webnovel

Bagian 1 : Pengantin Pengganti

Jalanan aspal pada jam malam semakin sepi. Hanya beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitar dengan terburu-buru. Kendaraan satu persatu menghilang bersama angin malam. Sebuah mobil hitam melaju dengan kecepatan sedang.

Seorang pria menggunakan masker hitam di dalam seraya mendekatkan ponsel pada telinga. Kedua bola mata biru sembari fokus pada jalanan di depannya.

"Aku sudah pulang. Bawa saja dokumennya ke rumahku."

Ponsel di matikan secara sepihak hingga suara pekikan mengejutkannya. Kaki menginjak rem tergesa dan berhenti. Kedua alisnya mengerut menatap depan mobil yang kosong, kemudian ia membuka pintu terburu-buru berjalan guna mengecek keadaan depan mobil.

Benar saja, seorang gadis tergeletak di aspal jalanan tepat di depan mobilnya. Mendapati keadaan gadis itu yang tidak baik bahkan baju di bagian bahunya robek. Ia mendekat guna menatap lebih wajah si gadis yang memar di bagian mata.

Bibirnya kering dan lengan yang ada beberapa bercak darah. Ia mengecek nadi korban tersebut dan sangat lemah.

Pandangan mengelilingi jalanan yang sepi. Segera ia menggendong gadis malang itu, di letakkan ke kursi penumpang. Mobil melaju membelah jalanan yang sunyi.

"Tuan Liam, apa yang terjadi?"

Melihat sang majikan menggendong seorang gadis di kedua lengan membuat pria terlihat berumur menghampiri dengan cemas.

"Wyman, panggil pelayan dan ikuti aku."

Pria bernama Wyman itu mengangguk sopan. Tangannya melayang guna memerintahkan pelayan-pelayan yang berdiri disana mengikuti menuju lantai dua.

Gadis itu di baringkan di atas ranjang kamar bernuansa putih. Si pria menghela nafas lalu dua kancing jas ia buka. Menatap kepada Wyman dan pelayan yang berdiri di belakang.

"Rawat dia dengan baik sampai pulih."

"Baik, Tuan." Wyman mengangguk patuh diikuti beberapa pelayan disana.

Liam keluar kamar meninggalkan mereka. Sedangkan Wyman hanya bisa menatap malang gadis itu. Lalu kembali memerintahkan pelayan yang diam disana.

"Rawat gadis ini dengan baik sesuai perintah, Tuan Liam."

•••

"Tuan Liam, jika boleh saya tahu. Siapa gadis itu? Kenapa keadaanya terlihat buruk?"

Liam melempar masker hitam ke atas ranjang yang menutupi setengah wajahnya. Pria berhidung mancung itu melepaskan sepatu seraya duduk di ujung ranjang.

"Aku hampir menabraknya."

Wyman terkejut, membulatkan kedua mata. "Tapi, Tuan baik-baik saja?"

Liam berdiri dan mengangguk. "Jalanan sepi dan aku melihat dia pingsan. Jadi, aku bawa pulang."

"Tuan, sebaiknya anda harus berhati-hati. Mungkin saja ... ini jebakan."

Liam yang berjalan ke kamar mandi seketika berhenti. Meraih handuk yang tergantung di sebelahnya.

"Aku tahu." Berbalik dan menambahkan, "Besok, hari pernikahanku. Persiapkan segalanya dengan sempurna."

"Tuan." Wyman berjalan mendekat dengan menyerahkan kertas. "Nona Camille menitipkan surat untuk anda."

Liam mengerut, perlahan meraih surat tersebut.

"Ada apa?"

Tanpa menunggu balasan, segera ia membuka dan membaca isi surat secara teliti. Detik kemudian Liam berdecak, meremas surat itu dengan kasar. Mendongak menatap tajam Wyman yang langsung terkejut waspada.

"Dia pergi?"

Wyman mengangguk. "Nona Camille juga mengatakan bahwa ia harus ke Prancis."

"Kapan dia akan berangkat?"

"Nona Camille sudah berangkat tadi sore, Tuan."

"Apa?! Dan tidak ada yang memberitahuku? Apa yang kau lakukan?!" Liam membentak, ia melempar kertas hancur itu ke tembok.

"Kau ingin aku di permalukan?"

"Maaf Tuan, Nona Camille sudah menghubungi anda, tapi tidak Tuan jawab."

"Bagaimana bisa dia melakukan ini padaku?"

Liam melangkah dan duduk di tepi ranjang. Meremas surainya kasar hingga berantakan, amarah menguasai.

"Sial!" umpatnya.

"Tuan ..."

"Cari dia di Prancis, bawa dia kembali secepatnya."

Wyman menggeleng pelan. "Tidak bisa, Tuan. Pernikahan akan di mulai besok pagi. Tidak mungkin ada waktu."

"Tapi ..." Seketika Liam terlihat kalut.

Kekasihnya pergi begitu saja tanpa berpamit, meninggalkan pernikahan yang tinggal satu hari. Hanya menitipkan surat buram bahkan Liam membenci sebuah surat. Camille lebih memilih pergi meraih mimpinya daripada pernikahan yang akan dirajut bersama. Liam merasa kecewa, ia tidak ingin semuanya gagal. Liam juga akan di permalukan jika pernikahan tidak di laksanakan.

"Tuan, lebih baik pernikahannya dibatalkan."

Liam mendongak. "Tidak mungkin. Di dalam hidupku tidak ada kegagalan dan kau tahu itu."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" Wyman juga terlihat cemas.

Menatap tuannya berdiri penuh kediaman seolah memikirkan berbagai cara. Liam meraih ponsel di atas nakas dan mendial nomor kekasih, tetapi tidak aktif.

"Sial! Dia benar-benar pergi."

"Tuan, membawa Nona Camille dalam semalam itu sangat mustahil. Kita tidak tahu dimana dia berada."

Liam melangkah mendekati jendela kaca yang lebar itu. Menghembuskan nafas seraya menatap dunia gelap di luar sana.

"Aku tidak ingin di permalukan. Apalagi ... Ayah."

"Tuan Elard pasti akan mengerti," celetuk Wyman.

Tidak ada jalan keluar dalam semalam jika mencari Camille di Prancis. Sedangkan pernikahan akan di mulai besok pagi.

"Kita harus mencari orang lain."

"Maksud anda ..."

"Carilah pengganti Camille."

Di barengi ketukan pintu membuat dua orang disana mengalihkan pandang. Wyman membuka pintu tersebut dengan lebar. Mendapati satu pelayan dengan raut bingung dan cemas.

"Ada apa, Grizel?" Liam bertanya setelah berdiri menghampiri.

Grizel menunduk dan menjawab, "Tuan, gadis itu sudah sadar."

Wyman dan Liam saling pandang, detik kemudian ia mengambil langkah keluar. Diikuti Wyman dan pelayan di belakang. Pintu terbuka menyuguhkan seorang gadis lusuh yang duduk diam di atas ranjang. Kedua kaki di tekuk hingga dagu bertumpu pada lutut.

Liam perlahan menghampiri lalu mendudukkan diri pada kursi di sebelah ranjang.

"Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

Gadis itu masih diam, tatapannya kosong pada tembok. Wyman dan Grizel merasa bingung, begitupun dengan Liam. Kemudian tangannya melayang guna menepuk bahu si gadis. Sehingga sang empu terkejut dan langsung menangis.

"Kau ... baik-baik saja?"

Yang di tanya menggeleng, air mata membasahi pipi.

"Siapa namamu?" Liam bertanya lagi.

Gadis itu menatapnya. "Liora," suaranya terdengar parau.

Liam memandang sekilas Wyman dan Grizel yang masih di tempat, lalu kembali menatap si gadis asing.

"Maafkan aku. Aku tadi hampir menabrakmu dan kau tidak sadarkan diri. Jadi, aku membawa kau pulang ke rumah."

Liora masih diam kembali menatap tembok putih di depannya. Mereka bertiga yang ada disana sedikit mengerti bahwa gadis itu mungin mengalami suatu hal yang buruk dalam hidupnya.

Liam memilih berdiri tidak ingin bertanya lebih lanjut, melihat Liora dalam keadaan yang kosong.

"Istirahlah. Jika, kau ingin sesuatu, Grizel bisa membantumu."

Tanpa menoleh lagi, Liam berjalan keluar kamar. Meninggalkan Liora dan Grizel, diikuti Wyman dari belakang.

"Tuan Liam."

Setelah sampai di depan kamar, tangannya berhenti di atas gagang pintu.

"Seperti yang aku sebutkan tadi. Cari pengganti Camille, bawa dia besok pagi di hari pernikahan."

"Tapi, Tuan ... saya rasa sudah ada pengganti."

Liam mengerutkan alis, berbalik guna menatap asisten pribadinya itu.

"Apa maksudmu?"

"Bagaimana jika, gadis itu yang menjadi pengantinnya?"