webnovel
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

School of Persona

Bagaimana rasanya hidup sebagai remaja di tahun 2042-2043? Ditengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan kompetitif? Mereka itulah yang disebut sebagai ‘Generasi Emas Indonesia 2045’. Berdirilah School of Persona (SP). Sebuah asrama yang dibangun sebagai tempat pembinaan kompetensi dan kepribadian para remaja SMA penerima Haikal Scholarship in Leadership (HSL). Penghuni asrama elit itu sangat heterogen, mereka dituntut untuk memahami berbagai perbedaan persona di dalamnya. Mereka memiliki sisi yang membanggakan, normal, hingga 'liar' secara bersamaan. Bukan kamuflase, itu hanya ukum tiga wajah; pribadi; keluarga; publik. Banyak persoalan, rahasia dan masalah muncul diantara mereka, lama kelamaan membesar, lalu meledak sebagai bom waktu. Lalu, mampukah mereka membangun diri sekaligus menghadapi tantangan besar generasi mereka itu? Unlock the answer by reading this story! ------ Halo, Readers! Selamat datang di novel keempat Aleyshia Wein. Konsep novel ini adalah Fiksi Realistik dengan sentuhan Literary Fiction. Meskipun demikian, sisi romantis akan tetap ada tipis-tipis, baik diantara para penghuni School of Persona, atau Adriana dan Haikal. Author menyarankan untuk terlebih dahulu membaca karya kedua Author yang berjudul 'Laboratory Doctor and Activist' untuk lebih dekat dengan karakter dan kisah Adriana Gerrie dan M. Faqih Haikal yang terbilang cukup filosofis mendasari berdirinya The School of Persona. Seperti biasa gaya bahasa akan cenderung teknis, dan beberapa istilah advanced akan dijelaskan dalam notes Author. Happy reading! Regards, Aleyshia Wein.

aleyshiawein · Teen
Not enough ratings
268 Chs
#COMEDY
#CAMPUS
#TEEN
#FUTURE

Kafe Sebelah Rektorat

Seorang pria berkacamata membawa dua gelas kopi dan dua potong brownies diatas nampan, ditaruh di atas meja untuk dua orang; dirinya, dan satu teman lama. Tak sengaja keduanya bisa bernostalgia di kedai kopi samping Gedung Rektorat kampus almamater. Nuansa tempat itu masih sama, memutar kembali beberapa memori esensial dua puluh tahunan silam.

"Jadi gimana Dri? Apa yang paling Lo inget pertama kali begitu menginjakkan kaki di kafe ini lagi?" tanya Jevan. Profesor Sekolah Ilmu Hayati itu tak sekedar berbasa-basi, melainkan sungguh ingin tahu.

Adri mengaduk segelas iced americano tanpa gula miliknya hasil traktiran Jevan, "Gue merasa berkhianat sama Suami Gue sih yang jelas," ujarnya setengah tertawa.

Jevan hanya tersenyum simpul, "Siapa? Yang pertama, atau ... yang kedua?"

"Ck! Kenapa digali sih? Gue udah mati-matian lupain, malah Lo ungkit, gimana sih?" protes Adri.