webnovel

9 - Setiap Waktu Akan Selalu Ada Ibu

Mansion dikelilingi oleh kegelapan, angin semilir menerpa tubuh Lavy yang tengah menatap bulan sembari bersedih. Ia diam namun hatinya ribut tak karuan, energi dalam tubuh selama seharian hilang begitu saja. Semenjak pulang dari istana setelah bicara berdua dengan raja membuat Lavy benar-benar kehilangan ketertarikan pada aktivitas apapun yang biasa ia lakukan. Lavy melarang siapa pun bertemu dengannya bahkan Claretta, ia tak mau membagi cerita dengan orang lain pasal hidupnya.

"Besok? Aku akan melewati hal seperti ini lagi?" Lavy menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. "Akan sulit tapi aku sudah biasa melaluinya.”

"Sejujurnya ini cukup menyeramkan, aku baru berusia 15 tahun tapi bicaraku seolah-olah sudah seperti ratu," ucapnya sembari membayangkan umur Lavy asli.

"Aku rindu tapi tidak tahu rindu siapa, ingin pulang tapi tak tahu kemana tempat yang nyaman, ingin bebas tapi tak tahu gunanya untuk apa," ungkap Lavy menunduk meremat jari-jemarinya seraya terus berusaha menahan sesak yang muncul tiba-tiba.

"Dunia ini dan duniaku sebelumnya, tidak jauh berbeda. Yang berubah hanya statusku sebagai putri raja, tapi kenyataan kalau aku hanya putri dari seorang selir-" Lavy menghentikan ucapannya dengan paksa, ia diam seraya merasakan angin kembali berembus cukup kencang menabrak tubuh mungilnya.

"Cukup menyedihkan, haruskah aku bangga pada kehidupan? Kalau dia memberiku kesempatan memulai untuk kedua kalinya? Mengulang semua kejadian yang pernah terjadi dalam kehidupanku sebelumnya dan pada akhirnya aku hanya berputar di takdir yang sama?" Telat sudah, air matanya lebih dulu jatuh sebelum Lavy mampu membendungnya, kini yang bisa ia lakukan hanya membiarkan air itu terjun begitu deras hingga membasahi seluruh pipinya, manik gadis itu tak lagi hijau cerah namun sudah redup bersamaan dengan gelap yang menyamarkan.

"Kapan aku bisa panggil ayah dan orang yang kutatap bersamaan dengan kata itu muncul menjawab ku dengan berkata, 'iya nak?' ." Lavy kini beralih menutup mata melampiaskan segala lara yang berada dalam hatinya, mengungkap duka sembari mengobatinya bersama.

***

Lavy sudah terlelap, ia terlalu lelah dengan kisah sedih yang Lavy perankan, meski butuh satu jam untuk berhenti Lavy cukup lega dengan hal itu. Berbicara sendiri di bawah sinar rembulan memang menyenangkan, membagi cerita pada sesuatu yang bahkan tak pernah bisa mendengarmu membuat hati merasakan kepuasan tersendiri. Melepaskannya saja mampu meringankan beban.

“Lavy..” Seseorang memanggil namanya dengan suara yang begitu lirih, sosok itu tertutupi oleh kabut dan cahaya putih di sekeliling membuat Lavy sulit menerka. Itu suara seorang wanita, pelan dan lembut, sangat sopan saat tertangkap oleh indra pendengarannya.

“Maaf … ini tidak akan lama, bertahan sebentar lagi ya? Semua orang menyayangi mu, percayalah.” Bisa Lavy dengar terdapat nada penyesalan disana, getir yang keluar dari setiap kata mampu melemahkan kekuatan Lavy untuk sesaat.

"Ini sulit, aku lelah … siapa kau? Dewi kematian? Kalau benar bawa saja aku, hidup di sini tidak terlalu berguna." Lavy hanya menuntut kebahagiaan, kasih sayang dan keluarga yang penuh kehangatan, bukan hidup kembali atau reinkarnasi seperti saat ini. Jika cara itu tidak mengubah apapun lalu untuk apa?

“Tidak! Lavy pasti bisa melewatinya, tidak apa kan? Bertahan sedikit lagi?”

"Apa balasannya jika aku bertahan?" tanya Lavy bersiap mendengar jawaban dari lawan bicaranya.

“Seperti yang Lavy inginkan.”

"Siapa kamu?" tanya Lavy penasaran.

“Seseorang yang akan selalu menjaga dan menyayangi Lavy.”

"Apa kamu ibuku? Aku tidak bisa melihat apapun! Di sini terlalu terang," geramnya masih berusaha melihat wajah wanita di hadapannya itu.

“Semua orang menyayangi Lavy, termasuk ibu.”

Perkataan wanita itu berhasil menghancurkan dinding yang sudah dibangun Lavy sejak lama, setelah sekian tahun ia hidup, ini adalah pertama kali seseorang mengatakan sayang pada dirinya dan orang itu adalah sang ibu. Sosok ibu yang tak pernah ia dapatkan dengan wajar kasih sayangnya, sosok ibu yang selalu ia tunggu kehadirannya. Selain sang ayah Lavy juga butuh ibunya.

Ibu yang akan menggumamkan kata sayang, ibu yang akan menguatkan hati dari dalam, ibu yang akan selalu sigap melindungi anak tercintanya, ibu yang akan waspada jikalau anaknya terluka. Walau dalam mimpi sekalipun Lavy tetap senang.

"Ibu.." Lavy berujar lirih, dengan mata yang mulai memanas dan dada dipenuhi sesak.

"A-aku bu-tuhh pelukan," racaunya kala memori kehidupan sebelumnya mulai berputar dalam kepala.

"Kumohon peluk aku, dan bisakah ibu tetap tinggal? Jangan pergi." Cuplikan-cuplikan tentang kehidupan lalunya kembali menyiratkan luka mendalam di hati Lavy. Sosok Lisya yang selalu ia benci dan berusaha sepenuh hati dikuatkan muncul bersama kesedihan masa lalunya.

Menyakitkan untuk sekedar melihatnya kembali.

“Jangan menangis, bangun dan bertahan sebaik-baiknya. Ibu akan selalu ada di hati Lavy, maaf tidak bisa memeluk dan menggapai Lavy, cukup dengar suara ibu saja ya? Ibu menyayangimu.”

Sayup-sayup suara itu perlahan hilang bersama dengan keheningan yang mulai mendominasi, semuanya kembali gelap, kosong dan hampa tanpa jawaban. Ibu hanya mampir sebentar? Padahal Lavy piker sosok itu akan sedikit lebih lama.

"Hahhh hahh ... Ibuu." Helaan napasnya menjadi berat seiring ingatan akan kejadian dalam mimpinya berputar. Lavy mengatur napas agar kembali stabil kemudian berjalan mengambil minuman untuk membantu meredakan detak jantungnya yang berdegup tidak karuan.

"Aku tidak tahu mimpi barusan masuk kategori apa, mimpi baik atau malah sebaliknya?" gumam Lavy bertanya-tanya, ia kemudian memijat pelipisnya perlahan.

Cahaya tak lagi gelap, burung berkicauan menyambut Lavy yang baru saja keluar dari mimpi malam yang sulit dijelaskan. Begitu cepat waktu berlalu, atau mungkin Lavy yang terlalu menikmati waktu tidurnya hingga tak sadar langit sudah berubah menjadi terang.