webnovel

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Teen
Not enough ratings
268 Chs

Sakit, Pengakhiran Kontrak

Haikal membuka pintu kamar dengan sebelah tangannya. Kanan memegang gagang pintu, kiri memegang bubur, segelas air, dan potongan apel di atas nampan kayu. Menu makan siang khas rumah sakit itu bukan untuk dirinya, melainkan Adri. Istrinya itu tengah sakit, sudah dua hari hanya berbaring di tempat tidur dan tak mau dibawa ke dokter.

"Makan dulu ya, nanti minum obat." Haikal menaruh nampan tadi ke atas nakas, sementara dirinya duduk di pinggir tempat tidur.

"Kenyang Kak ..." lirih Adri.

"Hmm, kenyang makan apa emang? Sarapan aja cuma dikit tadi. Makan dulu ya, udah Kakak buatin," ujarnya, mengusap kening hangat Adri itu sayang. Dirapikannya juga rambut pendek sebahu Adri yang berantakan akibat tidur terlalu lama. "Ke dokter ya sore ini? Takutnya tipes Kamu kambuh, Kakak khawatir. Ya?" bujuk Haikal sekali lagi.

Adri menggeleng, "Engga, cuma sakit kepala sama demam. Nanti juga sembuh."

Haikal tersenyum simpul, kemudian diambilnya mangkuk berisi bubur itu. Tanpa banyak membantah, Adri akhirnya menurut, menerima suapan demi suapan dari Haikal.

"Ini Senin. Kakak cuti lagi?" tanya Adri.

Haikal mengangguk, "Iya. Kenapa emang? Siapa yang jagain Kamu kalau Kakak ke kantor hari ini?"

Adri menghela nafasnya sejenak, "Maaf Kak, Kakak jadi terlalu banyak cuti karena Aku sering sakit."

Haikal berhenti, ditatapnya Adri yang tengah menatapnya sendu itu, "Kenapa minta maaf? Ini kewajiban Kakak. Toh kalau Kakak sakit juga Kamu cuti kan? Jangan berpikir begitu. Pekerjaan bisa jadi nomor dua buat Kakak kalau Kamu sakit," ujarnya, membuat Adri terharu diam diam.

"Mending Kamu istirahat, jangan banyak pikiran, lupakan dulu pekerjaan Kamu. Cepet sembuh, ya?" Haikal mengelus wajah Adri lembut. Masih panas, demamnya itu belum turun. Lalu Haikal tak tahu kenapa mata Adri itu basah sekarang. Efek panas? Rasanya tidak juga.

"Kamu kenapa?"

Adri menggeleng, menghapus jejak air matanya, "Enggak."

"Eeh, jangan gitu dong. Kenapa Kamu nangis? Kakak ada salah?"

Adri kembali menggeleng, "Enggaaa. Kakak gak pernah salah. Aku cuma ... sedih karena ... karena sering ngerepotin Kakak ..." ujarnya tersenggal-senggal.

Haikal menaruh mangkuk bubur kembali ke atas nakas, lalu merengkuh Adri yang tengah emosional itu. Haikal sudah hafal, karena ini bukan pertama kali Adri mengatakan hal serupa, bahwa Ia merasa sedih dan merepotkan.

"Gak ada yang merepotkan sama sekali. Kamu, atau Kakak. Memang tugas, tanggung jawab, dan lebih dari itu semua, keinginan Kita seperti ini. Kakak sayang sama Kamu, dan itu bukan sekedar diucapkan, tapi ditunjukkan, salah satunya seperti ini. Kamu gak pernah merepotkan Kakak, karena Kakak selalu ikhlaaaas menyayangi dan merawat Kamu selama ini. Ya?" Haikal penuh penghayatan mengungkapkan isi hatinya, sembari tangannya itu mengelus punggung Adri perlahan.

Adri memeluk Haikal erat, "Jangan tinggalin Aku Kak," ujarnya.

Haikal tersenyum simpul, "Apa alasan Kakak ninggalin Kamu emangnya, hm? Rasanya gak ada."

Adri menggeleng, "Siapa tau."

"Tau dari siapa?" Haikal membalikkan pertanyaan.

"Kakak mah ..."

Haikal tergelak, "Kamu tuh kalau lagi sakit suka berubah emosional gini, Kakak jadi takut kadang."

"Takut kenapa?"

"Takut kalau tiba tiba ... gak jadi."

"Ih Kakak ... jangan setengah setengah, bikin penasaran ..."

Haikal melepaskan pelukannya kemudian, diraihnya gelas berisi air mineral, "Minum dulu," titahnya, Adri kembali menurut saja.

"Lanjut makan atau mau minum obat dan langsung istirahat?" tawar Haikal.

"Minum obat, tapi gak mau istirahat," jawab Adri yang sudah berbaring kembali diatas bantal.

Haikal mengangguk, "Oke. Tapi mau apa kalau Kamu gak mau istirahat? Mending tidur lagi, biar cepet pulih," ujarnya seraya membuka plastik berisi obat obatan untuk Adri.

"Tadi malem Nalesha chat Aku Kak," lapor Adri.

"Oh ya? Apa katanya?" Haikal membantu Adri sedikit duduk untuk memudahkannya menelan obat obatan, "Minum dulu obatnya," ujarnya cepat sebelum Adri lanjut bercerita.

Tiga tablet dilahap Adri sekaligus dibantu air mineral. Adri tak langsung berbaring, memilih bersandar pada headboard dan lanjut bercerita.

"Katanya Saheera lagi bingung karena dapet dua beasiswa tapi gak didukung sama Abinya."

Haikal mengerutkan dahinya, "Dua beasiswa? Beasiswa apa?"

"Exchange, Belanda dan USA. Udah dapet pendanaannya juga, tinggal berangkat setelah visa selesai katanya."

"Oh gitu? Terus kenapa gak diizinkan? Masih sama alasannya?" tebak Haikal.

Adri mengangguk, "Iya Kak. Masih sama, kali ini kayaknya bikin Saheera bener bener galau karena studi ke luar negeri itu kan salah satu cita citanya gitu."

Haikal tampak berpikir, bertopang dagu, "Terus apa solusi dari Nalesha?"

"Bukan solusi langsung mungkin, tapi dia minta Kita untuk bantu bicara sama Abinya Saheera ini."

"Wah, agak susah ya sebenarnya. Kakak beberapa kali bicara dengan beliau, dan ... masih sangat sulit."

"Sangat konservatif?"

"Ya, kalimatnya menutup pandangan lain untuk masuk, seperti 'Maaf Pak Haikal, ini masalah keyakinan' begitu. Sulit sekali, jujur. Tapi mungkin Kamu bisa mendekati istrinya Dri. Belum pernah kan?"

Adri mengangguk, "Iya, belum."

"Nah, dicoba aja. Biasanya kalau sesama wanita lebih mudah, lebih dari hati ke hati," saran Haikal.

"Gitu ya? Oke, nanti Aku coba bicara sama Saheera dulu."

Haikal mengangguk setuju, "Nalesha tuh ... care banget sama Saheera. Sepanjang camping kemaren dia banyak cerita soal gimana Saheera tuh influence anak anak buat ibadah dan belajar."

"Bagus dong berarti. Kakak mah liatnya dari sisi jodoh jodohan aja sih," protes Adri.

Haikal cengengesan, "Ya abis tuh gemes loh Sayang. Jadi inget masa masa kuliah dulu, asik banget ngeroasting orang sampe jadian."

"Gak boleh gituu Kak Haikaal. Apalagi ini Saheera loh."

"Iyaaa deh iyaaa."

"Iya iya diulang terus," ambek Adri.

Haikal mencubit pelan kedua pipi Adri dengan gemasnya, membuat si empunya memberontak, "Sakit Kak, ngiluu."

"Eh? Maaf maaf. Duh, kok ngilu? Tuh kan, mendingan ke dokter deh, ini tuh gejala tipes kayaknya." Haikal kembali khawatir.

Adri menggeleng, "Gak mau Kak. Mending di rumah aja."

"Kenapa sih gak mau ke dokter? Kamu masih takut?" tanya Haikal hati hati.

Adri terdiam, membuat Haikal paham sekarang. Rupanya vonis dokter sepuluh tahun lalu itu masih sangat membekas di hati istrinya.

Kembali Haikal rengkuh Adri, mengelus kepalanya pelan, "Gak apa apa. Kakak gak akan maksa Kamu ke dokter. Kamu cepet sehat ya ..."

"Hmmm. Makasih Kak."

"Sama sama. Tapi boleh Kakak minta sesuatu sama Kamu?"

"Apa Kak?"

"Kontrak Kamu di ITB, akhiri tahun ini aja ya. Kakak minta tolong, ini final, pertimbangan besar di kesehatan Kamu."

Diluar dugaan Haikal, Adri mengangguk, "Iya Kak. Aku akan berhenti jadi dosen, dan fokus di bisnis. Aku juga mau setiap hari sama Kakak di Jakarta."