webnovel

Sayonara My Playgirl

“Terserah lo mau nilai gue apa! Tapi yang pasti, cowok lo harus bertanggung jawab atas janin di kandungan gue!”   Megha betul-betul hilang akal! Setelah tahu dirinya hamil ia justru meminta Alvan yang tak lain adalah tunangan saudara kembarnya sendiri yaitu Metha, untuk bertanggung jawab atas kehamilannya.   Sejatinya Megha tak ingin membuat saudara kembarnya terluka. Akan tetapi permainan yang telah di mulainya membuat ia semakin menikmati, bahwa melukai Metha adalah hal yang paling menyenangkan di dalam hidupnya   Sementara Alvan yang dikenal cerdas, mendadak dungu dan mengikuti alur yang dibuat Megha. Tidak ada perlawanan, yang ada hanyalah kepasrahan untuk menjadi ayah dari janin yang Megha kandung.    Apakah Megha akan terus berada di atas angin? Atau permainannya akan berakhir dan menenggelamkannya?    

Yulia_Sappo · Urban
Not enough ratings
188 Chs

PUTUS JILID 2

"Kayaknya Metha nggak akan maafin gue," lirih Alvan. Masih tertahan bersama Megha di ruang eksklusif restoran.

"Ck-ck-ck. Gue ngga nyangka lo akan sesedih ini ditinggal Metha."

"Jangan bercanda deh, Gha. Dia itu tunangan gue!"

Megha terdiam memikirkan sesuatu.

Sejenak kemudian Megha mendekatkan wajahnya kepada Alvan. Lantas ia berbisik, "sampai sekarang gue masih belum percaya, kalau lo bener-bener cinta sama Metha."

Sontak Alvan memalingkan wajahnya, terkejut mendengar ucapan Megha. "Terserah!"

Megha terkekeh mendapati balasan dari Alvan.

"Oke! Sekarang giliran gue," sambung Megha sambil berdiri.

"Mau kemana?"

"Temuin Rako. Buat bilang kalau gue hamil anak kakaknya!"

Alvan langsung ikut-ikutan bangkit berdiri. "Gue temenin!"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Gue nggak mau kalian tonjok-tonjokkan di depan gue."

"Tapi gue juga nggak mungkin ngebiarin elo hadapin dia sendirian."

"Eem..." lirikan Megha terlihat menggoda. Bibirnya melengkung bagai perahu yang mengambang di danau yang tenang. "Khawatir nih ceritanya. Perhatian lo kayak gini yang buat gue nggak percaya lo cinta sama Metha."

Alvan lagi-lagi memalingkan muka. "Memang gue nggak boleh khawatir? Di dalam perut lo kan ada anak gue."

Sekejap Megha langsung tertegun. "Ada anak gue" kata-kata itu tiba-tiba saja membuat perasaan Megha menjadi gelisah.

"Jadi nggak pa-pa kan, kalau gue sekarang mulai khawatir sama lo?" kembali Alvan bertanya.

"Oh – iya ngga pa-pa," balas Megha datar. Seketika sikap santai menggodanya lenyap enggan ia hadirkan lagi dalam pembicaraannya bersama Alvan. "Tetapi untuk kali ini biarin gue bicara berdua dulu ya sama Rako. Dengan begitu, gue akan lebih nyaman untuk ngejelasin semuanya."

Dalam hati Alvan masih ada rasa berat untuk membiarkan Megha menghadapi Rako sendiri. Ia tahu betul bagaimana adiknya jika sedang marah. Namun ia juga tak bisa memaksa Megha, wanita itu membutuhkan ruang untuk bisa menyelesaikan persoalan.

Alvan menghela nafas, berpaling lagi ia sejenak dari tatapan harap-harap cemas Megha. Lalu kembali berkata, "terserah."

Senyum tipis itu pun hadir. Menghias bibir merah wanita di depannya.

Megha segera menaiki taksi menuju apartemen Rako. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Bonanza restaurant, hanya sekitar 35 menit yang perlu ia tempuh.

Di dalam perjalanan pikiran Megha bercabang tak karuan. Ia sama sekali tidak menyangka rencananya akan semudah ini. Membuat Metha dan Alvan putus hanya dengan alasan bayi yang dikandungnya. Sebentar lagi Alvan akan menjadi suaminya, tak peduli jika pernikahan itu berdiri di atas rasa sakit hati kakak kembarnya bahkan amarah kedua orangtuanya.

"Sorry Tha, gue terpaksa ngelakuin ini. Gue ngga mau anak gue lahir tanpa bapak. Gue pinjam Alvan sampai anak ini lahir, setelahnya gue akan kembaliin dia ke elo.

"Ma, Pa. Maafin Megha yang terpaksa harus menyakiti anak kesayangan Mama sama Papa.

"Mama sama Papa boleh semakin nggak suka sama aku. Aku rela! Tapi apa pun yang terjadi nanti, pernikahan aku sama Alvan tetap harus berlangsung."

Begitulah suara hati Megha menyeruak. Keputusan besar sudah ia ambil dan ia juga sudah siap menerima risikonya. Sekarang ia harus bersiap diri lagi, karena Rako sudah menunggunya sejak tadi.

***

Di apartemen Rako.

"Lama banget sih!" protes Rako ketika baru saja membukakan pintu untuk Megha.

Namun Megha hanya terdiam, tidak mau memberi alasan apa pun untuk hal itu. Lagi pula itu hanya hal sepele baginya, ia tidak ingin membuang energi untuk meributkan hal itu. Membicarakan tentang kehamilannya lebih penting dari pada soal terlambat datang.

Megha langsung duduk di ruang tamu. Dengan santainya ia mengambil kaleng cola yang sudah tersedia di meja. Baru saja ia membuka dan hampir menenggaknya, Rako langsung merebut minuman itu dari tangan Megha.

"Hei, kamu sedang hamil anak kita. Jangan minum soda sembarangan."

"Dikit aja, aku haus!" Megha berusaha meraih lagi kaleng minuman itu.

"Enggak!" Rako menaikkan minuman itu tinggi-tinggi. "Tunggu sebentar, biar aku ambil air putih buat kamu."

Mau tak mau Megha pun menyerah.

Selang beberapa detik kemudian. Segelas air mineral dingin diberikan Rako kepada Megha. Buru-buru wanita itu meneguknya.

"Ya ampun, pelan-pelan...!" perintah Rako cemas lalu menyusul duduk di samping Megha.

"Aahhhh... segar banget!"

Rako geleng-geleng kepala melihat tingkah Megha. "Emang Alvan nggak kasih kamu minum!" celetuknya kemudian. Membuat Megha cuma senyum-senyum membalas.

"Gimana reaksi Metha?" lanjut Rako.

"Seperti yang aku tebak. Jiwa harimaunya keluar."

Rako mendengus tersenyum kecil.

"Dua minggu lagi aku akan menggantikan posisi Metha sebagai pengantin Alvan. Nggak tahu kenapa, aku kok jadi kasihan ya sama Alvan."

"Megha... pliss! Jangan pakai rasa iba kamu dalam rencana kita ini. Kamu hanya perlu menikahi Alvan sampai anak kita lahir, sampai papi aku memutuskan bahwa hanya akulah yang pantas jadi direktur utama di Mahawira, bukan Alvan!"

Megha mencondongkan duduknya ke arah Rako. Raut mukanya terlihat semakin serius. "Apa sih yang buat kamu yakin? Hanya dengan menghancurkan citra kakak kamu di depan Papi, dia akan lebih memilih kamu sebagai penggantinya di perusahaan?"

Rako mengangkat satu kakinya. Terlihat semakin santai mendengar pertanyaan Megha.

"Karena aku sangat mengenal papiku," jawab lelaki itu. "Baginya nama baik adalah hal yang utama. Papi nggak akan segan-segan menghukum aku dan Kak Alvan, kalau yang kami lakukan akan berpengaruh terhadap nama besarnya.

"Saat ini Papi sedang mempertimbangkan siapa yang pantas menggantikannya di perusahaan. Kalau aku cuma ngandelin kemampuan aku, aku pasti kalah dari Kak Alvan. Karena itu aku perlu sedikit bersiasat dalam urusan ini."

"Termasuk mengorbankan aku?" pertanyaan Megha seketika mengagetkan Rako.

"Jadi kamu ngerasa kayak gitu?"

"Ya. Aku ngerasa sebetulnya kamu nggak mau tanggung jawab."

"Megha... sayangku...." Dengan lembut Rako menyampirkan rambut Megha ke balik telinganya. "Buat aku kehadiran anak kita adalah keberuntungan! Selama ini sulit buat aku menjatuhkan Kak Alvan, lalu tiba-tiba kamu datang bawa kabar kalau kamu sedang mengandung anak kita. Ini kejutan besar! Anak kita membuka jalan untuk aku berhasil.

"Aku bahagia, Sayang. Aku sangat-sangat bahagia akan jadi ayah, dan aku mau banget nikahin kamu. Tetapi nggak sekarang.

"Aku harus tunggu sampai Papi mengangkat aku jadi direktur utama, dan membuat Kak Alvan enggak terlibat lagi di perusahaan. Dan aku akan membereskan semua secepatnya. Secepatnya, Sayang.

"Setelahnya, tinggal kita tunggu anak kita lahir. Lalu kamu bisa menggugat cerai Alvan."

Megha langsung beranjak berdiri, seraya menyilangkan tangan. Masih ada saja perasaan yang mengganjal di hatinya. "Aku udah hafal kok rencana kamu. Jadi nggak perlu diulang-ulang!"

Rako turut menyusul berdiri. Ia rangkul wanita itu sambil sesekali mengusap rambut panjang Megha.

"Iya maaf. Habis kamu kayak masih nggak yakin gitu sama aku," Rako membela diri.

"Aku... aku bukannya nggak yakin sama kamu. Aku cuma nggak enak hati sama Alvan."

"Kak Alvan?"

Megha langsung menghadapkan tubuhnya tepat di depan Rako. Raut mukanya tampak jelas menunjukkan kecemasan. "Aku kasihan sama Alvan. Dia harus bertanggung jawab atas apa yang nggak dia lakuin. Hubungan kalian sebagai kakak adik memang buruk, tetapi enggak dengan hubungan aku dan Alvan sebagai sahabat. Dia baik sama aku, Rako. Dia sangat baik sama orang yang kamu cintai."

"Dan kebaikan dia ke kamu adalah kelemahannya."

"Rako!"