webnovel

12 - Pergi ke Akademi Lebih Awal

Lavy mulai mendekati Einhard kemudian memberi salam, ketiganya saling bungkam sembari menatap satu sama lain. Pandangan Einhard tak teralihkan, fokus menatap sosok Lavy, jari-jari tangannya sibuk diketuk-ketukkan ke pegangan sofa hingga menghasilkan suara di tengah sunyi yang terbentang di antara mereka.

"Ada keperluan apa yang mulia kemari?" Dengan terpaksa Lavy membuka suara, ia terlanjur tak tahan pada hening yang tengah berkuasa.

"Bersiaplah segera, kau akan diantar ke akademi lebih cepat," balas Einhard seraya memperlihatkan ekspresi tegas, sedang genggaman tangan Aziel mengerat, menatap nyalang manik sang ayah, Aziel selalu gagal dalam hal menebak pikiran ayahnya.

"Kenapa lebih cepat yang mulia?" sahut Aziel seraya menyatukan kedua alisnya.

Pandangan Einhard beralih pada Aziel yang memasang raut kesal, senyum tipis ia terbitkan sebagai sahutan sebelum kembali menjawab pertanyaan sang anak, "ada apa denganmu Aziel?"

"Adikmu akan diantar lebih cepat, apa kamu keberatan?"

Aziel menunduk selagi mendengus kemudian menjuruskan pandangan pada ayahnya dan dengan cetus ia menjawab, "iya saya keberatan."

"Harusnya semua murid diantar besok, kenapa Lavy harus berangkat sehari sebelumnya? Dan lagi, sekarang sudah malam yang mulia."

Einhard bangkit, kemudian mendekati sosok Aziel membuat sang pangeran tak mampu berkutik. "Itu urusanku sebagai raja dan wali dari adikmu."

"Dia juga sudah mengatakan kalau akan menyetujui apapun keputusanku, apa salah jika aku mengirimnya lebih cepat?" paparnya sembari melirik ke arah Lavy, gadis itu diam sebab pikirannya masih berusaha mencerna perkataan Einhard.

Lavy terperangah, berusaha mengingat kalimat yang ia ucapkan pada sang raja kala negosiasi dilakukan. "Tapi yang mulia-" ucap Aziel.

"Baik yang mulia saya akan berangkat hari ini," ujar Lavy memotong dialog Aziel, gadis itu berhasil membuat sang kakak kalang kabut, lelaki itu tidak percaya Lavy menerima dengan lapang dada. Bahkan Aziel sendiri berpikir hal seperti ini tidaklah adil, namun apa yang dilakukan adiknya itu? Ahh sudahlah!

Einhard mengangguk, detik selanjutnya kembali mencetak senyum tipis setelah itu pergi meninggalkan Aziel dan juga Lavy yang kini telah lenyap ditelan pikiran mereka masing-masing.

Sempat lenggang beberapa saat, hingga suara Aziel memenuhi indra pendengaran Lavy.

"Kau gila?" cetus Aziel menoleh pada Lavy yang tengah berjalan mendekati sofa lalu duduk di atasnya.

"Sejak datang kemari aku sudah gila,” ungkapnya menyatakan fakta.

Lelaki itu mendengus kesal kemudian dengan pelan memijat pelipis kepalanya, Aziel masih berusaha menetralkan emosi yang menggebu-gebu dalam dirinya.

Ia menunduk menyamakan posisi dengan sang adik lalu mengguncang tubuh mungil itu sedikit kasar. "Apa yang kau inginkan? Lavy jawab aku! Kenapa? Untuk apa semua ini, padahal kau bisa hidup bahagia di mansion. Lalu untuk apa menantang diri dan datang kemari! Kau tidak tahu sekeras apa hidup disini!"

"Aku tahu! Bahkan sangat tahu! Kau.." Lavy berhenti beberapa saat selagi menetralkan emosinya, "bertanya apa yang kuinginkan?" ujarnya lirih. Aziel dapat menangkap rasa peluh dalam perkataan Lavy.

"Pengakuan. Aku ingin itu kak," lanjut Lavy melepas cengkraman Aziel di bahunya.

"Sekeras apapun itu, aku tidak ingin menyerah … saat ini aku ingin berusaha dan aku tidak mau gagal," lagi..

Aziel cukup frustasi, lelaki itu kemudian berdiri lalu memejamkan matanya berusaha menahan emosi agar tidak keluar dan menjadi tak terkontrol. Adiknya sulit untuk dimengerti, Aziel tidak terlalu dekat dengan Lavy sebab itulah ia perlu belajar lagi untuk lebih mengenal sang adik.

Lavy sama kalutnya seperti sang kakak, ia menghadapi konflik batin yang tak bisa diselesaikan dengan mudah, Lavy menahan semua masalah sembari memberikan kesempatan pada motivasi untuk masuk memenuhi pikirannya, ia berharap itu akan berhasil … nyatanya tidak. Kesedihan adalah bagian penting dari setiap kehidupan manusia. Lavy tidak bisa dan tak akan pernah bisa lepas, takdir manusia memang tidak jauh dari kesedihan dan juga kegagalan.

Selagi terisak, ia melihat figur sang kakak yang berjalan menjauhi dirinya menuju pintu kamar dan perlahan seiring detik berjalan sosok itu mulai menghilang dari pandangan. Sekarang, apa mereka benar-benar bertengkar?

"Kau tidak akan tahu kak, kehidupan seperti apa yang kuhadapi sebelumnya."

"Aku sudah banyak menangis hari ini,” usai berujar demikian Lavy mengusap air matanya dan mulai menyiapkan barang-barang yang akan ia bawa ke akademi, ia tidak boleh lupa bahwa malam ini dirinya harus benar-benar pergi.

***

Lavy masih tidak percaya dengan kejadian tadi, merenung dan memilah-milah pemikiran yang berputar di kepalanya membuat Lavy bungkam beberapa saat. Ia tidak bisa fokus, jujur saja Lavy sedikit takut. Meski dirinya tidak terlalu berpengaruh di kerajaan, tetap saja Lavy adalah putri dari seorang raja, apa dia selamat dan akan sampai dengan keadaan baik-baik saja? Jujur saja Lavy ragu.

Ini sudah jauh dari alur novel sebenarnya, alur yang sering sekali Yoanne ceritakan. Semuanya berbeda ia tak bisa lagi menjadikan perkataan Yoanne sebagai tumpuan. Jalan ceritanya kini sungguh bertolak belakang dan tidak akan ada yang tahu bagaimana ujungnya.

Bisa saja kan dalam perjalanan terdapat penjahat yang dibayar oleh musuh sang ayah agar dapat menghabisi nyawanya, jika seperti itu bukankah berarti hidupnya memang tidak berguna? Lagipula meski dia mati tak akan ada yang peduli.

Di tengah kecemasan yang menyeruak dalam hatinya, Aziel datang dan menuju ke kereta Lavy lalu memulai pembicaraan, "ini.. pakailah."

Aziel memberikan jubah untuk sang adik lalu setelahnya beranjak keluar dari kereta. Lavy yang bingung pun hanya bisa menggenggam jubah itu dan menatapnya lekat. "Untuk a-pa?"

Aziel menoleh memandang Lavy dengan raut datar. "Tentu saja untuk kau pakai, malam ini cukup dingin, kalau kamu hanya pakai gaun tanpa jubah hangat kau bisa demam."

"Pakai atau ku ambil kembali jubahnya," ancam Aziel menatap tajam manik Lavy.

"I-iya akan ku pakai, terima kasih." Lavy mulai memasukkan tangannya dan menutup seluruh tubuhnya dengan jubah. Ia tersentuh sebab jubah tersebut tidak hanya membuatnya merasakan hangat namun juga memberikan kenyamanan. Selagi menikmati sensasi tersebut, Lavy mendengar kakaknya tengah berbicara pada sang kusir.

"Pelan-pelan saja, jalanan ke akademi tidak selalu mulus dan dengan penerangan seadanya mungkin akan membuatmu kesulitan. Jadi berhati-hatilah," ucap Aziel yang berhasil terdengar oleh telinga Lavy.

"Baik pangeran," balas sang kusir sembari menunduk sopan.

Aziel masih di sana, kini tujuannya adalah memberikan perintah pada para pengawal yang akan mengiringi Lavy hingga gadis itu sampai ke tempat tujuan. "Waspada! Jangan mengantuk di malam hari, ingat! Kalau Lavy juga putri seorang raja, dia keturunan kerajaan. Jika terjadi sesuatu padanya kalian tahu apa yang akan aku lakukan kan?” tegas Aziel menekan kalimatnya membuat para pengawal di hadapannya itu mengangguk cepat.

"Mengerti pangeran! Kami akan menjaga putri Lavy dengan aman."

"Aku percayakan adikku pada kalian." Kalimat tersebut membuat manik Lavy seketika berair, Aziel masih memperhatikan dirinya meski beberapa jam lalu keduanya sempat bertengkar. Kakaknya itu bahkan mengancam prajurit jika sesuatu yang buruk terjadi padanya selama perjalanan.

"Padahal niatnya aku tidak ingin menangis saat pergi," batin Lavy.

Sebelum benar-benar berangkat, Einhard datang bersama dengan Belleza membuat Lavy terpaksa keluar dari kereta. "Salam yang mulia raja dan juga ratu," ucap Aziel dan Lavy secara bersamaan.

Einhard mendekat pada Lavy dan memerintahkan gadis itu untuk menatap maniknya. "Ingat untuk selalu menjaga harga diri kerajaan."

Lavy muak mendengarnya, dibanding mengisi hati sang anak dengan kebahagiaan sang ayah lebih mementingkan harga diri kerajaan.

"Dan bertemanlah sesuai keinginan mu," lanjut Einhard berhasil membuat Lavy tercengang, gadis itu terlampau tidak percaya bahwa ayahnya mengatakan hal semacam itu.

"Benar, raja sudah bercerita padaku. Jadi bertemanlah dengan baik dan jangan membawa masalah, mengerti!" sahut Belleza membenarkan perkataan Einhard.

Entah kenapa jauh di dalam hati Lavy ia bahagia, apa ini rasanya diperhatikan orang tua?

"Baik yang mulia, kalau begitu saya pamit pergi sekarang."

Einhard mengangguk membiarkan Lavy memasuki kereta dan kemudian menatap gadis itu lekat. Berharap Lavy selamat sampai tujuan. Keretanya pun mulai berjalan diikuti para pengawal dari belakang, sembari berjalan mengiringi kereta sang anak, Einhard berkata pada salah satu pengawal, "awasi dia."

"Siap laksanakan yang mulia," jawab prajurit tersebut seraya membungkukkan badannya hormat.

Perkataan itu berhasil ditangkap oleh pendengaran Aziel meski samar-samar. "Untuk apa mengawasi putri sendiri? Aku tidak pernah paham pikiran yang mulia."