar, tampak wajah Emily yang muncul lebih dulu. Abel yang baru saja menjejakkan kakinya di lantai satu, langsung berlari menyambut tantenya itu.
"Momily!" Dan gadis itu pun disambut oleh pelukan Emily.
"Eh, kok belum tidur Abel? Udah jam berapa ini?" Terdengar suara berat dari belakang Emily. Abel segera mengembangkan kedua tangannya dan mencondongkan tubuhnya ke arah pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu.
"Opa! Abel nunggu Opa sama Oma pulang." Dan Isabel pun berpindah dari gendongan Emily ke Opa-nya. Baru sebentar di gendong Opa, Isabel tiba-tiba sudah berpindah ke gendongan David.
"Opa baru sampe, masih capek. Udah dulu gendongnya. Biar Opa sama Oma istirahat dulu ya?" Kata David pada putri kecilnya itu.
Mereka semua menuju ke ruang keluarga, kedua orang tua David langsung duduk di sofa. Tampaknya kegiatan hari ini cukup melelahkan mereka. Emily langsung ke pantry, menyeduh teh chamomile untuk mereka bertiga.
"Abel mau duduk sebelah Oma." Kata Isabel pada David yang segera menurunkan putrinya dari gendongan.
"Mami Papi udah makan malem?" Tanya David sambil ikut duduk di salah satu sofa. Emily yang datang dengan nampan yang berisi 3 cangkir teh hangat menjawab, "Kita tadi makan di hotel sebelum pulang. Sekalian test menu baru. Chef yang baru masuk kemarin kerjanya bagus. Pokoknya enak deh masakannya bisa fusion masakan lokal gitu."
"Ngomong-ngomong masakan. Gimana acara makan siang tadi? Enak menunya, Dave?" Mami yang sejak tadi hanya mendengarkan perbincangan tiba-tiba bertanya. Alih-alih David, malah Isabel yang bersemangat menceritakan makan siang tadi.
"Enak Oma. Abel suka sama ayam gorengnya. Gak susah digigit. Trus ada kolam ikan koi. Ikannya banyak, Oma. Trus difoto sama kak Adit. Trus Abel kasih makan ikan sama kak Adit."
"Kak Adit? Kak Adit siapa?" tanya Opa yang bingung karena cucunya tiba-tiba menceritakan orang lain saat menjelaskan soal makan siang. Emily lupa kalau Papi-nya belum tahu soal Adit dan Dyan, baru saja dia mau menjelaskan kepada beliau...
"Adit itu anak laki-laki dari desainer baju Abel, Pap. Abel kenal waktu ikut Mami dan Emil ke butik untuk ukur baju. Anaknya bisa cepat akrab sama Abel. Jadi tadi aku ajak dia dan ibunya untuk makan siang. Sayang banget udah reservasi meja buat kita berlima kalo cuma makan berdua Abel. Ini juga Abel udah beberapa kali bilang mau main sama kak Adit." David yang menjelaskan panjang lebar pada Papi-nya.
"Adit dan ibunya? Berdua aja? Apa gak masalah sama suaminya? Kita bukan lagi di ibukota Dave, hati-hati bertindak. Nanti salah-salah malah jadi persoalan baru." David tersenyum mendengar perkataan Papi-nya. Walau dirinya sudah bukan anak-anak lagi, bahkan sudah punya anak sendiri, Papi masih saja suka khawatir kalau dirinya terlibat masalah besar. Kejadian di masa lalu cukup meninggalkan trauma untuk Papinya.
"Gak usah kuatir, Pap. Dyan juga single parent, kayak aku. Lagian aku ajak mereka berdua juga udah diizinkan anaknya. Lain kali kalo Papi ketemu Adit, kayaknya bakal bisa cepet akrab juga. Soalnya Mami dan Abel juga gitu." Kata David lagi, sambil menatap kearah Mami yang kemudian mengangguk menyetujui perkataan David.
"Oya? Sebaya Abel, ya?" Pria paruh baya yang masih terlihat gagah itu menyimpulkan demikian, karena tadi David menyebutkan soal Isabel yang sudah beberapa kali ingin main bersama Adit.
"Gak, Pap. Adit umurnya 14 tahun. Beda umurnya mirip kayak aku sama mas David. Anaknya ngemong banget. Abel jadi gampang akrab deh." Giliran Emily yang menjawab. Raut wajah Papi terlihat agak terkejut mendengar jauhnya perbedaan usia teman cucunya. Tapi mendengar penjelasan Emily yang menyamakan dirinya dan David dengan Isabel dan Adit, beliau memahami bentuk keakraban yang terjalin diantara cucunya dan teman barunya.
"Oooh, Abel jadi punya 'mas' juga ya? Seperti Momily dengan Daddy?" Kata pak Jansen pada cucunya. Yang langsung dijawab dengan senyum dan anggukan Isabel.
"Udah malem banget ini, cucu Oma tidur ya?" Kata Mami, setelah melihat Isabel yang menguap. "Abel mau bobok sama Oma Opa." Katanya sambil mengembangkan kedua tangannya, memberi kode minta digendong ke Oma-nya.
"Ya deh, Papi sama Mami istirahat duluan ya. Capek juga perjalanan hari ini." Kata Papi ikut beranjak dari sofa menuju satu-satunya kamar yang ada di lantai satu. David segera berdiri menyusul putrinya yang ada dalam gendongan Mami. Dipeluknya Mami dan Isabel sekaligus, sambil mengucapkan selamat malam dan mendaratkan kecupan di pipi gembil putrinya dan kening ibunya.
"Tadi sudah gosok gigi saya Daddy, sekarang langsung tidur ya? Jangan malah ngobrol sama Oma Opa." Pesan David pada Abel.
Dan David pun langsung menaiki tangga menuju lantai dua. Berniat melanjutkan memeriksa beberapa email yang belum terbaca di ruang kerjanya.
====
'Tok tok tok'
Terdengar pintu ruang kerja yang tidak tertutup sejak tadi diketuk Emily. "Lagi sibuk, Mas?" Tanyanya sambil berjalan mendekati meja David.
"Gak juga. Ini lagi baca email yang masuk hari ini." Jawabnya sambil terus menatap layar laptop dihadapannya. Emily langsung duduk di kursi yang ada di depan meja David dan diam. Menunggu sampai mas-nya selesai membaca email.
"Kenapa belum tidur? Kamu kan nyetir mobil seharian? Gak capek?" Tanya David heran karena adiknya hanya duduk diam di hadapannya.
"Aku mo nanya tadi makan siangnya gimana?" Emily malah balik bertanya.
"Makanannya enak, lain kali kita bawa Papi Mami kesana." Jawab David pendek.
"Trus, suasananya tadi gimana?" Tanya Emily lagi.
"Suasana? Bagus disitu, tenang trus tamannya tertata. Seperti kata Abel tadi disana ada kolam ikan koi. Meja yang kamu reservasi lokasinya semi outdoor. Kesannya terbuka tapi insulasinya[1] bagus. Jadi suara dari luar gak terlalu mengganggu kedalam. Idenya bagus juga buat kita pake di hotel." Jawab David panjang lebar.
"Maksud aku, suasana ngobrol bareng mbak Dyan tadi gimana?" Tanya Emily lagi, penuh selidik. David akhirnya memahami maksud adik semata wayangnya ini datang ke ruang kerjanya.
"Kenapa? Kamu penasaran apa?" Tanya David, memutuskan untuk menutup laptopnya dan melipat kedua tangannya di dada.
"Tadi mas ngobrol gak sama mbak Dyan? Atau diem-dieman aja?" Emily memperjelas pertanyaannya.
"Kita ngobrol." Jawab David singkat.
"Soal apa?"
"Soal anak, soal jadi orang tua. Ya topiknya begitu yang pas. Kita sama-sama membesarkan anak sendiri. Kenapa?"
"Mbak Dyan orangnya gimana menurut mas?" Tanya Emily lagi.
"Dyan itu ibu yang baik. Menurut aku dia sukses membesarkan anaknya sampai remaja sendirian. Mudah-mudahan aku bisa kayak dia juga. Bisa jadi orang tua yang baik buat Abel."
"Mas..."
"Ya, ada lagi yang mau ditanya?"
"Mas gak kepikiran untuk cari ibu buat Abel? Mbak Dyan misalnya?"
NOTE: Ada revisi besar di chapter 2 dan 3. Bagi yang mulai membaca novel ini sebelum 15 Juli 2020, silahkan baca ulang chapter 2 dan 3. Karena ada perubahan yang mempengaruhi sebagian plot cerita.
----------------------------
Kadang-kadang orang lain sering membuat kesimpulan untuk hidup kita, mempengaruhi kita dalam mengambil keputusan hidup. Tapi apa pun keputusannya, hidup kita yang akan menjalani diri kita sendiri bukan orang lain.
Pernah ambil keputusan karena 'kata orang' bukan karena 'kata hati sendiri'?