webnovel

10 - Pertama Kali ke Istana

"Kenapa kau tersenyum sejak tadi? Tidak biasanya kau seceria ini," tanya Lavy heran dengan tingkah Hanna.

"Saya senang, sangat! Karena ini pertama kalinya tuan putri mendapatkan sesuatu yang benar-benar diinginkan," balasnya sembari merapikan aksesoris gaun milik Lavy.

"Terima kasih sudah mewakilkan perasaanku."

"Sama-sama tuan putri," ujarnya sembari masih berkutat dengan gaun Lavy.

Lavy merasa lelah luar biasa, mungkin itu karena mimpi buruk kemarin malam yang membuatnya kehilangan banyak energi. Hari ini Lavy akan pergi ke istana utama seperti perintah raja, Lavy sebenarnya senang tapi jauh dalam hatinya ia merasa bosan.

"Sudah tidak ada yang tertinggal?" ucap Claretta yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangannya.

"Ahh maaf sudah tidak sopan," tuturnya sembari cepat-cepat membungkuk hormat pada Lavy.

"Tidak apa ibu, tidak masalah." Claretta tersenyum lalu menghampiri Lavy, ia menatap anak angkatnya itu lekat. "Lavy senang?"

"Sedikit."

"Semoga selama menjalani pendidikan nanti, putri merasa lebih bahagia.”

"Saya juga berharap seperti itu," sahut Lavy memandangi lantai dengan tatapan kosong.

***

Perjalanan menuju istana tidak begitu lama, setelah sampai Lavy di arahkan menuju kamar sementaranya. Kamar itu besar lebih besar dibandingkan kamar pribadi milik Lavy di mansion, mengingat kamar ini terletak di dalam istana membuat Lavy tidak heran dengan perbedaan yang terjadi.

"Ini kamar untuk putri, besok anda akan langsung diantar ke akademi oleh para pengawal," ucap pelayan tersebut sopan. "Hm, terima kasih,” jawab Lavy.

Lavy yang terlampau lelah langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu, menikmati kenyamanan yang dihasilkan dan kemudian terlelap dengan sepatu yang masih terpasang.

Sedang di tempat lain..

"Apa putri Lavy sudah tiba di istana?" tanya Belleza pada salah satu dayangnya.

"Sudah yang mulia."

"Itu artinya sekarang Lavy berada di kamarnya?" tanya Belleza dibalas anggukan kecil dari para dayang yang ada di sisinya.

"Baiklah."

Belleza kemudian bergegas pergi menuju kamar yang ditempati Lavy, sesampainya di sana pintu kamar tidak ditutup dengan rapat. Bisa ia lihat jelas gadis itu tengah terlelap di atas kasurnya.

"Dia tidur rupanya."

"Mau saya bangunkan, yang mulia?" usul dayang ratu menawarkan diri.

Belleza yang mendengar perkataan itupun reflek menggeleng. "Tidak perlu, keluarlah aku yang akan membangunkan nya."

"Baik, ratu."

Kini hanya ada Belleza dan Lavy yang berada di dalam ruangan, Belleza tidak berniat membangunkan Lavy sebab gadis itu terlihat sangat pulas, ia memilih untuk duduk di kursi tak jauh dari kasur. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat sampai netra Belleza tak sengaja melihat sepatu yang masih setia terpasang di kaki gadis itu.

"Aishh, kenapa dia tidak melepas sepatunya, membuatku sangat risih," geram Belleza kemudian langsung berdiri dan menghampiri tubuh Lavy. Ia melepas sepatu gadis itu dengan kasar, Lavy yang terlelap reflek membuka mata dan bangun dari tidurnya.

"Ibu!" pekiknya membuat Belleza terkesiap.

"Aku bukan ibumu," tukasnya melempar sepasang sepatu itu ke lantai dari jarak 60 cm.

Kata-kata Belleza membuatnya membeku, ingin sekali mengumpat namun kembali mengulumkan bibirnya. "Dia? Apa wanita ini ratu?" batinnya, mengerjap sesekali.

Belleza menatap Lavy tajam, sedangkan gadis itu masih menelaah siapa sebenarnya wanita yang berdiri di hadapannya. "Kamu memang tidak sopan, apa ini sikap yang benar pada seorang ratu?"

Lavy terperangah, ia reflek membulatkan mata kemudian turun dari kasur bersiap meminta maaf atas sikapnya yang tidak sopan, bisa-bisanya dia masih bingung meski sudah menyadari penampilan wanita di hadapannya ini. "Ahh maafkan saya yang mulia ratu!"

"Sudahlah."

"Apa seorang putri boleh tidur dengan sepatu yang masih terpasang? Kau tidak menunjukkan sikap seorang putri sama sekali," lanjut Belleza menegur Lavy.

"Maafkan saya, yang mulia ratu." Lavy berkata sembari menunduk, ia tidak berniat tidur dengan sepatu yang masih terpasang. Hanya saja tadi saat datang Lavy merasa kelelahan.

Belleza menengadah sembari masih menyelipkan guratan tajam dalam tatapan matanya. "Lain kali belajarlah sesuatu di istana, dan sepulangnya dari akademi kau harus jadi putri yang membanggakan."

Senyum tipis ia terbitkan sebagai jawaban, walau terasa sangat palsu namun Lavy menyerah untuk sekedar menggerutu kesal. "Baik yang mulia."

"Bersihkan dirimu lalu datanglah untuk makan siang. Ingat untuk jaga sikap," perintahnya setelah itu meninggalkan Lavy sendirian.

***

Usai membersihkan diri sesuai perintah Belleza, Lavy pergi ke ruang makan keluarga kerajaan. Namun perjalanan ke tempat itu tidaklah mudah, Lavy tersesat saat mencoba menemukan ruangan yang ia tuju. Tidak seorang pun membantu, hingga datang dayang ratu dan kemudian menunjukkan jalan yang benar pada Lavy. Dia sungguh berterimakasih pada dayang tersebut.

Kala sampai, ia mendapati seluruh orang yang tengah duduk mengalihkan pandangan ke arahnya sembari menunjukkan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ahh sepertinya Lavy membuat kesalahan besar.

"Kau terlambat putri Lavy! Sudah kubilang untuk menjaga sikap bukan?" tegur Belleza menaikkan nada beberapa oktaf membuat Lavy tersentak.

"Maaf yang mulia ratu, maafkan saya semuanya," tutur Lavy seraya membungkuk dengan sopan berharap orang-orang ini sudi menerima maafnya, walau tubuhnya sudah bergetar hebat ia harus sanggup melakukannya.

"Saya bisa jelaskan-"

"Sudah, makan siang terlebih dahulu jelaskan masalahnya nanti. Duduk dan makan dengan tenang," sela Belleza dengan nada dingin.

Lavy kemudian duduk di sebelah sang kakak, Aziel diam tak menoleh. Apa kakaknya juga marah karena ia terlambat datang untuk makan siang?

Lavy tidak bisa menikmati makanan yang disajikan, walau tampilan luarnya memang lezat tapi suasana di meja cukup menegangkan. Mungkin hanya Lavy yang tegang di sini, sebab semua orang kecuali dirinya makan dengan tenang.

Sedari tadi Lavy kesulitan saat mengunyah makanannya, berkali-kali bergantian melirik sang ayah dan juga ratu Belleza. Namun kedua orang yang ia tatap tak menggubris sikapnya.

"Apa keluarga kerajaan kalau makan memang setenang ini? Lebih terasa seperti sidang dibanding makan siang," gerutunya dalam hati.

Setelah selesai makan, pelayan mulai berdatangan untuk mengambil piring-piring yang kotor, berbeda sekali seperti yang biasa ia lakukan di mansion. Para selir jarang sekali mendapat perlakuan seperti ini, oh iya Lavy lupa kedudukan mereka berbeda.

"Sekarang jelaskan kenapa kamu terlambat," ujar Belleza berhasil membuat Lavy terperangah.

Lavy meremat kuat jari-jarinya lalu berujar pelan, "tadi saya sempat tersesat, maaf yang mulia raja dan juga ratu."

"Tersesat? Pasti hanya alasan, omong kosong." Pangeran Aadne tiba-tiba buka suara tidak setuju dengan perkataan Lavy barusan.

"Putra mahkota! jangan mengundang keributan," ucap Einhard, pria itu kemudian beranjak dari duduknya sontak membuat semua orang yang duduk ikut berdiri bersamaan dengan sang raja.

"Hormat kami untuk yang mulia!" tutur semua orang secara bersamaan seraya menunduk dan sedikit membungkuk pada raja, sedang Lavy hanya mengikuti hal tersebut meski sedikit kebingungan. Lavy pikir ini akan mudah, tapi baru beberapa jam sudah sangat sulit untuk tinggal dengan nyaman. Padahal hanya satu hari tapi mengapa begitu susah?

Setelah kepergian Einhard dari ruangan, sang ratu yaitu Belleza juga ikut keluar bersama dengan Aadne dan beberapa pangeran yang lain. Lavy menunggu mereka semua pergi dan keluar setelahnya. Namun Aziel masih disana, menoleh ke arah Lavy dan berjalan mendekat. Kakaknya itu menarik lengan Lavy dan membawa gadis itu keluar.

"Apa yang kakak lakukan?"

"Berkeliling."

"Untuk apa?"

"Kamu bilang tadi tersesat, karena itulah aku membawamu berkeliling agar kejadian seperti tadi tidak terulang," jelas Aziel mengarahkan pandangan pada Lavy kemudian melepas genggaman tangan mereka.

"Di meja makan tadi kupikir kau tidak peduli, kakak bahkan tidak menoleh padaku sama sekali," tutur Lavy dengan nada sendu, terdapat pilu dalam ucapannya ditambah gadis itu menundukkan pandangan menatap lantai membuat Aziel semakin merasa bersalah.

"Maaf, itu untuk mendisiplinkanmu," jelas Aziel seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Yang mulia raja tidak suka jika para pangeran dan putri kerajaan dimanjakan. Maaf kalau itu menyakitimu," lanjutnya kemudian diam, sempat hening beberapa saat hingga suara Lavy kembali mendominasi.

"Tidak apa, tidak masalah. Aku mengerti," ujar Lavy pasrah, ia tidak bisa marah pada sang kakak atau itu akan membawanya pada kehancuran sebab ia tidak memiliki siapapun selain Aziel di istana ini.

Aziel kembali menatap Lavy, bisa ia lihat dengan jelas adiknya itu merekahkan senyuman hangat padanya lalu kemudian berjalan lebih cepat.

"Ayo, kau bilang ingin membawaku berkeliling, aku tidak yakin apa akan ingat jalannya setelah pulang dari akademi. Tapi saat ini aku bersemangat ingin tahu setiap sudut istana," ucapnya bersemangat kemudian menoleh kebelakang melihat sang kakak yang masih terdiam.

"Sialan kenapa dia jadi manis seperti ini," umpat Aziel dalam hati.

Melihat tingkah sang adik membuat Aziel tersenyum tipis, begitu samar hingga Lavy kesulitan untuk sekedar percaya pada penglihatannya barusan.

"Dia tersenyum? Aku tidak melihatnya dengan jelas tapi aku yakin tadi dia tersenyum!" Entah sungguhan atau tidak, Lavy membalasnya dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya. Melampiaskan segala kecemasan yang ia miliki dengan berjalan-jalan bersama sang kakak. Berharap ia bisa bertahan lebih lama dan menikmati saat-saat seperti ini selamanya.

"Perhatikan langkahmu, tatap ke depan atau kau akan terjatuh," tegas Aziel mengingatkan sang adik untuk berhati-hati.

"Baik!" Lavy mengangguk. Sembari memandang sosok kakaknya, ia bergumam dalam hati, "terima kasih sudah jadi kakak yang baik, aku akan jadi adik yang baik juga."