webnovel

SC45 - When the Terra Falling Down

Bumi, tahun 2525 Masehi. Di masa itu kehidupan yang ada sudah sangat tidak terkendali. Kehidupan orang banyak tak lebih baik dari anjing jalanan. Seiring waktu, Bumi tak lagi bersahabat. Eksploitasi berlebihan menghancurkan semua hutan yang ada. Tanah tandus. Sungai mengering, danau menghilang, dan lautan tak lebih dari tempat pembuangan sampah raksasa di mana poluisi dan polutan bercampur baur menjadi racun mematikan. Teknologi memang sudah sangat maju, bahkan perjalanan antar bintang bukanlah sebuah kemustahilan lagi. Dan kala Bumi tak lagi bisa untuk ditinggali, para penguasa baru berbondong-bondong meninggalkan planet kelahiran mereka. Meninggalkan mereka yang tidak berdaya menunggu kematian datang menghampiri. Apakah Bumi akan benar-benar hancur? Lalu, bagaimana dengan nasib mereka yang tertinggal dalam perjuangan mencari keselamatan? Well, temukan semuanya di dalam cerita ini. Selamat membaca.

Ando_Ajo · Sci-fi
Not enough ratings
314 Chs

Meningkatkan Warp

"Kerja bagus guys," ujar Hyker pada Pical, Quinn, dan Oryza. "Siagakan saja semua senjata—yaah, kalian tahulah…"

Baik Pical, Quinn, maupun Oryza tahu itu. Meski sempat bernapas lega sebab mereka mampu meninggalkan orbit-dalam Bumi dan berada di area terluar ini, tapi itu belum cukup. Pihak Federasi yang duduk manis di S.o.F pasti sudah mendeteksi keberadaan mereka, sama seperti semua pesawat yang terapung di luar sana.

"Woow…" Hyker berdecak kagum.

Dari bangku kemudinya itu, ia bisa melihat betapa indahnya Bumi meski tak lagi sepenuhnya biru sebagaimana dengan yang pernah ia dengar dari orang-orang sebelum ini. Atau dari tayangan-tayangan video di platform mana pun. Ada bayang sedih teramat yang membias di kedua pandangan Hyker. Ia menghela napas dalam-dalam, dan hempasan selanjutnya adalah bentuk penyesalan pada apa yang dialami tanah kelahiran itu kini.

"Kau, tak seindah dulu lagi…"

Quinn, Pical, dan Oryza sama menyaksikan apa yang dimaksud oleh Hyker tersebut. Ketiganya pun sama, tatap sedih dan kehilangan teramat menaungi pandangan iba pada planet yang dulu pernah berjuluk The Blue Planet. Kini, rona merah berpijar dari banyak titik di tubuhnya yang bundar, sesekali membersitkan lidah merah memanjang.

Memanfaatkan ketenangan dan kestabilan pesawat, Dokter Kamal dan istrinya yang juga seorang dokter sama memeriksa kondisi setiap orang di kabin utama.

Langkah Dharma membawanya ke depan pintu otomatis yang memisahkan lorong di mana ia berpijak dengan kabin utama. Pintu berdesis dan bergerak membuka. Begitu memasuki ruangan, sepasang mata liar mencari keberadaan istri dan anaknya.

"Sweetheart…"

Dharma mengumbar senyum haru dengan langkah cepat, menghampiri Xian yang tengah mendapat perhatian dari Dokter Kamal.

"Papa…" Xian menghambur begitu saja ke pelukan Dharma yang berjongkok di hadapannya. Yuan pun menghampiri, memeluk keduanya.

"Honey," Dharma tak kuasa membendung keharuannya memandang sang istri. Berulang kali ia menciumi anak dan istrinya. "Ooh, God. Thank you…"

Dokter Kamal mengerti perasaan itu, senyum terulas di sudut bibir. Ia mendekati yang lain guna mengecek kondisi tubuh mereka. Ryan dan kawan-kawan sama terkekeh mengangguk-angguk menyaksikan keluarga kecil tersebut saling berpelukan.

Ely menggenggam erat tangan Aldi demi menyaksikan Kapten Dharma memeluk anak dan istrinya penuh kasih. Aldi paham, gadis kecil ini tentulah sedang teringat akan kedua orang tuanya, ia tak seberuntung Xian. Dengan tangan satunya lagi, Aldi mengelus-elus punggung Ely. Aldi menarik napas dalam-dalam di sela senyuman. Terlalu paham akan suasana itu.

"Yan," Kapten Dharma alihkan pandangannya pada Ryan. Ia berdiri dan mendekati pemuda tersebut. "Kau bisa meningkatkan kecepatan warp pesawat ini?"

Ryan memandang Cinnong di sampingnya, tentu saja ia paham kecemasan yang masih menaungi wajah sang kapten. Itu berarti keselamatan nyawa bagi ia dan kawan-kawan juga pastinya.

"What about Aios?" Ryan balik bertanya.

"Itu bisa menunggu," Kapten Dharma mengerling pada Guntur dan Fraya, kemudian memberi isyarat dengan gerakan kepala. "Come on!" dan menepuk bahu Ryan.

Sebelum meninggalkan kabin utama, Kapten Dharma menyempatkan kembali memeluk anak istrinya dan meminta mereka untuk tetap di sana bersama yang lain. Yuan cukup paham dengan semua itu, ia mengangguk. Mencium mesra sang suami, dan kembali membawa Xian duduk. Tidak apa-apa, bisik hatinya, apa pun yang terjadi sekarang, ia sudah bisa merasa tenang meski hanya secercah saja.

"Berikan yang terbaik, guys!" ujar Ryan setelah menatap Cinnong, Boris, Naomi, dan Yuma, lantas kelima-limanya bergegas mengikuti langkah sang kapten yang telah lebih dulu berlalu bersama Guntur dan Fraya.

"Hei…!" Aldi berdiri meski satu tangannya masih dalam pelukan Ely. Ryan memutar tubuh. "Ada yang bisa gue bantu?"

Ryan dan kawan-kawan saling pandang. "Lu paham warp?" Ryan terkekeh menanggapi gelengan kepala Aldi. "Kalau gitu… tolong awasi yang di sini. Hei—" Ryan kembali hentikan langkah memandang pada Aldi. "—Terima kasih untuk yang tadi."

Aldi menganguk-angguk. "That's our ticket," senyum Aldi sembari duduk, dan kembali terkekeh mendapati Naomi mengacungkan jempol padanya sambil berlalu.

Di dalam ruang mesin utama yang berada di lambung bawah pesawat SC-45. Kapten Dharma mengawasi kesibukan Ryan dan kawan-kawan.

Sementara Cinnong dan Boris sibuk membongkar lapisan luar dari sebuah modul besar, dan Naomi beserta Yuma melepas sejumlah sambungan kabel-kabel besar pada modul itu sendiri, Ryan berkutat dengan gadget di tangannya.

C-Pad di tangan ryan itu merupakan milik dari Kapten Dharma yang diberikan sang kapten sendiri kepada laki-laki tersebut guna mendukung keperluan dalam usaha Ryan dan kawan-kawan menaikkan fungsi mesin warp.

Usaha Ryan dan kawan-kawan juga dibantu sejumlah teknisi lainnya. Fraya dan Guntur tidak tinggal diam, pun begitu dengan rekan-rekan bawahan mereka.

"Hyker," seru Kapten Dharma. Seruannya itu disampaikan lewat interkom. "Bagaimana kondisi di sana?"

"Masih hening, Cap." Hyker masih memerhatikan sejumlah pesawat luar angkasa yang mengapung di dekat kapal mereka. "Tapi kalau di bawah sana tidak segera menyelesaikan—apa pun itu," Hyker menyunggingkan senyum, pandangannya menangkap lalu-lalang drone-drone seukuran mobil di luar sana. Firasatnya mengatakan ini bukanlah hal yang baik. "Aku rasa," lanjut Hyker pula. "Kita akan ketahuan oleh orang-orang Federasi."

"Goddamnit!" maki Kapten Dharma pula menghentakkan kaki lebih kuat ke lantai ruangan. "Yan," serunya kepada Ryan. "Berapa lama lagi?"

"Hei," balas Ryan seraya menyentuh pertengahan gagang kacamatanya. "Tenang. Baru juga lima belas menit."

"Memangnya kau butuh waktu seharian?"

Kekhawatiran di dalam diri sang kapten begitu kentara. Meski sesungguhnya hal serupa juga ada pada diri Ryan, Cinnong, dan yang lainnya yang ada di dalam pesawat tersebut. Ketegangan yang berlalu dalam menit-menit yang terasa begitu lambat sungguh sangat menyiksa diri.

"Hey, Cap," seru Fraya pula yang sibuk membantu Cinnong dan Boris. "Marah-marah tidak akan membantu kami di sini."

"Aku tidak marah—ahh, sudahlah." Kapten Dharma menghela napas dalam-dalam, lantas mengembuskannya dengan sangat panjang. "Aku akan ke atas saja."

"Itu lebih baik," timpal Guntur, dan sempat-sempatnya laki-laki tersebut tertawa halus menyindir sang kapten. "Mungkin ada sesuatu yang bisa Anda lakukan di sana, Cap."

Kapten Dharma mendengus lemah, lantas melangkahkan kaki. "Kalian memang anak buah yang kurang ajar!" Dan meninggalkan ruangan mesin utama itu.

Semua yang ada di ruangan itu sama tahu, ucapan sang kapten tidaklah sungguh-sungguh. Jadi, mereka hanya menanggapi dengan tawa halus dan senyum lebar di wajah.

"Hei," panggil Fraya pada Ryan. "Berapa lama lagi?"

Ryan menangguk-angguk, sepuluh jemari tangannya tetap bergerak liar di atas permukaan layar C-Pad yang ia taruh di atas satu pahanya yang menekuk. Ia tidak menjawab pertanyaan Fraya itu, kecuali telunjuk tangan kanan yang sedikit teracung.

Fraya maklum itu, laki-laki tersebut sedang berkutat dengan serius pada sistem mesin utama. Selanjutnya, Fraya membantu usaha rekan-rekannya yang lain membongkar sejumlah komponen besar dan kecil, melepas dan menyambung kembali beberapa kabel-kabel pendukung.

Kembali menit-menit berlalu dengan keheningan dan ketegangan di wajah semua orang di ruang mesin utama tersebut.

Hi, Guys^^ Salam.

Terima kasih sudah membaca SC45 sampai sejauh ini. Dan bila berkenan, saya sangat berharap kritik dan saran dari rekan semua. Juga, berikan dukungan atas cerita ini dengan cara memberikan review dan power stone ^^

Peace be upon all of you.

Ando_Ajocreators' thoughts