webnovel

SEBATAS ASA

Pengorbanan secara terus menerus dilakukan seorang gadis bernama Alara Fredelia. Setelah mendonorkan ginjalnya untuk wanita paruh baya yang merupakan owner di butik tempatnya bekerja, membuat dirinya harus menjalani pernikahan atas perjodohan. Alara dinikahkan dengan Arvin, putra dari Erina. Erina merasa jika Alara memang sangat cocok untuk putra tunggalnya. Selain kesolehan dan kebaikan hati sang gadis, Alara ternyata adalah anak dari sahabat yang hilang sejak kecil. Alara pasrah menerima pernikahannya, apa lagi dia memang merasa sudah jatuh cinta pada pandangan pertama. Baginya, mendapatkan seorang Arvin merupakan anugerah tak terkira. Berbeda dengan sang lelaki, pernikahan baginya sebuah neraka dan ajang siksaan batin yang akan dia torehkan untuk sang gadis. Karena, hadirnya Alara membuat Arvin tidak bisa menikahi wanita yang dicintainya.

anaendra · Urban
Not enough ratings
277 Chs

Bahagia Bersama Sementara

Pov Ansel

Aku bingung menjabarkan perasaanku kali ini, entah harus bahagia atau merasa bersalah. Kepergian Tante Erina dan juga Arvin membuatku memiliki kesempatan untuk dekat dengan gadis pujaanku. Aku sadar jika aku salah memiliki rasa berbeda kepada istri sepupuku sendiri. Tapi aku sendiri bingung bagaimana cara mengendalikan diri agar tetap menjaga batasan secara wajar.

Tadinya, aku biasa saja ketika mendapat perintah untuk menyelidiki tentang gadis itu. Tapi, begitu mengetahui kenyataan apa yang sudah dia lakukan membuatku cukup tersentuh. Di dunia ini, pada jaman seperti sekarang! Ternyata masih ada wanita berhati mulia seperti dia. Aku yang belum pernah bertatap muka saja sudah terkagum-kagum pada sosok gadis bernama Alara.

Hingga hari dimana keduanya melangsungkan pernikahan, aku baru mengetahui wujud asli malaikat berwujud manusia. Dia begitu cantik alami, tanpa dempulan tebal seperti kebanyakan perempuan agar mendapat pujian dari lawan jenis. Sorot mata yang teduh, membuat setiap pria yang melihatnya akan memiliki ketertarikan tersendiri. Bawaan yang hangat selagi berada di dekatnya, membuat hati kian tenang dan lupa akan segala jenis masalah dalam hidup.

Mungkin aku bisa dibilang lebay saat memuji-muji gadis santun itu. Tapi itu lah faktanya menurutku, berbeda dengan Arvin. Kenapa dia sangat membenci Alara? Padahal, dia tahu jelas jika gadis itu yang telah menyelamatkan hidup Tante Erina. Ah… andai saja aku yang disuruh menikahi anak yatim piatu itu, sudah tentu aku siap sedia dan bersumpah akan selalu membuatnya bahagia. Namun sayang sungguh sayang, dia memang bukan jodohku. Nyatanya, sekarang dia sudah sah menjadi istri dari sepupuku sendiri.

Arvin berencana akan tinggal di Yaman selama satu minggu, sungguh keberuntungan buatku karena aku bisa menghabiskan waktu cukup lama agar bisa berdua saja dengannya. Bukan berarti dalam hal yang lebih sensitife atau hal yang tidak-tidak ya, aku akan membawanya untuk bersenang-senang. Menikmati hidup dengan penuh kebahagiaan. Setidaknya, agar dia tidak terlalu larut dalam kesedihan akibat di tinggal oleh suami dan ibu mertuanya.

"Aku bilang, aku mau pulang!" serunya kembali setelah dari tadi aku tidak menyahut.

"Kamu mau kemana sih, Kak! Kan aku sudah bilang tidak mau makan."

"Sudah, kamu diam saja dan ikuti saja kemana mobil ini melaju. Duduk diam yang manis ya…!" ku kerlingkan satu mata dan itu membuat Alara gelagapan salah tingkah. Aku terkekeh dan langsung mendapat pelototan tajam.

"Lebih baik menurutlah, kamu bukan anak TK lagi yang harus dituntun dan dinasehati setiap waktu, bukan? Jadi please bertingkahlah dewasa!" pintaku lagi. Ku lirik dengan ekor mataku karena curiga dia tidak bersuara lagi, ah ternyata dia sedang menikmati kemarahannya dengan memajukan bibirnya hingga lima senti. Astaga andai kamu istriku, sudah pasti aku cium bibir ranum nan menggoda ini. Aku meneguk saliva berat, mencoba menahan hasrat terlarang ini.

Mobil memasuki area parkir VIP di salah satu gedung pencakar langit, dimana ini adalah perusahaan milik Arvin suaminya. "Dimana kita?" tanyanya setelah mobil terhenti.

"Di perusahaan suamimu? Apa kamu belum pernah diajak kemari?" hening. "Ah… tentu saja belum! Di lihat dari wajahmu itu sudah pasti Arvin tidak sekali pun mengajakmu datang kesini. Sudah bisa kutebak." Alara pun memutar bola matanya malas melihatku.

"Cepat turun!" titahku.

Ku tinggal gadis itu berjalan dibelakangku. Ketara sekali kalau dia sangat kesal padaku, namun apa peduliku. Justru aku sangat menikmati sisi lain dari gadis itu yang mana tidak mungkin dia tunjukkan kepada suaminya. Sangat jelas jika dia begitu mencintai Arvin, dan jika di terawang sikap Arvin sama Alara, pasti membuat gadis itu enggan dan selalu menjaga sikap.

Baiklah, aku akan membuat kamu bisa menjadi dirimu sendiri. Kamu bebas melakukan apa pun saat bersamaku. Tidak ada kata sungkan ataupun enggan. Hingga perjalanan keruang kerjaku, kami masih terdiam, tidak ingin mengeluarkan suara sedikit pun satu sama lain.

"Duduk!"

"Bisa tidak, Kakak berbicara padaku dengan lembut. Rasa-rasanya sedari di bandara sampai sini, kamu tidak bisa bicara pelan dan hangat kepadaku? Kakak ada masalah pribadi, denganku?" tanyanya sedikit menantang.

"Bukannya sedari tadi kamu duluan yang berbicara ketus melulu sama aku? Sekarang, tidak salah dong jika aku bersikap sama seperti yang kamu lakukan padaku!" gadis itu membuang muka. Aku pun tak mau ambil pusing. Kuraih gagang telefon, ku hubungi sekertarisku eh maksudnya sekertaris Arvin tapi tetap dia juga bawahanku.

"Pesankan aku beberapa sushi dengan berbagai macam varian. Segera!" setelah meminta sekertarisku untuk memesankan makanan yang cukup banyak, aku kembali memeriksa berkas-berkas yang sudah menumpuk. Kini pekerjaan ku bertambah berkali-kali lipat. Tugas yang seharusnya di tangani oleh Arvin ku ambil alih selama dia belum kembali.

Tiga puluh menit kemudian, semua pesanan makananku sudah datang. Lewat ekor mataku, Alara sempat melongo dengan semua hidangan yang sudah tersaji di meja yang terletak tidak jauh dari meja kerjaku. "Kak! Kamu serius bisa menghabiskan ini, semua? Apa tidak berlebihan? Sayang sekali loh kalau sampai tidak habis dan terbuang sia-sia. Sedangkan di luaran sana masih banyak sekali orang yang tidak bisa beli makan." Aku berdiri menghampiri wanita cantik itu.

"Tentu saja habis. Bukan aku saja yang akan makan semua ini, melainkan kamu juga! Kamu harus makan agar tidak terlalu kurus seperti sekarang ini. Lihat dirimu? Kamu seperti orang kekurangan gizi, kurussss sekali. Apa menurutmu, Arvin tidak malu karena memiliki istri seperti sapu lidi? Pasti dia malu, karena orang akan menganggap jika dia gagal menafkahi istrinya sehingga sang istri tak terurus." Rayuku agar dia mau makan siang bersamaku. Jujur saja aku pun dibuat kenyang terlebih dahulu memandang makanan Jepang itu tersaji penuh di meja.

"Bagaimana kalau kita lomba? Siapa yang kalah akan menuruti semua permintaan yang menang!" Tantangku kepadanya.

"Boleh," jawabnya antusias.

"Oke, pada hitungan ketiga kita mulai! Satu… dua… tiga!" alara mengambil satu piring berisi enam sushi Spicy Tuna Roll. Sedangkan aku memilih mengambil piring berisi Flaming Salmon Roll. Kami benar-benar seperti orang kelaparan karena dua hari tidak makan. Selesai piring satu kembali mengambil yang lainnya, begitu seterusnya. Akhirnya aku kalah, aku tersedak karena makan buru-buru. Memang hal ini bukanlah kebiasaanku. aku tergolong pria yang suka makan dengan tenang, tidak grusa grusu layaknya pengelana yang menahan lapar berhari-hari.

"Kamu kalah!" ucap Alara sambil mengunyah, lucu sekali saat pipinya menyimpan makanan didalam menjadikan pipi itu gembul, tidak hanya sebelah melainkan dua-duanya. Aku bahagia melihatnya seperti itu.

Bolehkah aku egois Tuhan? Aku ingin bahagia bersamanya walau sementara. Arvin! Maaf ya, aku pinjam istrimu dahulu. Aku ingin membuatnya tersenyum tanpa beban. Apa lagi setelah perkataanmu padaku saat itu, membuatku gigih untuk melindungi dan membahagiakannya meskipun dengan hal-hal kecil.

"Selesaikan dulu kunyahan mu itu, jangan sampai tersedak kayak aku!" Alara mengubah ritme makan dari cepat-cepat beralih pelan-pelan.

"Aku menang." Nada suaranya semakin antusias mendapati kekalahanku.

"Ya… ya… kamu menang! Memangnya kamu mau apa?"

"Aku ingin ke Dufan, pantai, puncak dan masih banyak lagi tempat yang belum pernah aku kunjungi. Jadi selama seminggu, Kak Ansel harus menuruti semua permintaanku." Aku hanya manggut-manggut, mengiyakan segala permintaannya. Aku tidak ingin terkesan terlalu senang, meskipun memang iya aku senang tak terkira. Namun gengsi aku sebagai pria, tidak ingin dipandang buruk atau murahan oleh wanita yang kukagumi.

Jangan ditanya apa yang terjadi pada hatiku. Sungguh ingin rasanya sekarang aku melompat setinggi mungkin dan menebarkan bunga dari atas awan. Ku bayangkan bagaimana serunya kebersamaan kami nanti. Semoga saja bisa membuatnya terkesan dan tidak mudah terlupakan.

"Hei, Arvin! Aku pinjam istrimu dulu, ya! Kalau bisa mending kamu tinggal di Yaman aja sampai sebulan biar aku puas membahagiakan dia," selorohku tapi dalam hati.

"Oya! Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?" Alara mengabiskan minuman digelasnya yang tinggal setengah, setelahnya mengangkat kepala menatapku.

"Mau tanya apa, Kak?"

"Kenapa kamu tidak ingin ikut ke Yaman? Bukankah ini kesempatan buat kalian berdua agar bisa sekalian bulan madu? Mengenal satu sama lain dan memupuk cinta agar rumah tangga kalian harmonis." wajah yang tadinya terlihat santai, berubah mendung. Tak berselang lama, gadis itu merubah mimik wajahnya dibuat secerah mungkin. Seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

"Huft, cepat sekali dia berubah-ubah! Apa dia ini jelmaan bunglon. Selalu bisa menyesuaikan keadaan." Aku berujar jengah menatap gadis itu yang tengah menutupi luka hatinya. Padahal aku sangat tahu jika dia mungkin saja tidak bahagia. Selama acara makan malam di rumah orang tua Arvin, aku bisa membedakan perlakuan Arvin yang Nampak tidak tulus saat berbuat baik kepada istrinya. Entah ia menyadari itu atau tidak, tapi aku tidak akan tertipu. Apa lagi, Arvin terang-terangan bermaksud akan balas dendam. "Semoga kamu kuat, Alara," ucapku dalam hati sesaat setelah kembali menatap sendu wanita itu.

"Aku memang tidak ingin pergi, Kak! Aku takut naik pesawat terbang," jawabnya ambigu. Sungguh alasan klasik.

"Jujurlah! Jika ada sesuatu yang terasa mengganjal di hatimu, aku bukan orang yang buruk untuk menjadi pendengar setia. Dan lagi, mulut ini akan terkunci rapat untuk menyembunyikan kerapuhan hatimu." Gelak tawa terdengar nyaring dari bibir ranumnya, aku mengernyit bingung.

"Ada apa? Apa ada yang salah dengan perkataanku?"

"Hahaha Ka…Ka! Kamu ini dukun?" aku semakin bingung dibuatnya.

"Maksud kamu?"

"Iya…apa Ka Ansel ini dukun? Sejak kapan Kakak tahu kalau hatiku rapuh? Aku baik-baik saja, kak! Hanya tadi sedih karena akan ditinggal jauh saja, jadi…! Apa menurutmu hatiku rapuh?"

"Tentu saja itu termasuk rapuh! Itu pertanda bahwa kamu memang tipe orang yang mellow. Lalu apa namanya kalau bukan rapuh? Apa kamu pikir rapuh itu hanya untuk orang yang sedang sakit hati saja dan mengalami kemalangan?" Wanita itu terdiam, mungkin saja dia sedang menyelami perkataanku. Tapi baguslah, siapa tahu dirinya bisa mulai terbuka denganku.