webnovel

Sepuluh

Ya, harus aku akui kalau di Malang itu memang cozy banget. Dingin, asri, dan maju. Kalau dibandingkan dengan kata bapak soal Bangkalan itu, aku mengakui memang jauh—secara kompleksitas makanan, perbelanjaan, dan lain-lain dibandingkan dengan Malang. Aku pernah pergi ke Bangkalan untuk sebuah tour akademis di salah satu kampus. Dan di sana sangat gersang—mungkin bertepatan dengan musim kemarau. Juga di seputar kampus itu, hanya dikelilingi hamparan sawah yang luas. Bayangkan, ya, bagaimana jengahnya para mahasiswa yang kuliah di sana. Mereka pasti sulit untuk menemukan bioskop, mereka harus terlebih dahulu menyeberangi Jembatan Suramadu dan singgah ke Mall di Surabaya untuk bisa menikmati makanan-makanan seperti Mcdonald's dan KFC. Kembali ke topik.

Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang begitu aku berhasil membuka pintu kamar. Jika dilihat dari aktivitas fisiknya, pertemuan tadi tak begitu berat. Tapi tetap saja, meladeni keramaian dan tekanan-tekanannya membuat mataku terasa berat. Aku terpaksa membebaskan pikiranku dari apapun untuk membantuku bisa terlelap sejenak. Tapi baru saja aku mencoba melakukan itu, lalu aku mendengar ponselku berdering.

"Hemm?" Aku menggeram. Aku menyambar ponsel tanpa melihat terlebih dahulu siapa gerangan yang berani mengganggu jadwal istirahatku.

"Arum?"

"Hem..."

"Lagi tidur, ya? Maaf ganggu, nanti aku telepon lagi, deh."

"Udah, nggak perlu nanti-nanti. Cepat bilang ada perlu apa." Suara malas yang fasih dibalut dengan emosi kesal sepertinya mantap.

"Aku Kevin. Tadi kita kan belum sempet buat ngomong empat mata. Bisa tidak kalau besok kita ketemu dan bicara? Toh hari Minggu kau sudah balik ke Malang. "

Tadi memang aku belum bisa bicara empat mata dengan Kevin. Baru saja keluar dari area pameran, kami langsung dihujani lampu blitz. Jadi, setelah mengucapkan sepatah dua patah kata kalau aku dan dia belum bicara saat itu, aku langsung ditarik oleh Arsyad untuk pulang. Dan sialnya, para reporter itu lincah sekali, langsung menghunjami kami dengan segudang pertanyaan.

"Okelah, tapi tidak perlu jauh-jauh. Aku belum tahu apa-apa dari kota ini. Kalaupun kau tahu, aku tidak bisa mempercayaimu," jawabku dengan mata terpejam. Tiba-tiba mataku terbuka lebar karena baru disulut rasa penasaran yang terlambat. "Kau tahu nomorku dari mana?!"

"Tenang, tadi aku kirim pesan ke Arsyad. Dia yang ngasih nomormu. Dan janji nggak aku sebarin ke manapun."

"Ya, tetep aja. Nomor telepon adalah privasi seseorang yang tidak boleh disebarluaskan tanpa persetujuan yang bersangkutan. Dah lah, aku ngantuk…" Tanpa menunggu jawaban Kevin, aku langsung mematikan ponselku.

Setelah meletakkan handphone di nakas samping tempat tidur, aku langsung terbang ke alam mimpi.

***

"Ibu!"

Hening. Tidak ada jawaban.

"Ibu!"

Masih sama.

Tidak lama setelah salakan tak terbalas, terdengar langkah orang berjalan terburu-buru. Kenop pintu kamarku berdecit terbuka. Aku melihat Arsyad yang berdiri di sana. Bukan ibu yang aku harapkan.

"Sepertinya tadi aku nyebut-nyebut nama ibu, deh."

"Suara-suara dari luar membuat kita tuli untuk mendengar suara-suara dari dalam." Arsyad mengutip Ayu Utami.

"Emang kau lagi semedi?"

"Paling tidak kau harus tahu, yang ada di sini bukan cuma kau. Ibu sama bapak lagi lari pagi di luar."

"Hah? Bisa-bisanya malah lari-lari saat anak-anaknya ke sini…"

"Lah, memangnya kenapa? Olahraga ya, olahraga dong. Jangan dipisah-pisahin."

Kemudian aku menunjuk layar televisi. Di sana tampak sudah tersiara berita dari salah satu televisi nasional mengenai pameran semalam. Dan satu topik propaganda utama yang ditayangkan adalah mengenai kemunculan seorang Arum Chandara Prima di sana.

Beri tepuk tangan!!!

Banyak kometar muncul, sifatnya yang beragam membuatku secara tidak langsung ikut memperhatikan hal itu. Ini terasa menyeramkan. Ada komentar yang baik dan buruk. Apalagi saat tampak video ibuku berbicara tentang bakatku adalah menyanyi lalu tiba-tiba muncul Kevin yang berkata tentang lowongan vokalis di band-nya. Hatiku benar-benar berdegup kencang mengetahui berita itu muncul. Aku memikirkan, bagaimana keadaan usai aku sampai di Malang. Dan yang jadi masalah besarnya menurutku kalau hingga kini aku belum membalas satu pesan pun dari Gea. Aku sempat berharap kalau tugas yang diberikan sekolah cukup banyak sehingga menyita waktunya. Tapi sekali lagi aku berpikir dengan jernih kalau itu mustahil, sebab ada idolanya di pameran ini. Aku sempat lihat tadi malam soalnya.

Aku bisa menduga kalau Gea kembali mencoba menghubungiku berkali-kali semalam. Pun aku juga tidak berani sedikit pun untuk membuka media sosial. Aku sampai mengira kalau pengikut di media sosialku kemungkinan bertambah signifikan karena efek dari berita itu. Tapi semakin aku pikirkan dan semakin hal itu membuat aku gugup, hingga takut, aku merasa kalau ini bukanlah Arum.

Aku masih ingin tetap menjadi diriku yang tidak diketahui siapapun, maksudku, tetap menjadi diriku yang seolah bukan bagian dari keluarga seniman terkenal. Aku masih ingin hidup dalam balutan kesederhanaan tanpa gosip, tanpa pembicaraan yang macam-macam. Aku masih ingin bersenang-senang tanpa perlu ada yang tahu aku anak dari seorang aktor. Aku masih ingin fokus untuk mengejar cita-citaku masuk kuliah di UI dan menjadi peneliti alih-alih mengikuti jejak kedua orang tuaku. Tapi kalau sudah begini, aku takut dalam sekejap hidupku akan berubah.

"Ibu ngapain juga bilang kayak gitu ke media? Bilang kalau bakatku di suara seolah aku jago nyanyi. Ibu inget nggak waktu itu aku pernah ikut seleksi paduan suara di SMP, dan aku diberhentiiin di tengah jalan karena suaraku sumbang. Kalau memang ingin melindungiku dari sorotan publik perihal bakatku, ya nggak perlu membawa-bawa suaraku."

"Eh, jangan lihat apa masukan ibu apa. Ibu tuh udah baik banget pengin lindungin dirimu dari eksploitasi berita media."

"Ya enggak. Justru kalau ibu bilang seperti itu malah membuat potensi cacian semakin besar. Orang aku ndak bisa nyanyi, malah dibilang aku punya potensi suara."

"Duh, ni anak masih aja suka ngomel ya…" Arsyad mendekat dan mencubit pipiku.

"Wajar toh. Buat pihak yang dizolimi, dia berhak mengomel. Dan ya, temenmu si Kevin itu nggak jelas banget. Tahu-tahu ngajak aku buat ngomong empat mata…" Di akhir ucapan aku mendengus kesal.

"Ha ha ha, Kevin," Arsyad tertawa pelan. "Terus jadi ngomongnya?"

"Belum sempet."

"Eh, tahu nggak. Menurutku loh ya ini. Menurutku dia itu sedang nyimpen rasa penasaran sama kau. Soalnya, sejak di kereta, dia itu nanyain soal kau terus. Untuk orang seperti Kevin yang biasanya nggak sepemerhati itu soal perempuan, kali ini dia punya aura yang beda dengan nanya-nanya soal kau. Padahal dulu waktu pertama kali ketemu sama Arsyi, dia nganggep Arsyi nggak ada. Eh kemarin, dia langsung duduk di samping kau, kan waktu pemutaran perdana film bapak. Aku curiga kalau dia suka sama kau," kata Arsyad sambil senyurn menggelikan.

Spontan aku langsung melempar bantalku ke arah waiahnya yang terlihat menyebalkan itu.

"Jangan membuat konspirasi cinta denganku, dasar!"

"Konspirasi cinta? Oh iya aku lupa, kau bukannya sudah punya Darsam, ya? Ah iya…" Suasana hati Arsyad sepertinya sedang baik, hingga dia bisa mengejek dan tertawa selepas itu. "Eh, dan gimana kalau dia nanti benar-benar nyuruh kau buat nyanyi beneran?"

"Gila aja."

"Ya udah, tinggalin aja kalau gitu," kata Arsyad.

"Ya kali," kataku tepat ketika ponselku berdering tanda ada pesan masuk. Dengan cepat, aku menyambar ponsel itu sebelum dilihat oleh Arsyad yang identik memiliki mata yang gesit saat berhadapan dengan adik-adiknya.

Dan benar, dia nyengir begitu matanya itu bisa menyusup ke sela-sela jariku dan melihat nama Kevin di sana.

"Kevin?!"