webnovel

8 - Berbaikan dan Negosiasi

"Selamat ulang tahun untukmu," ucap Aziel, ia masuk ke dalam kamar Lavy dengan cara memanjat dinding. Atau adiknya itu tidak akan membiarkannya masuk sama sekali.

"Hmm terima kasih," balas Lavy. Aziel paham adiknya merasa malas bertemu saat ini apalagi dengan fakta bahwa ia terlambat memberi ucapan selamat pada Lavy kemarin.

"Aku tahu ini terlambat-"

"Sangat," potong Lavy sembari mengayun-ayunkan kakinya di pinggiran kasur.

Aziel bangkit dan berpindah duduk di sebelah Lavy, ia mendengar bahwa yang mulia kemari tadi lalu sempat terjadi perdebatan antara ayahnya dengan sang adik. Aziel tidak pernah membayangkan betapa kerasnya sang ayah berlaku pada adiknya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Aziel lengkap dengan nada khawatir.

Lavy menghentikan gerakan kakinya dan menoleh perlahan menatap netra sang kakak, begitu nyaman ternyata bercerita seperti saat ini. "Cukup sakit, tapi sudah hilang," lirihnya kemudian menerbitkan senyum tipis.

Entah angin dari mana tangan Aziel terjulur untuk mengelus puncak kepala Lavy, Aziel sendiri pun cukup terkejut dengan respon tubuhnya. "E-emm … kamu sudah bekerja keras. Setelah ini tidurlah," ucapnya berubah salah tingkah.

Aziel jarang sekali menemui sang adik semenjak tumbuh remaja, waktu kecil mereka melewati banyak hal bersama namun setelah Aziel berumur 13 tahun ia dibawa ke istana utama untuk dibiarkan tinggal di sana, lalu kemudian Aziel mendapatkan pendidikan yang lebih maju untuk menunjang kemampuan dalam dirinya.

Karena kesibukan itulah yang membuat Aziel jarang datang menemui sang adik, lagipula pendidikan kerajaan itu ketat sekali. Ia baru bebas setelah berumur 16 tahun, untuk pergipun ia perlu izin dari yang mulia, sangat merepotkan. Terkadang ia merindukan adiknya dan menyesali setiap waktu yang lenyap begitu saja.

"Terima kasih ... k-kak," tuturnya seraya menunduk malu.

Setelah itu Aziel beranjak pergi namun belum sampai tiga langkah, tangan Lavy menahan pergerakannya.

"Kakak akan lompat lagi?" tanya Lavy, ia berniat mencegah sang kakak. Aziel tentu terkejut, tiba-tiba sekali gadis itu mencekal lengannya. "Untuk apa? Kamu pikir aku punya waktu untuk itu? Kalau ada pintu kenapa aku harus lompat dari balkon?"

Lavy dengan segera melepas genggaman tangannya dan kembali menunduk. "Kupikir kakak akan melewati jalur yang tadi."

Aziel terkekeh melihat tingkah Lavy, dia lupa bahwa gadis di hadapannya ini masih berumur 15 tahun.

"Tidak. Bodoh," cetusnya.

"Aku tidak bodoh."

Aziel menghela napas kasar. Senang sekali rasanya menjahili sang adik. "Kalau kau ingin menganggapnya seperti itu, silahkan saja."

***

Perkataan Einhard masih membekas dalam benak Lavy, padahal gadis itu sudah mencoba lupa tapi tetap tidak bisa. Semakin dilupakan akan semakin teringat. Kata-kata itu berhasil menghantuinya setiap hari, apalagi tentang Einhard yang meragukan asal muasal nya. Namun 3 menit lalu sebuah surat datang dari istana lewat Claretta.

Kebebasan seperti apa yang kamu inginkan? Maaf, kemarin aku tidak mengerti apapun perkataanmu dan meski kita bertemu lagi hasilnya akan sama seperti kemarin. Aku tidak mau mengambil resiko. Jadi kupikir lebih baik bertukar surat.

"Aku saja tidak mengerti kebebasan seperti apa yang kuinginkan," gumam Lavy menatap nanar surat yang tengah ia pegang.

"Aku bisa membacanya tapi ... menulisnya terlalu sulit bagiku."

Ia berpikir keras tentang siapa yang dapat membantunya kali ini, hingga ia melihat keberadaan Claretta. "Ibu, bisakah kau membantuku menulis surat?"

"Tentu saja dengan senang hati," balasnya sembari tersenyum kemudian mengambil tinta dan beberapa kertas lalu setelah itu menuliskan setiap kalimat yang Lavy ucapkan dengan cermat.

Saya juga mohon maaf karena bersikap tidak sopan, tapi saya sudah berubah pikiran, saya sudah bebas dengan tinggal di mansion ini, mungkin kita bisa membuat perjanjian? Saya akan sangat senang jika yang mulia menyetujuinya.

Begitulah isi surat yang Claretta tulis atas permintaan Lavy. Meski tidak paham apa maksud sang putri, Claretta tetap harus mengirimnya pada raja. Sedangkan Lavy sendiri sudah mantap memikirkan perjanjian yang pas untuk di berikan pada Einhard.

Suratnya tidak datang secepat itu, balasan baru terkirim dan sampai di tangan Lavy di sore hari. Lavy bergumam sembari menggenggam surat balasan. "Aku harus sabar menunggu seharian untuk sebuah surat."

Sama seperti tadi, Lavy kembali mencari Claretta dan meminta bantuan.

Aku setuju, besok datanglah ke istana akan lebih baik jika bernegosiasi secara langsung kan?

"Sangat di luar dugaan memang, aku harus siap untuk besok atau jika lengah sedikit saja dia akan membuang ku dengan cara perjodohan. Tidak punya perasaan, yang ada di pikiran raja tidak dapat ku mengerti sama sekali."

"Lalu untuk menulis, aku juga harus belajar dengan giat, agar selanjutnya aku tidak perlu menyusahkan orang lain. Aneh sekali manusia seperti ku, aku bisa membaca dengan baik tapi kenapa tidak dengan menulis!" geramnya mengasihani diri sendiri.

Benar, sebenarnya raja tidak datang begitu saja kemarin saat ulang tahun Lavy. Einhard juga datang dengan niat lain, sebab itulah Lavy melarang ayahnya bertemu. Walaupun itu hanya alasan kesekian tapi hal tersebut memang benar adanya, Yoanne tidak mungkin merubah cerita.

Entah harus berapa kali ia berterima kasih pada Yoanne atas jasanya yang telah menceritakan mengenai alur novel The Princess’s Sweet Wish setiap mereka punya waktu luang. Dan seperti dugaan Lavy, dalam negosiasi besok, Einhard pasti akan menyelipkan beberapa kalimat tentang pernikahan. Padahal Lavy baru menginjak 15 tahun, kurang ajar! Dendamnya pada selir Greta membuat Lavy ikut tersiksa.

***

Esok yang ditunggu telah tiba, Lavy berangkat sedikit terlambat mengingat ia juga harus melakukan beberapa pekerjaan di pagi harinya, selama perjalanan Lavy hanya termenung membayangkan keadaan yang akan ia lewati beberapa jam kedepan.

Ketika sampai Lavy langsung diarahkan ke ruang kerja Einhard, ini pertama kalinya untuk Lavy masuk ke dalam ruangan yang ditempati Einhard hampir setiap hari. Ruangan itu cukup besar, dengan beberapa rak buku di samping kanan dan meja besar milik Einhard di sisi pojok kiri. Lalu di bagian tengah terdapat sofa untuk menerima tamu yang membicarakan perihal politik kerajaan.

"Duduklah," titah Einhard seraya melangkah mendekati sofa.

"Terima kasih yang mulia."

Einhard tak ingin basa basi atau kejadiannya akan seperti kemarin lagi. "Tawaran seperti apa yang kamu berikan?"

"Pertama, jangan mendatangi mansion kecuali dengan izin saya dan kedua, bolehkah saya mengikuti pendidikan seperti para pangeran?" jelas Lavy.

"Untuk apa kau ingin mengikuti pendidikan?" tanya Einhard, ia menolak untuk percaya pada ucapan Lavy barusan.

Lavy mendengus kesal, apa pria ini tidak paham? Sudah jelas anak sepertinya butuh pendidikan, sepertinya dia ingin Lavy menjadi putri bodoh di kerajaan. "Bukankah saya punya hak untuk itu? Jikalau yang mulia memperbolehkan, saya tidak akan lagi bersikap semena-mena dan akan menyetujui apapun keputusan anda."

"Raja juga bilang saya tidak sopan dan kurang pengajaran, karena itulah saya ingin mengikuti pendidikan seperti para pangeran," timpal Lavy berusaha meyakinkan Einhard atas keinginannya.

"Apa pelajaran di dalam mansion masih kurang untukmu?"

"Tidak kurang yang mulia, tapi sekarang saya sudah mulai dewasa … akan lebih baik jika menjalani pendidikan yang lebih memadai seperti para pangeran, lagipula saya tidak punya teman," balas Lavy membujuk Einhard yang kian keras kepala.

"Kamu butuh teman? Selama 14 tahun aku tidak pernah dengar kamu suka bersosialisasi, tapi baiklah … kalau kamu sungguh menginginkan pendidikan. Besok Minggu datang lagi kemari dan hari Senin para pengawal akan mengantarmu ke akademi," jelas Einhard menatap manik Lavy dan kemudian terdiam.

"Ayah tidak mau mengantarku? Ahh aku lupa dia raja pasti sangat sibuk dan tak sempat, aku juga tak keberatan," batinnya sedikit merasakan kecewa dalam hati.

Einhard bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya kemudian kembali menoleh pada Lavy, "ada pertanyaan?"

"Tidak yang mulia, terima kasih." Lavy juga berdiri lalu selanjutnya menggeleng pelan sebagai jawaban, ia masih berpura-pura tidak memiliki keluhan apa-apa dalam kepalanya, sebelum mengakhiri pertemuan Lavy menunduk sebagai bentuk terima kasih.

Einhard berjalan mendekat, kali ini tak ada jarak diantara mereka, pria itu menyamakan posisinya agar sejajar dengan tinggi sang anak dan mulai membisikkan kata demi kata, "jangan mempermalukanku, siswa akademi bukan hanya dari Engrasia namun juga kerajaan lain, jadi jangan berbuat semaumu dan merugikan aku, jika gagal akan ku nikahkan saja kau dengan mereka yang menawarmu."

Lavy bergeming, tak berkutik sama sekali, kepalanya ia tundukkan sembari menatap lantai sebab takut beradu pandang dengan manik sang ayah, sedang dalam pikirannya ia berusaha membedakan apakah perkataan itu termasuk hinaan atau ancaman.

"Tawaran ... apa dia kini tengah menjualku? Aku tidak serendah itu sampai dia harus menikahkan ku jika aku menghadapi kegagalan."