webnovel

13 - Teman Pertama

Sudah satu jam sejak kedatangannya ke akademi, namun Lavy masih belum terbiasa. Sekolah kerajaan memang berbeda, aturan yang sangat ketat dan gedung yang banyak membuat Lavy kebingungan juga tertekan. "Kuharap aku bisa bertahan," batinnya sembari memejamkan mata.

Bukannya sulit tapi mustahil beradaptasi di tempat seperti ini apalagi Lavy yang sekarang tidak berpengalaman menjadi seorang putri kerajaan. Dia tetaplah Lisya, gadis abad-20 an yang selalu menghabiskan hidupnya untuk belajar dan bertahan.

Tinggal beberapa lama di mansion tidak membuatnya menjadi sosok profesional, ia masih perlu dididik lebih lagi, karena itulah dirinya kemari. Mungkin cukup gila untuknya, tapi Lavy sudah berada di sini dan dia tak ingin menyerah.

Lavy mengedarkan pandangan pada sekeliling, tidak banyak keturunan bangsawan yang datang hari ini. Sebenarnya Lavy ingin sekali menyapa beberapa dari mereka namun dirinya masih menyimpan keraguan.

"Bagaimana kalau coba saja dulu?" pikirnya. Setelah mengumpulkan keberanian, Lavy melangkahkan kakinya mendekati seorang putri kerajaan dari wilayah timur, ini pertama kalinya ia mencoba bersosialisasi dengan anak seusianya.

"Salam putri, saya Lavy Ristabelle," tuturnya seraya memberi salam penghormatan.

"Lavy Ristabelle?" Gadis itu terlihat kebingungan setelah mendengar nama nya. Ia tidak menduga bahwa kerajaan tetangga melupakan keberadaannya di Engrasia.

Lavy menatap kikuk pada lawan bicara, ia mencoba merangkai kata agar mudah dipahami oleh gadis di hadapannya, "saya putri dari raja Einhard de Engrasia."

"Raja Einhard? Anda putrinya? Mereka semua bilang putri raja Einhard sudah meninggal karena hukuman mati, apakah saya salah?" Gadis itu mengerutkan keningnya sembari menelisik sosok Lavy.

"Maaf saya tidak tahu, salam kenal nama saya Heera dari kerajaan Agsahk," lanjutnya.

"Senang mengenal anda, putri Heera."

"Kenapa anda datang secepat ini?" tanya Heera penasaran.

Lavy menelan salivanya, apa yang harus ia katakan? Haruskah ia bilang sang ayah memaksanya datang lebih cepat?

"Lebih menyenangkan datang sehari sebelumnya 'kan? Lagipula besok pasti akan sangat ramai," dalih Lavy seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Anda benar, alasan saya juga seperti itu. Saya lebih nyaman datang lebih dulu," sahutnya sembari tersenyum pada Lavy.

"Apa ini berhasil?" batin Lavy kala melihat respon baik yang diberikan oleh Heera.

Suasana kembali hening. Untuk sejenak, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lavy merasakan canggung yang amat sangat, namun ia juga bingung harus melakukan apa.

"Dimana tempat asrama anda?" Heera bertanya sembari melirik Lavy sesekali.

Lavy kelabakan, ia pun tak tahu di mana dirinya akan tinggal selama menjalani pendidikan di sini. "Saya belum memeriksanya."

"Mau saya antar? Siapa tahu kita satu kamar?" usul Heera sembari menatap netra Lavy lekat.

"Boleh."

****

Pembagian kamar tidak sembarangan, para pemimpin di akademi membagikan surat untuk kaum bangsawan yang datang. Dengan itulah para anak bangsawan memilih kamar untuk di tempati selama pendidikan. Bagi siapa saja yang tidak setuju mereka boleh keluar dari akademi ini dan pergi ke akademi lain. Memang kejam, namun inilah peraturannya. Bahkan anak kaisar sekalipun tidak dapat mengubah peraturan.

"Ibu Claretta sempat bilang bahwa disinilah para anak bangsawan bersaing demi harga diri kerajaan," ucapnya pada diri sendiri.

"Apa itu juga yang menjadi alasan raja berkata aku harus menjaga etika?"

"Apa ada sesuatu yang anda pikirkan?" tanya Heera kala melihat Lavy tengah termenung di tengah obrolan mereka.

Gadis yang ditanya pun segera menggeleng. "Tidak ada, putri."

Keduanya berjalan menuju ruang para profesor, disinilah peserta akademi mengambil surat pembagian kamar mereka. Selain untuk kedisiplinan, tinggal di asrama juga membantu bangsawan bersikap lebih mandiri.

"Ternyata kita satu kamar," sahut Heera lalu beberapa detik kemudian menarik tangan Lavy pelan. Heera terlihat antusias meski ia tahu Lavy bukan anak dari ratu utama namun Heera tetap senang.

"Ini kamar kita, setiap kamar terdiri dari tiga kasur jadi kita berdua harus menunggu satu orang lagi," jelasnya kemudian duduk di atas kasur.

"Maaf, tapi bukankah anda terlalu sopan? Maksud saya … anda adalah putri kerajaan, anak perempuan ratu utama sedangkan saya-"

"Anak selir?" sahut Heera menyahuti kalimat yang dilontarkan oleh Lavy.

Lavy mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri sembari menghirup oksigen agar masuk memenuhi paru-parunya. Entah kenapa sesak datang tiba-tiba.

Heera mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu berhenti pada manik Lavy. "Apa saya terlihat peduli? Di akademi ini kita tidak dilihat dari kedudukan tetapi kecerdasan."

"Lagipula berteman baik akan lebih nyaman, benar 'kan?” tanyanya sembari menyilangkan kedua tangan.

Lavy mengangguk sembari tersenyum. "Anda benar."

"Tidurlah, anda pasti lelah ini sudah malam," ujar Heera berbalik menghampiri salah satu kasur yang ada di sana dan merebahkan tubuh mungilnya.

"Selamat malam."

"Selamat malam," balas Lavy ikut merebahkan tubuhnya dan kemudian memejamkan mata.

Lavy menatap langit-langit kamar sembari menggumamkan harapan dalam hatinya, "kuharap besok akan berjalan dengan lancar."