webnovel

17 - Lavy dan Ibu Itu Sama

Lavy pergi setelah menyelesaikan pelajaran hari ini, entah untuk alasan apa Eyren memintanya bertemu. Lavy lalu pergi ke ruangan Eyren seperti yang pria itu bilang tadi, seraya terus berjalan menuju ruangan sang profesor, Lavy berusaha menerka tentang apa yang ingin Eyren bahas dengan dirinya?

Sesampainya tepat di depan pintu ruangan milik Eyren ia menyiapkan diri, jujur saja saat ini entah kenapa jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Apa yang ia takutkan?

Cklek

"Sudah selesai?" sapa pria itu kala mendengar pergerakan yang dilakukan oleh Lavy.

Lavy mendongak untuk sekedar melihat tubuh tegap milik Eyren, kemudian detik selanjutnya ia mengangguk pelan. "Ada apa memanggil saya?"

"Kau memang suka sekali langsung ke intinya," sergahnya membuat Lavy merasa jengah.

Eyren beranjak menuju sofa yang terletak tak jauh dari tempat Lavy berdiri sekarang. "Duduklah."

Gadis itu dengan cepat mengangguk dan duduk seperti perintah Eyren, Lavy masih bingung dengan alasan mengapa profesor ini memanggil nya secara pribadi ke ruangan.

"Sekarang saya boleh membicarakan banyak hal 'kan?" sela Eyren membelah pikiran Lavy yang tengah tak karuan.

"Silakan."

Eyren mengangkat sebelah alisnya, meniti wajah Lavy kemudian memainkan jemarinya di atas pegangan sofa. "Kau tahu perihal ibumu?"

Kata-kata Eyren membuat remasan kuat di hati Lavy, ibu adalah satu topik yang berusaha setengah mati ia hindari."Tidak, ibu pergi untuk selamanya saat saya berusia tiga tahun, bagaimana saya tahu banyak hal mengenai ibu?" sanggahnya sembari mengepalkan kedua tangan.

"Panjang sekali cerita diantara kami."

"Maksudnya?" Lavy bingung sekarang, ia tidak bisa mencerna satupun kata yang keluar dari mulut lelaki itu.

"Ibumu nyaris menikah denganku."

Lavy membulatkan mata tak percaya, gadis itu terkejut lalu bungkam setelahnya. Ia berusaha kembali menata kalimat yang dilontarkan Eyren namun sia-sia, sebab taka da satupun yang ia paham. Lavy termangu, apa maksud Eyren berkata seperti itu?

"Tapi itu tidak terjadi, kami tidak saling mencintai dan aku tidak pernah tertarik untuk menikah, lalu saat itupun ibumu berkata padaku bahwa dia juga tidak ingin menikah," jelasnya pada bocah perempuan berusia 15 tahun.

Ada jeda yang Eyren ciptakan, sebentar ia tersenyum tipis tatkala mengingat masa lalunya. Sedang gadis itu terhenyak mendengar penuturan Eyren, pikirannya kembali melalang buana hingga tanpa sadar ia meremat gaunnya cukup erat. "Kemudian satu tahun setelahnya aku dengar bahwa ia telah dipinang oleh raja Engrasia. Aku cukup terkejut bukan karena cemburu atau apa, tapi sebelumnya wanita itu bersikeras menolak pernikahan namun secara tiba-tiba ia sudah menjadi istri seseorang."

"Ada yang aneh dalam pernikahan itu, tidak … ibumu yang aneh. Awalnya memang kupikir bahwa pernikahan nya lah yang aneh tapi ku rubah pemikiran ku setelah bertemu dengan ibumu. Ia malah berkata sebaliknya, dia bilang bahwa dia sangat ingin menikah padahal setahun lalu ia menolak menikah karena ingin melanjutkan pekerjaannya."

"Aku merasa seperti, ibumu tersesat dalam pemikirannya sendiri." Pandangan Lavy tidak teralihkan, sejenak otaknya tidak dapat mencerna apapun, begitu banyak pertanyaan muncul di pikiran lalu secara tiba-tiba tangannya juga mati rasa.

"Apa maksudmu menceritakan hal ini?" tanya Lavy.

"Karena kau sama seperti itu."

Lavy menautkan kedua alisnya menatap lekat sosok Eyren yang sama sekali tak menunjukkan ekspresi apapun. "Apa yang sebenarnya terjadi pada ibuku?"

"Kupikir hanya aku yang paham ibumu saat itu."

"Tapi kau akan tahu seiring berjalannya waktu, pahami dirimu sendiri lalu kau akan mengerti," ujarnya membuat Lavy mengumpati segala hal tentang Eyren yang menyebalkan.

"Jika tidak mau berbicara semuanya maka jangan bicarakan!" bentak Lavy geram.

Eyren terkekeh, menghadapi Lavy perlu cara yang khusus. "Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya."

"Aku tahu! Kau pikir aku bodoh?"

"Anak pintar," tuturnya lalu kemudian beranjak dari kursi dan berjalan mendekati Lavy seraya mengelus puncak kepala gadis itu. Sedang sang empunya terperangah melihat sikap Eyren yang tiba-tiba.

"Dengar Lavy, jangan biarkan pikiran dan hatimu saling berlawanan. Keduanya harus sama, harus seimbang. Mengerti?" tutur Eyren memberikan nasehat pada Lavy, padahal gadis itu sebenarnya tidak paham apapun namun dia tetap mengangguki perkataan Eyren.

"Jangan sampai kehilangan dirimu sendiri," lanjut Eyren kemudian membiarkan Lavy meninggalkan ruangannya.

****

"Ada banyak hal yang tidak ku ketahui," gumam Lavy sembari melamun seraya meremas jari-jari kecilnya.

"Putri Lavy? Kupikir anda masih di ruangan profesor Eyren," tukas Heera kala ia melihat sosok Lavy tengah duduk di kursi kamar.

"Dimana putri Aida?" tanya Lavy penasaran kala tak melihat Aida di dalam kamar.

Heera yang berjalan menuju lemari pakaian berhenti sejenak dan menoleh ke arah Lavy. "Putri Aida menemui pangeran Aadne, sepertinya berniat mempelajari teknik pedang? Entahlah."

"Pangeran Aadne?" Bagaimana bisa Aida bertahan dengan guru seperti dia.

Heera mengangguk kemudian membalas, "iya."

"Baiklah, anda sudah tidak ada kegiatan?" tanya Lavy saat melihat Heera merebahkan tubuhnya di atas kasur.

"Tidak ada, saya menyelesaikan semuanya," balasnya masih dengan posisi yang sama.

Keduanya sibuk masing-masing, Heera dengan tidurnya dan Lavy dengan pikiran-pikiran mengenai sang ibu juga dirinya sendiri. Kenapa Eyren meminta dia untuk memahami diri sendiri? Apa ada satu saja perkataan Eyren yang benar-benar lengket di dalam pikirannya?

Helaan napas berat Lavy terdengar di antara senyap yang membentang, tangannya kembali bertautan, gusar datang menyergap sedang mulutnya terkatup rapat.

"Apakah aku merasakan keanehan?" gumamnya menerka.

"Aku hidup cukup keras, sejauh ini aku tidak merasakan cemas dan melakukan apapun yang kuinginkan selama aku bisa. Kupikir begitu saja sudah cukup, tapi kenapa selama ini aku hanya melihat ke atas dan terus menyiksa diriku sendiri? Apa dengan seperti ini sudah cukup?" Terdapat gurat kecewa di celah kedua matanya, namun Lavy tetap mengulum senyum walau hampir tak terlihat.

Semenjak menjadi Lavy ia merasa seperti memiliki banyak sekali emosi dalam tubuhnya ini. Bisa saja dia kesal dengan hidupnya, lalu tiba-tiba merasakan kehangatan juga kebahagiaan di tengah-tengah keluarga yang tidak jelas ke harmonisan nya. Apa itu aneh menurut Eyren? Bukankah manusia memang seperti itu pada dasarnya?

Lavy..

"Siapa yang berbicara?" Lavy tersentak kala mendengar seseorang memanggil namanya.

"Apa itu? Siapa yang memanggilku? Tapi kenapa suaranya terdengar sangat lemah? Apa Heera bangun?" pikir Lavy kemudian berjalan mendekat untuk mengecek kondisi Heera, namun gadis itu masih tertidur lelap. Lalu siapa yang memanggilnya?

Lavy masih merinding kala mengingat suara tersebut, tidak mungkin hantu kan? Tapi ia sudah mengecek ke seluruh kamarnya bahkan sampai keluar dari kamar tidak ditemukan seorang pun. Asrama terlihat sepi karena para putri bangsawan ada di kamar masing-masing, lagipula suara itu terdengar sangat lemah jika diucapkan dari jarak yang jauh.

"Ini belum malam tapi kenapa suasananya jadi mencekam seperti ini!" umpatnya dalam hati, Lavy kemudian memijat pelipis kepalanya pelan.

"Sudahlah lupakan saja, anggap tidak pernah terjadi," sangkalnya. Apapun yang berusaha ia lakukan Lavy tetap ketakutan. Padahal sebelumnya ia pernah melakukan hal yang lebih menyeramkan dari ini.